Aku bukan orang yang menyukai pantai. Serius, aku tidak suka itu. Kalau kau berpikir aku benci pantai, sebenarnya tidak juga. Aku hanya tidak nyaman dengan pasir pantai yang membuat tubuh lengket, dan air laut yang terkadang membuat mata perih.
Tapi nyatanya, sekarang di sinilah aku. Duduk di pasir pantai, memperhatikan debur ombak yang pelan. Dan memperhatikan orang ini.
Sesekali ia mengangkat lututnya, lalu menyentakkan kakinya ke belakang. Tendangan Dwi Chagi[1]. Ia terus melakukannya sejak setengah jam yang lalu, kelihatannya sama sekali tak terpengaruh dengan angin yang bertiup kencang.
“Hentikan itu,” teriakku, berusaha mengalahkan suara debur ombak. “Apa kau tidak bosan? Kau terus melakukan itu, seakan-akan tidak ingat kalau kau mengajakku ke sini.”
Laki-laki itu hanya diam, masih terus menendang udara kosong. Oh, jadi ia tidak mengacuhkanku sekarang?
“Kalau kau ingin terus menendang, setidaknya ajari aku juga,” teriakku lagi, kali ini lebih keras dari yang sebelumnya.
“Belajar saja sendiri,” teriaknya seraya menyentakkan kakinya ke belakang.
Aku mendengus. “Aku masih sabuk putih, sedangkan kau sudah..,” aku berpikir sejenak, “sabuk hijau. Setidaknya kau dua tingkat lebih tinggi dariku.” Aku mengamatinya, yang kini mulai mengangkat lututnya lagi. “Kalau kau tidak mau, lebih baik kita pulang saja. Atau aku akan pulang saja sendiri.”
Lelaki itu menyentakkan kakinya ke belakang kuat-kuat untuk yang terakhir kalinya, lalu menghampiriku. “Bagaimana bisa kau pulang sendiri? Tersesat adalah hobimu. Lagi pula, kita datang ke sini dengan mobilku.” Ia menatapku lurus-lurus. “Jadi, katakan padaku, bagaimana kau bisa pulang sendiri?”
Sialan. Sekarang dia mulai menggunakan kelemahanku yang buta arah. Sialan.
Tahu bahwa aku tak bisa membantah lagi, aku hanya bisa merengut kesal, sementara laki-laki itu tertawa melihatku, seolah puas melihatku yang tak bisa membantah lagi.
“Berhenti tertawa atau aku akan menendangmu, Heaven,” ancamku. Sialnya, sepertinya ancaman itu tidak cukup mampu untuk membuatnya diam. Ia malah terus tertawa, bahkan kini jauh lebih keras dari sebelumnya, seolah-olah ia geli sekali.
Melihatku yang masih merengut, Heaven berusaha menghentikan tawanya dengan susah payah. Setelah akhirnya berhasil menghentikan tawanya, ia berkata dengan senyum geli tersungging di bibir, “Kau sangat cantik ketika merengut.”
Dasar orang aneh. Bagaimana bisa merengut membuat seorang gadis terlihat cantik?
Aku hanya diam, memandang ombak yang berdebur pelan. Keheningan pun menyelinap di antara kami. Hanya ada suara debur ombak yang, entah bagaimana, terasa sangat menenangkan.
“Apa kau tidak ingin tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?” Suara serak-serak basah itu kembali memasuki indera pendengaranku, membuatku menoleh dan menatapnya dengan dahi berkerut.
“Karena aku menyukainya,” lanjut Heaven tanpa kutanya. “Aku begitu menyukainya. Aku ingin mengajakmu masuk ke duniaku. Dan pantai adalah salah satu bagian dari duniaku, sesuatu yang kusukai.” Ia menatapku tanpa berkedip. Suaranya yang serak-serak basah terdengar begitu seksi di telingaku, membuat bibirku serasa terkunci rapat. Aku hanya bisa menatapnya, menelusuri garis wajahnya. Tatapannya yang tajam, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang kemerahan.
Aku menelan ludah dengan susah payah, berusaha menghalau perasaan-perasaan aneh yang terlintas dalam benakku.
Tiba-tiba Heaven menarik tanganku dan meletakkan seuntai kalung berbandul bunga di telapak tanganku. Aku menatapnya tak mengerti.
“Aku tahu, kau bukan seseorang yang menyukai perhiasan.” Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “tapi, aku berharap kau mau memakainya. Kau akan terlihat sangat cantik dengan itu. Jauh lebih cantik dibandingkan saat kau merengut,” ujarnya sambil tersenyum jenaka.
Aku tertawa pelan, lalu mengangguk. Aku baru saja hendak mengenakan kalung itu ketika Heaven meraih tanganku lagi. Ia meraih kalung itu, lalu memasangkannya di leherku. Bisa kurasakan embusan napasnya yang hangat merasuk ke pori-pori kulitku, membuatku mematung.
“Nah, sudah selesai,” gumamnya. “Ah, dugaanku benar. Kau terlihat sangat cantik.”
Aku mengembuskan napas pelan, diam-diam merasa heran mendapati diriku yang ternyata menahan napas sejak tadi. Aku menunduk, kemudian mendapati kalung itu sudah terpasang di leherku.
“Ini bagus sekali,” gumamku pelan sambil mengamati kalung itu, mengagumi kecantikannya.
“Aku senang kalau kau menyukainya,” ujar Heaven sambil tersenyum. Kemudian ia bangkit dari duduknya. “Ayo, kita pulang sekarang,” ajaknya seraya mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku segera menyambut uluran tangannya dengan gembira.
Aku tersenyum ketika mendapati rasa aman dan nyaman menyelinap dalam benakku saat tangannya yang besar menggenggam tanganku erat-erat, dan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Dan aku tahu, aku tak bisa berhenti mencintainya. Aku masih, dan akan terus mencintainya. Selalu.
[1] Tendangan belakang dalam taekwondo.