Kami berjalan menuju ruang kelasku. Aku melihat tidak banyak orang disana. Lalu aku menemukan keberadaan Hana. Dia sedang mengobrol dengan Tuti.
“Mar, lihat ini! Abid memiliki banyak koleksi perangko lho!” Jeremy menarik lenganku. Dia membawaku memasuki gerombolan dan berdiri di depan bangku Abid.
Aku melihat Abid yang menunjukkan berbagai perangko yang diletakkan di dalam album dengan rapi. Aku malah baru tahu kalau dia suka sekali mengoleksi perangko. Padahal selama ini sosok Abid yang aku tahu merupakan cowok yang sangat tergila-gila dalam bermain sepak bola. Tidak disangka, dia juga memiliki kegemaran yang lain.
“Kalau perangko yang ini pada tahun dua ribu tujuh. Temanya tentang gemar membaca dan menulis,” beberapa anak tampak takjub dengan perangko yang ditunjuknya. Lalu Abid membuka halaman selanjutnya. “Nah, kalau yang ini pada tahun dua ribu enam. Temanya tentang gasparko slowakia.”
“Wah, perangko sebanyak ini pasti butuh waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkannya ya,” kata Jeremy dengan mata berbinar-binar. Abid menganggukkan kepalanya dengan tersenyum bangga.
“Aku mengumpulkannya semenjak duduk di kelas empat esde. Bahkan aku membelinya dengan uang tabunganku sendiri.”
“Wah, hebat sekali!”
“Coba lihat yang ini! Sangat bagus, bukan?” banyak dari mereka yang kagum melihat berbagai perangko Abid. Aku pun menjadi ikut tertarik melihat kumpulan perangkonya.
“Apa kamu juga memiliki teman sesama filatelis, Bid?” tanyaku ingin tahu. Abid mengangguk lagi.
“Tentu saja! Aku selalu mengikuti suatu perkumpulan penggemar perangko. Disana aku bertemu dengan banyak filatelis yang masih muda bahkan sampai yang sudah berumur. Kita bisa saling bertukar perangko, menjualnya, hingga mendiskusikannya. Tanpa sadar kami sudah akrab seperti keluarga sendiri.”
Aku tersenyum mendengarnya. Aku bisa melihat sisi lain dari Abid. Selain dia hobi bermain bola dan mengumpulkan perangko, ternyata dia juga pintar dalam bersosialisasi. Aku menjadi salut padanya.
“Nah, yang ini temanya tentang shio pada tahun dua ribu tujuh,” tunjuknya lagi. Aku dan teman-teman yang lain melihat dengan seksama. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku berbalik. Yoga melihatku dengan wajah cemberut. Aku teringat kembali misi yang hendak kami jalankan. Aku mengikutinya keluar dari gerombolan.
“Kita jadi nggak sih melihat si Hana?” bisiknya dengan nada jengkel.
“Ya iyalah.”
“Kamu malah berdiri disana dengan santainya.”
“Iya, aku tahu. Sorry, aku sudah terbawa suasana. Aku merasa kagum pada Abid yang mengumpulkan banyak perangko. Dia pasti berusaha keras dalam mengumpulkannya,” kataku menggebu-gebu.
“Iya, aku tahu. Tapi ini bukan saat yang tepat. Aku rasa kita harus melihat gerak-gerik Hana tanpa harus ketahuan,” katanya sambil melihat arlojinya. “Sebentar lagi bel masuk nih. Kita tidak banyak waktu untuk mengawasinya. Kita harus bertindak cepat.”
Setelah Yoga mengatakan hal itu, dia menyuruhku untuk mengikutinya. Kami duduk di bangku tengah yang tidak jauh dari posisi Hana. Kami pura-pura saling mengobrol sambil melihat gerak-gerik Hana. Gadis itu masih berbicara dengan Tuti dengan tertawa terbahak-bahak. Namun selama kami memperhatikannya, bahasa tubuhnya sedikitpun tidak terlihat mencurigakan. Hana dan Tuti benar-benar terlihat sedang menikmati obrolan. Suara percakapan mereka juga terdengar.
“Benar, Han. Aku tidak memakai lotion sama sekali,” ucap Tuti bersungguh-sungguh.
Hana tertawa kecil. Dia berbicara lagi, “Tapi kulit tanganmu benar-benar putih dan mulus loh, Tut. Suwer aku nggak bohong!”
“Wah, masa’ sih. Duh, jadi pengen malu nih,” mereka tertawa lagi. Ini, sih sama saja aku mendengarkan perbincangan yang tidak penting. Tetapi mendengar pujian Hana, semakin membuatku risih melihatnya. Entah kenapa aku tidak melihat ketulusan dari wajahnya.
“Eh, apa yang terjadi kemarin? Aku mendengar kabar kalau kemarin dompet bu Nurma hilang disini ya?” nah, lho, dia sedang mencari tahu sesuatu yang berkaitan tentang barang yang hilang.
“Iya. Setelah pelajaran terakhir selesai, bu Nurma kembali lagi ke kelas. Dia tidak menemukan dompetnya. Beliau yakin bahwa sebelumnya dompet itu diletakkan di atas meja,” aku pun juga teringat apa yang terjadi tadi pagi.
Bu Nurma, wali kelasku, datang ke kelas kami untuk menanyakan dompet berwarna orange yang beliau letakkan di atas meja saat mengajar. Beliau berharap dapat menemukan dompetnya kembali. Kami sebagai murid-muridnya juga berjanji akan secepatnya mengembalikan dompet orange milik bu Nurma jika menemukannya di suatu tempat. Aku sangat senang karena bu Nurma menjadi wali kelasku. Beliau sangat sabar dalam membimbing kami. Beliau juga wanita yang menyenangkan. Sudah banyak dari kami semua yang selalu curhat pada beliau jika kami memiliki masalah. Bu Nurma segera memberikan nasehat dan jalan keluar atas masalah kami. Apalagi dengan masalah bu Nurma, beliau tidak langsung menuduh kami. Bu Nurma hanya mengingatkan kami untuk segera mengembalikan jika di antara kami ada yang menemukan dompetnya.
“Duh, kasihan ya Bu Nurma. Aku harap bu Nurma dapat menemukan dompetnya kembali,” aku mendengar Hana berbicara lagi. ‘Aku harap jika kamu segera mengembalikannya, Han,’ kataku bersungut-sungut dalam hati. “Uuh, kalau pencurinya sampai ketemu, bakalan aku cincang deh orangnya!” aku tertawa mendengarnya. ‘Oke! Sepertinya kamu harus mencincang dirimu sendiri.’
“Ngapain kamu tertawa jahat kayak gitu, Mar. Ekspresimu itu terlihat agak menakutkan,” aku kembali tersadar. Rupanya sedari tadi Yoga memperhatikanku. “Aku tidak tahu kenapa kita bisa menuduh dia sembarangan. Bahkan tidak ada bukti yang jelas bahwa gadis itu mencuri sesuatu disini.”
“Hey, kamu kan juga tahu apa alasanku menuduhnya. Dia sering mampir di kelasku. Semenjak dia sering datang kemari, barang-barang juga sering hilang. Bahkan sampai sekarang tidak ada seorangpun yang menemukan barang-barang itu,” bisikku penuh penekanan. Yoga menggelengkan kepalanya.
“Aku mempercayainya. Sebagaimana kamu mempercayai teman-teman sekelasmu, seperti itulah aku juga mempercayai Hana sebagai teman sekelasku.”
Aku termenung mendengar perkataannya. Yap, bagaimanapun juga Hana merupakan teman sekelasnya. Aku menjadi sedikit bersalah karena telah menuduh Hana tanpa bukti yang jelas. Tetapi keberadaan gadis itu yang selalu mampir di kelasku, membuatku tetap kukuh dalam keputusanku. Hana-lah pelakunya!
“Okay, aku balik ke kelas dulu ya,” Yoga bangkit dari duduknya. ‘Tidak! Aku tidak bisa membiarkannya pergi! Aku masih yakin kalau Hana adalah pelakunya!’
“Tunggu dulu, Yog,” aku langsung berdiri, berusaha untuk mencegahnya pergi. Saat aku hendak memegang bahunya, seruan Hana mengagetkanku. Perlu diralat, mengagetkanku dan orang-orang yang berada di kelas.
“Duh, sakiittt?!! Hey, kamu kok nabraknya keras banget. Sakit tau,” serunya kesal. Rupanya Hana baru saja bertabrakan dengan gadis di depannya. Aku melihat Hana yang terduduk di lantai. Melihat Hana yang ditabrak sampai terjatuh seperti itu, membuatku agak geli membayangkannya.
Tuti membantunya berdiri. Sementara Hana masih ngedumel dihadapan gadis berambut panjang itu. Aku mengenal gadis didepannya. Namanya Lina. Dia bukan tipe gadis yang suka memarahi orang. Jangankan marah, melihat orang yang berada disekitarnya pun sangat jarang. Dia selalu terlihat agak pendiam dan penyendiri. Aku selalu bersikap ramah padanya. Seringkali aku berharap agar suatu hari Lina dapat berbaur dengan kami semua. Betapa menyenangkan jika suatu hari dia dapat mengenal kami, teman-temannya. Satu hal yang membuatku juga kagum padanya adalah setiap kali dia melakukan kesalahan pada orang lain dia selalu berkata..
“Maaf,” nah, lho, benar kan?
“Aduh, pinggangku sakit banget,”
“Maaf,” katanya lagi. Aku yang tidak tahan melihat keluhan Hana, dengan segera menghampirinya. Aku mulai berdiri di tengah-tengah mereka berdua.
“Han, Lina kan sudah minta maaf. Kenapa kayak gitu dipermasalahin sih?!!” seruku kesal. Aku bisa melihat kedua mata Hana yang mulai membelalak marah.
“Tapi kan.. badanku..,”
“Tapi..,” runtutku menunggu Hana melanjutkan kata-katanya. Terdengar bel pertanda jam istirahat telah usai. Yoga mengajak Hana untuk kembali ke kelas. Aku berbalik ke belakang. Rupanya Lina masih berdiri di belakangku. Dia masih menundukkan kepalanya. “Sudah, nggak usah dipikirkan. Hana memang seperti itu kok. Selalu membesar-besarkan masalah.”
“Amar,” aku terkejut mendengar Lina mengetahui namaku. Aku kira selama ini dia tidak mengetahui namaku. “Terima kasih,” setelah mengatakan hal itu, dia berjalan sambil tetap menunduk ke tempat bangkunya yang paling belakang. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya. ‘Dia memang benar-benar gadis yang baik.’
“HEY! SIAPA YA, ORANG YANG SUDAH MENGAMBIL CHARGER HP-KU??! Kalau mau pinjam, bilang-bilang dong!” perhatianku teralih pada Diara yang baru saja berteriak. Aku melihat teman-teman yang juga saling melihat satu sama lain. Tidak ada satupun dari mereka yang memberi pernyataan meminjam charger gadis itu. Diara yang merasa kesal, mengulang pertanyaannya tadi. Namun tidak ada satupun dari kami yang mengembalikan charger padanya.
“Apa jangan-jangan chargermu dicuri lagi ya, Ra?” Woka mulai membuka suara. Terlihat kekecewaan diwajah Diara. Aku agak bersimpati padanya. Sudah kedua kalinya dia kehilangan charger hp-nya. Tampaknya chargernya benar-benar dicuri lagi. Pasti pencurinya adalah orang yang sama. Kini Diara hanya menyandarkan tubuhnya di tembok.
“Coba kita cari dulu. Barangkali chargernya Diara berada di kolong meja, di lantai, atau dimana gitu,” mendengar komando dari Shasa, kami langsung dengan sigap mencari benda itu dengan harapan dapat segera menemukannya.
“Anak-anak, kalian sedang apa?” kami terkejut melihat kehadiran bu Nurma di ambang pintu. Shasa berjalan mendekati bu Nurma.
“Charger Diara hilang lagi, bu. Sepertinya chargernya dicuri oleh seseorang.”
***