Aku mengetuk pintu ruangan BK. Terdengar suara bu Rika dari dalam. Beliau menyuruhku untuk masuk. Aku membuka pintu perlahan. Terlihat bu Rika, bu Nurma, dan Abid duduk di atas sofa. Aku segera bersalaman dengan bu Rika dan bu Nurma. Aku ingin terbuka mengenai keraguanku.
“Maaf, bu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang mengganjal di dalam pikiran,” bu Rika menyuruhku untuk duduk disebelahnya.
“Ada apa, Mar?” tanyanya. Aku menarik nafas sesaat. Aku harus mengatakan hal ini. Siapa tahu kalau bu Rika bisa membantu.
“Abid memang mencuri ipad itu. Tetapi saya benar-benar yakin bahwa bukan Abid yang mencuri barang-barang di kelas tujuh-A.”
“Kenapa Amar bisa seyakin itu?” tanya bu Nurma ikut berbicara.
“Sebelumnya Abid juga kehilangan album perangko di kelas. Jadi tidak mungkin kalau dia yang mencuri barang-barang kelas tujuh-A selama ini. Apalagi setelah Abid kehilangan album perangko itu, saya menemukan tanah liat di atas mejanya dan jejak sepatu dari tanah liat di bawah meja Abid hingga dekat pintu kelas. Saya curiga jika bekas tanah liat itu berasal dari tersangka.”
“Lalu apa Amar sudah mengetahui siapa tersangka itu?” tanya bu Nurma lagi. Aku tidak langsung menjawab. Sebenarnya aku memiliki kecurigaan terhadap seseorang. Namun jauh di dalam relung hatiku berkata bukan dia. Pada akhirnya keraguan itu masih membekas di dalam diriku. Aku tidak ingin menyalahkan orang yang belum tentu dia pelakunya seperti sebelumnya. Aku pun hanya menggelengkan kepala. Kami terdiam beberapa saat. Bu Nurma memandang Abid yang masih menundukkan kepalanya.
“Abid,” panggilnya. Kepala Abid menengadah. Keduanya saling bertatapan. “Tolong ceritakan dengan jujur, bagaimana ipad itu bisa berada di dalam tasmu?”
Abid melihat bu Nurma dengan sedikit takut.
“Ibu tidak akan memarahimu. Ibu hanya ingin mendengar kejujuranmu,” tambah beliau. Dengan tangan yang gemetaran, Abid mulai menceritakan kejadian sebelumnya.
Satu jam yang lalu…
Sehabis mengambil penilaian olahraga, Abid merasa haus. Dia berniat untuk mengambil botol air mineral di dalam tasnya. Dia berjalan melewati lorong. Sesampainya disana, dia bertemu dengan Siti yang baru saja keluar dari kelas. Namun Siti tidak menengok ke belakang. Jadi dia tidak menyadari bahwa Abid berjalan memasuki kelas.
“Loh, Siti mau kemana? Bukannya dia sedang absen karena kepalanya pusing ya? Apa mungkin dia pergi ke uks ya?” gumam Abid. Setelah melihat sosok Siti berlalu, Abid mengambil botol air mineral dan meminumnya. Sambil meminum air mineral, tanpa sengaja matanya melihat ipad yang tergeletak di atas meja. Abid berjalan mendekati meja itu.
“Ipad siapa nih? Hmm.. ini meja Siti kan? Apa dia lupa membawa ipad-nya ya? Aku harus segera mengembalikannya!” baru berjalan beberapa langkah, dia termangu sesaat. ‘Ipad ini masih terlihat baru. Kalau aku menjualnya, aku akan mendapatkan uang untuk membeli koleksi perangko. Tetapi mama selalu mengajarkanku untuk tidak mengambil barang yang bukan milik kita. Karena kalau aku mengambil barang orang lain tanpa ijin, maka dosaku akan bertambah. Ya, aku harus mengembalikannya. Tetapi..,’ Abid benar-benar bertarung dengan perasaan serta akal sehatnya.
Semenjak dia kehilangan album perangkonya, Abid benar-benar tidak bisa menghilangkan rasa kesedihannya. Namun dia tidak pantang menyerah. Dia kembali menabung dari sisa uang sakunya dan berharap dapat membeli beberapa koleksi perangko. Melihat ipad yang berada ditangannya, membuatnya memiliki ide yang brilian yaitu dengan menjualnya. Dia akan mendapatkan uang yang banyak untuk membeli banyak koleksi perangko. Akan tetapi di sisi lain, dia terus-menerus mengingat nasihat dari mamanya. Abid merasa terjebak diantara dua pilihan.
‘Krakk,’ Abid terkejut ketika mendengar suara yang berasal dari pintu kelasnya yang setengah terbuka. Abid segera memasukkan ipad di dalam tasnya tanpa menimbang keputusannya lagi. Lalu dia berjalan perlahan ketika melihat bayangan seseorang di dekat pintu kelasnya yang setengah terbuka. Setelah hampir mendekati daun pintu, bayangan itu menghilang. Abid segera berlari kecil dan melongok di luar kelas. Namun tidak ada siapapun disana. Abid menarik nafas lega.
***
“Saya minta maaf, bu. Karena saya sudah mengambil ipad tanpa seijin Siti. Tolong jangan beritahu mama saya, bu,” ucap Abid sembari memohon pada bu Rika dan bu Nurma.
“Bid, ibu senang karena kamu mengakui kesalahanmu. Hanya saja, ibu sebagai wali kelasmu bertanggung jawab penuh atas perilakumu di sekolah. Dan ibu terpaksa harus menceritakan hal ini pada mama Abid. Agar Mama Abid dapat memberikan perhatian lebih pada Abid,” ucap bu Nurma sambil sesekali mengelus punggung Abid.
“Tapi mama pasti marah pada saya, bu.”
“Mama marah pada Abid karena sayang sama Abid,” jelas bu Nurma.
“Nanti ibu akan menjelaskan pada mama Abid agar tidak memarahi Abid. Tetapi Abid harus berjanji untuk tidak mengambil barang yang bukan miliknya. Lain kali jika Abid menemukan benda milik orang lain, maka Abid harus segera mengembalikannya. Selain itu, bukankah pahala Abid semakin bertambah? Iya kan?”
“Iya, bu. Saya mengerti. Saya janji untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi.”
Bu Nurma tersenyum lembut, “Abid juga harus tahu kalau bu Rika dan bu Nurma menasehati Abid karena sayang pada Abid. Abid dan semua teman Abid disini sudah seperti anak ibu sendiri. Iya kan, bu Rika?” bu Rika menganggukkan kepala.
Bu Rika menambahi, “Jika kalian memiliki masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka ibu akan bersedia untuk mencari jalan keluar untuk kalian semua Jangan merasa sungkan atau malu. Karena semua guru disini juga sebagai pengganti orang tua kalian di sekolah.” Aku dan Abid mengangguk secara bersamaan.
***
Setelah dari ruangan BK, aku dan Abid berjalan bersama menuju ruangan kelas. Sesampainya disana, teman-teman sekelas langsung mengerubungi kami. Banyak dari mereka yang bertanya mengenai ipad milik Siti.
“Bid, kenapa ipad Siti berada di dalam tas kamu?”
“Apa kamu benar-benar mencurinya?”
“Jadi selama ini kamu yang mencuri barang-barang kita?”
Berbagai pertanyaan terlontar dan hal itu membuat Abid hanya diam membisu. Sepertinya dia tidak tahu bagaimana dalam menghadapi teman-teman sekelas. Aku sangat mengerti perasaannya. Dia tidak ingin teman-teman tahu kebenarannya. Dia takut jika nantinya teman-teman akan menjauhinya.
“Abid tidak mencuri apapun. Orang yang mencuri barang-barang kalian itu bukan Abid,” aku mencoba menjelaskan. Teman-teman melihatku penuh dengan minat.
“Tapi kenapa ipadku berada di dalam tas Abid?” komentar Siti.
Aku langsung menjawab, “Pokoknya bukan Abid yang mencuri barang-barang. Buktinya Abid juga kehilangan album perangkonya.” Teman-teman langsung manggut-manggut mengerti. Sepertinya mereka menerima penjelasanku. Aku pun bernafas lega.
“Anak-anak, ayo duduk. Kita lanjutkan pelajaran lagi,” bu Nurma datang dan menyuruh kami untuk membuka halaman berikutnya. Aku segera kembali duduk di bangkuku. Baru berjalan beberapa langkah, seseorang menggamit lenganku. Aku menoleh.
“Abid..,” kataku sedikit kaget. Kulihat Abid mengembangkan senyumannya kembali.
“Amar, terima kasih ya.”
***
Setelah mendengar bel pulang, aku segera mengemasi buku-buku. Teman-teman juga tampak sibuk memasukkan buku-buku di dalam tas. Tidak lupa sebelum keluar kelas, kami menyalami bu Mahiba, guru agama islam. Baru saja melangkah keluar ruangan kelas, seseorang menarik tanganku.
“Halo, Amar!” seru Yoga sambil melambaikan tangannya. Rupanya Yoga dan Hana berdiri di luar kelas untuk menungguku.
“Kalian ingin pulang bareng aku?”
“Yap, kita ingin jalan bareng sama kamu sampai gerbang sekolah. Setelah itu kita berpisah disana. Kita kan dijemput ortu masing-masing,” kata Hana sambil tersenyum.
“Nggak tanya tuh. Aku sudah tahu kali kalau kita dijemput ortu masing-masing,” candaku. Hana langsung menggembungkan kedua pipinya. Lalu dia memonyongkan bibirnya. Aku pun tertawa melihat ekspresi aneh yang ditunjukkan Hana. Yoga juga ikut tertawa. Setelah itu kami berjalan bersama.
“Tadi kelas kalian ada pemeriksaan mendadak?” tanyaku. Mereka berdua menganggukkan kepala secara bersamaan.
“Tadi hanya pak Handoso yang memeriksa tas kami,” kata Hana. Lalu dia menyipitkan matanya ke arahku. “Pasti pemeriksaan tadi ada hubungannya dengan barang-barang yang hilang di kelasmu. Iya kan?” aku menganggukkan kepala.
“Aku yakin kalau kamu sudah tahu apa yang terjadi melalui gosip.”
Hana tertawa.
“Yap! Aku dengar kalau Siti kehilangan ipad di dalam kelas.”
“Sekarang sudah ketemu kok.”
Hana terkejut, “Hah? Masa’?!” aku menganggukkan kepala dengan mantap. “Siapa pelakunya? Jangan-jangan pelakunya adalah orang yang selama ini mencuri barang-barang kalian?!” aku hanya mengendikkan bahu.
“Yang paling penting sekarang ipad Siti sudah ketemu. Sudah deh, jangan bahas itu lagi. Aku yakin suatu saat pencurinya akan segera ketemu. Itu yang dikatakan oleh bu Rika.”
“Tapi anehnya aku merasa kalau pencuri ipad itu berbeda dengan pencuri yang sebelumnya,” tuh kan, antena kecurigaan Hana mulai muncul kembali. “Coba kalian pikirkan, ipad itu kan benda yang berharga. Sedangkan selama ini, benda-benda yang dicuri oleh si pencuri tidak terlalu berharga. Contohnya saja Keke yang kehilangan charger hape, padahal saat itu Keke meletakkan charger dan hape secara bersamaan di dekat stop kontak. Tapi yang hilang justru charger Keke, bukan hapenya. Bukankah hape lebih berharga daripada charger ya? Nah, kasus yang satu ini lain lagi. Malah kebalikannya toh!”
Sesaat aku terperangah mendengar penuturan Hana. Benar juga apa kata Hana. Entah kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Aku harus memikirkannya secara matang!
***