Hana dan Yoga berhasil mencegat Acher. Cowok bertubuh tinggi semampai itu berteriak meminta tolong. Tetapi para siswa hanya melihatnya dengan ekspresi heran. Hana dan Yoga langsung memegang kedua lengan Acher dengan kuat. Sedangkan aku berusaha mengatur nafas akibat berlari kencang mengejar mereka bertiga. Seragamku pun basah karena peluh keringat. Setelah itu aku berjalan mendekati mereka.
“Hana, kita harus melepaskan Acher. Kasihan dia. Tangannya pasti akan terasa sakit,” ujarku. Hana menggelengkan kepala.
“Tidak bisa! Kita sudah berhasil menangkap pencuri kelasmu. Kita tidak boleh menyia-nyiakan hal ini!” katanya tegas.
Yoga juga menambahi, “Kita harus segera membawanya ke ruang BK.”
“Tapi..,” aku merasa kasihan pada Acher yang sedari tadi tubuhnya bergejolak meminta untuk dilepaskan. Akan tetapi Hana dan Yoga tetap memegangnya dengan erat. Aku tahu jika Acher bersalah. Namun lebih baik jika kita menanyakan alasan Acher mencuri dengan baik-baik tanpa paksaan seperti ini. Aku terkejut saat Acher mulai menangis dengan keras. Aku maupun Hana dan Yoga kebingungan melihat tingkah lakunya.
“Amar, apa yang kalian lakukan disini? Kenapa Acher menangis?” bu Nurma berjalan mendatangi kami. Bagus! Aku baru sadar jika kita berada di depan ruang guru. Beberapa guru juga sesekali melihat ke arah luar. Aku menjadi malu karena kami telah membuat Acher menangis.
“Bu Nurma, selama ini orang yang mencuri barang-barang di kelas tujuh-A itu Acher,” ucap Hana yakin. Acher masih menangis sesenggukkan. Bu Nurma berusaha menghentikan tangisnya. Tidak lama kemudian tangis Acher mulai mereda.
“Saya tidak mencuri, bu,”
“Bohong!” seru Hana.
“Aku tidak mencuri,” ulang Acher lagi.
Bu Nurma memutuskan untuk membawa kami bertiga ke ruang BK. Entah kenapa aku merasa gelisah ketika bu Nurma menyuruh kami untuk menyelesaikan permasalahan di ruang BK. Aku hampir tidak yakin dengan dugaan Hana. Berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Hana dan Yoga. Mereka tersenyum kemenangan seakan-akan dugaan mereka benar 100 persen. Aku tidak ingin melakukan kesalahan lagi yakni menuduh orang tanpa alasan yang kuat.
Setelah sampai disana, kami menyalami bu Rika dan duduk di kursi sofa. Bu Nurma menyuruh Acher untuk duduk bersama kami. Rasa ketakutan terlihat jelas di wajahnya. Aku langsung menarik tangannya dan memberikan ruang untuk duduk disebelahku. Bu Nurma menanyakan permasalahan kami.
“Tadi saya melihat Acher hampir membawa album perangko Abid tanpa seijin pemiliknya, bu,” jelas Hana.
“Tidak salah lagi. Dia hendak mencuri album perangko itu, bu,” imbuh Yoga. Sementara aku hanya diam. Aku tidak ingin ikut terlibat terlalu jauh. Di dasar hati yang paling dalam, aku masih mempercayai Acher yang ramah dan baik hati.
“Saya menduga bahwa orang yang selama ini mencuri barang-barang di kelas Amar adalah Acher, bu,” Hana melanjutkan kata-katanya dengan nyaring. “Iya kan, Mar?” aku terkejut ketika Hana menyebut namaku untuk meminta dukungan. Aku tidak tahu harus menjawab apa selain ber –ooh dan –eeh.
“Apa kalian memiliki bukti yang jelas bahwa Acher mencurinya?” tanya bu Rika kalem. Hening. Tidak ada yang menjawab. Aku menjadi teringat kalimat yang tadi Acher ucapkan. ‘Aku jadi ingin memilikinya juga.’ Aku merasa curiga dengan apa yang dikatakan Acher sebelumnya. Namun aku ragu untuk membicarakan hal itu pada bu Rika. Maka aku hanya terdiam, mengunci mulutku rapat-rapat. Aku merasa takut jika dugaanku salah lagi dan bu Rika akan memberi peringatan padaku untuk kedua kalinya.
“Abid meninggalkan album perangkonya di atas meja dan Acher langsung mengambilnya begitu saja. Dia hendak keluar kelas dengan membawa album perangko si Abid. Aku dan Hana adalah saksi mata dari kejadian itu, bu,” kata Yoga pelan. Bu Rika melihat ke arah Acher yang sedari tadi terdiam sambil menundukkan kepala.
“Acher,” panggil bu Rika. Acher mengangkat wajahnya. Matanya kelihatan agak sembab dan sisa-sisa air matanya masih terlihat di sudut matanya. “Apa benar kalau kamu mencuri album perangko milik Abid?” Dengan cepat Acher menggeleng-gelengkan kepala.
“Acher, kamu jangan bohong. Kita lihat sendiri loh kalau kamu yang mengambil album perangko si Abid,” seruan Hana membuat Acher sedikit tergagap. Acher kembali menundukkan kepalanya. Bu Nurma memegang kedua tangan Acher dengan lembut. Beliau mencoba melihat kedua bola mata Acher dalam-dalam.
“Acher, apakah kamu yang mengambil buku Abid di atas meja?” ucap beliau dengan nada hati-hati. Acher tidak langsung menjawab. Dia masih menatap bu Nurma. Tak lama kemudian dia mengangguk.
“Tuh kan, bu!” seru Hana cepat. Bu Rika memberi isyarat pada Hana untuk diam. Hana langsung mengunci mulutnya. Setelah itu Hana malah berbisik dengan Yoga. Yang diajak bicara, hanya menganggukkan kepala.
“Saya hendak mengembalikan buku itu padanya, bu,” kami terkejut ketika Acher mulai berbicara. “Saya tidak berniat untuk mencurinya,” ucapnya dengan kepala tertunduk. Mendengar pernyataannya dan melihat wajahnya yang polos membuatku semakin yakin jika Acher tidak mencuri album perangko itu.
“Acher bohong, bu,” kata Hana lagi. Acher hanya terdiam tidak menjawab.
“Hana, kamu harus berlaku adil pada Acher. Tolong belajar untuk menghargai apa yang dikatakan oleh orang lain, terutama teman-temanmu. Kita tidak bisa langsung menuduhnya hanya karena dia hendak membawa pergi album itu,” perkataan bu Rika membuat Hana langsung bungkam. Bu Rika kembali melihat Acher yang masih menundukkan kepalanya. “Acher harus jujur, kenapa Acher membawa buku yang bukan milik Acher?” Acher mengangkat wajahnya kembali. Dia memandang bu Rika agak lama.
Dia mulai membuka mulutnya lagi, “Saya hendak mengejar Abid untuk mengembalikan album perangko itu padanya. Karena saya tahu jika kelas Abid rawan pencuri. Makanya saya ingin melindungi barang berharga milik Abid.”
Mendengar pernyataannya itu membuat hatiku merasa lega. Setidaknya aku dapat mempercayai Acher. Ya, Acher yang lugu, suka memeluk, ramah, dan jujur.
“Saya mempercayai Acher, bu,” ucapku dengan penuh keberanian. Hana dan Yoga sedikit terkejut mendengar perkataanku. “Aku rasa Acher benar-benar jujur, bu. Dia selalu bersikap ramah pada semua orang, terutama di kelasku. Jadi tidak mungkin kalau dia yang mencuri album Abid maupun barang-barang yang hilang lainnya.”
Bu Rika tersenyum mendengar penjelasanku, “Jadi kamu mempercayainya?”
“Sangat, bu. Saya sangat mempercayai Acher,” bu Nurma menepuk kedua pundakku.
“Ibu bangga kepadamu, Mar. Kamu memiliki keberanian untuk membela temanmu yang tidak bersalah. Bahkan kamu juga sangat mempercayainya,” aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lalu aku melihat Hana dan Yoga yang sedari tadi masih terdiam. Aku rasa mereka merasa malu karena telah salah menuduh orang.
“Terima kasih, Mar,” Acher memelukku dengan erat. Aku langsung gelagapan, hampir tidak dapat bernafas. Hana menepuk pundak Acher. Acher melepaskan pelukannya dan berbalik.
“Maafkan aku ya, Cher. Aku telah salah menilai orang,” ucapnya dengan wajah sedih. Hana dan Acher bersalaman. Lalu Yoga juga ikut bersalaman.
“Maafkan aku juga ya, Cher. Seharusnya aku mendengar alasanmu membawa album perangko itu. Aku terlalu tergesa-gesa dalam menyimpulkannya,” Acher menganggukkan kepalanya sambil tetap tersenyum. Terdengar bel berbunyi, pertanda jam istirahat telah usai. Namun terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar. Bu Rika menyuruhnya untuk masuk. Kehadiran orang itu sungguh mengejutkanku. Dia bersalaman dengan bu Rika dan bu Nurma. Lalu dia duduk di sofa yang kosong.
“Maaf, bu. Saya ingin melapor bahwa saya kehilangan album perangko di ruangan kelas tujuh-A.”
***