Akhir-akhir ini kelas kami sering kehilangan berbagai barang. Mungkin hal itu biasa dalam kehidupan anak sekolah, seperti kehilangan bolpoin, pensil, spidol, pensil warna, namun hal ini berbeda dari yang lain. Kehilangan secara berturut-turut dan barang-barang penting mulai ludes di setiap bangku. Heru kehilangan deodoran kesayangannya (salah sendiri bawa deodoran ke sekolah), Bhuti kehilangan kaos kakinya yang tertinggal sebelah dari sepasang (aneh!), Ulfah kehilangan charger handphone dibawah loker ketika mengisi baterai hp-nya (tapi si hp tetap bertahan di loker, yang hilang malah chargernya), dan yang paling tragis dan menggemparkan sekolah adalah tidak ditemukannya kunci motor bebek milik Danya.
Hari itu, dia nangis mewek dan pada akhirnya ayahnya datang menemui pemilik si bebek untuk memberi kunci cadangannya. Kelas itu menjadi momok bagi kami. Pasalnya, dalam beberapa bulan ini kelas kami, VII-A, terdaftar kelas yang paling rawan terjadi pencurian. Jadi mulai dari sekarang, kami menjadi lebih berhati-hati.
Saat jam istirahat, aku berkunjung ke kelas Yoga. Aku sering mampir di kelasnya karena suatu alasan. Entah kenapa aku selalu tertarik mendengar pembicaraan Hana, teman sekelas Yoga. Hana dan kedua teman ceweknya selalu asyik membicarakan tentang pencurian di kelasku. Aku pun menyadari, selain Hana dan kedua temannya, sudah banyak para siswa dari berbagai angkatan yang mengetahui hal ini. Anak-anak kelas lain juga mulai menjaga jarak dengan anak-anak di kelas kami. Mereka merasa ikut terancam juga dengan keselamatan barang-barangnya. Hingga Akhirnya kelasku resmi menjadi kelas paling rawan pencurian. OH MY GOD! Tragis banget kan?
Aku sendiri tidak tahu harus patut berbangga atau tidak. Banyak orang-orang di kelas kami menjadi penasaran kenapa sampai hari ini orang yang mencuri begitu lihai sehingga tidak ada satu pun saksi mata.
“Sst... tau gak sih bem, kelas angker itu kehilangan charger lagi. Eh, malah hapenya tetep bertahan di meja. Padahal hapenya merek terbaru boo’, touch screen lagi!!!!” kudengar Hana mulai membuka pembicaraan. Perlu diralat, sebelum pemberitaan tentang pencurian mengambang, nama kelas kami sudah tercoreng akibat tersebar gosip beberapa tahun lamanya bahwa kelas VII-A merupakan kelas yang angker. Aku tidak begitu mempercayainya. Tetapi bagi sebagian siswa terlihat begitu mempercayai berita itu. Ditambah dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari itu kami sedang mengikuti pelajaran sosiologi. Entah darimana asalnya, tiba-tiba lampu di kelas kami pecah dan berbau gosong. Pencahayaannya pun meredup. Hal itu semakin meyakinkan bahwa kelasku merupakan kelas yang angker.
Kembali lagi dengan Hana yang masih mengobrol dengan kedua temannya. Posisi Hana dan kedua temannya tepat berada di belakangku. Masih mengobrol dengan Yoga, sesekali aku menguping pembicaraan mereka.
“Iih.. kalo aku sih ada kesempatan, udah aku embat tuh si touch,”
“Kamu mau banget ya jadi si tangan panjang..,”
“Bercanda deh. Omong-omong, siapa ya si tangan panjang itu?” aku tertawa kecil dalam hati. Seberapa pun rasa penasaran mereka, masih lebih penasaran aku dan teman-teman sekelasku. Bahkan kami menimbulkan kecurigaan besar satu sama lain. Alhasil, perasaan untuk saling percaya cepat luntur dan berganti dengan keraguan.
“Eh, kayaknya Amar lagi nguping tuh,” rupanya Hana menyadari keberadaanku. Aku sendiri juga baru tersadar karena tubuhku yang bereaksi berlebihan dan lebih condong ke belakang membuat bahasa tubuhku mudah terbaca oleh mereka. “Kita ke kantin ajah yuk!”
Hana dan kedua temannya langsung berdiri dan keluar kelas. Aku sangat yakin mereka akan meneruskan obrolan tentang kelasku disana. Ingin sekali rasanya membanting meja dan mengatakan pada Hana dan semua orang bahwa segala hal yang mereka gunjingkan selama ini tidak benar adanya.
“Mar, kamu dengar nggak sih?” aku kembali tersadar dari lamunan. Yoga menunjukkan kerutan dari wajahnya. Tampaknya dia mengetahui bahwa aku tidak begitu memperhatikannya. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
“Aku tadi bilang kalau aku sepertinya tahu siapa dalang dari semua ini,” ucapnya dengan ekspresi wajah sok serius. Giliran aku yang mengerutkan kening, tidak mengerti. “Tidak mungkin kalau orang luar yang mencuri barang di kelasmu. Sudah pasti kalau yang mencuri itu adalah orang dalam,” aku langsung mengerti kemana arah pembicaraannya. Ternyata Yoga juga sedang membicarakan tentang pencurian di kelasku. Aku malah merasa Yoga itu lebay banget. Pakai istilah orang dalam-orang luar lah. To the point saja kenapa sih!
“Maksudmu pelakunya itu ada di dalam kelasku? Di antara teman-teman sekelasku?” tanyaku memperjelas. Yoga menganggukkan kepala dengan pasti.
“Bisa juga si pelaku itu adalah kamu,” tudingnya dengan muka sok serius. Aku terkejut mendengarnya. Kutonjok pelan bahunya.
“Jangan bercanda kamu, Ga! Mana mungkin kalau aku pelakunya?! Aku sendiri juga korban tahu. Gara-gara pencurian itu, keakrabanku dengan teman-teman lainnya juga jadi terganggu. Sekarang nama baikku juga ikut tercoreng tahu!!!” seruku ngotot. Yoga malah cengar-cengir. “Lagipula mana mungkin kalau orang itu adalah salah satu dari teman-teman sekelasku. Aku sangat mempercayai mereka semua. Tidak ada yang patut dicurigai dari mereka. Aku lebih yakin kalau pelakunya adalah orang luar.”
“Jangan konyol! Aku lebih yakin kalau pelakunya itu orang dalam, Mar.”
“Tapi bukan aku! Juga bukan teman-teman sekelasku!”
“Aku tahu itu. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Selama ini kamu juga penasaran dengan pelakunya kan? Karena itu juga, kamu selalu kesini untuk mencari perkembangan informasi dari si Hana.”
“Yap. Akhirnya kamu menyadarinya juga,” gumamku.
“Aku sampai cemburu tahu! Kamu lebih memperhatikan Hana dan teman-teman yang lain daripada aku,” kelakarnya. Aku pura-pura bergidik ngeri melihatnya. Yoga tertawa terbahak-bahak.
“Aku tidak memperhatikan Hana dan teman-temannya saja loh. Sudah banyak aku dengar orang-orang yang bergosip tentang pencurian itu.”
“Tapi jangan sampai berlebihan ya. Jangan sampai berlanjut suudzon loh ya.”
Aku nyengir sesaat, “Aku mulai curiga dengan Hana. Setiap hari ada saja yang mereka gosipkan. Terkadang aku melihatnya mondar-mandir di kelasku.”
“Tuh kan mulai suudzon! Hayo, tadi aku bilang apa..,” aku langsung terkekeh mendengarnya. Benar juga! Aku tidak boleh menaruh curiga terlalu dalam pada seseorang. Hal itu bisa menimbulkan fitnah nantinya. Akan tetapi sebanyak apapun aku menghapus Hana dari daftar pelaku, kecurigaanku malah semakin besar padanya.
Hana Pratiwi. Seorang gadis yang supel dan jago berakting. Hobinya suka bergosip. Dia selalu menimbulkan banyak sensasi pada semua orang di sekitarnya, terutama tentang kelasku. Dari awal semester, Hana selalu mampir di kelasku. Seperti biasa, dia mondar-mandir dan bercuap-cuap dengan semua orang disana. Memang sih, bukan dia saja yang mampir di kelasku. Akan tetapi hanya dia yang setiap hari berkunjung di kelasku. Seiring dia mondar-mandir disana, selalu ada saja barang-barang yang hilang. Hal itu menimbulkan kecurigaan besar.
Aku melihat kedua teman Hana telah kembali ke kelas. Namun aku tidak melihat sosok gadis itu. Mataku langsung beralih ke arah Yoga.
“Lihat, Yog. Kedua temannya tadi sudah kembali. Tetapi sekarang Hana tidak bersama mereka,” ucapku dengan wajah curiga. Yoga mengernyitkan dahi dengan heran. “Siapa tahu sekarang dia mampir di kelasku. Setiap hari dia berkunjung di kelasku. Seiring waktu, kelas kami juga kehilangan barang. Bukannya aku menuduh, tetapi siapa tahu dia melakukan hal yang tidak pernah kita pikirkan.” Yoga tampak berpikir sesaat. Lalu dia memanggil salah satu temannya Hana.
“Dir, dimana Hana? Kalian nggak bareng?”
“Hana mampir dulu di kelas tujuh-A,” mendengar hal itu, dugaanku semakin mantap. Yoga berbalik melihatku. Kami saling menatap. Sepertinya dia memiliki pemikiran yang sama denganku. Yoga bangkit dari duduknya.
“Ayo kita kesana. Siapa tahu kita mendapatkan petunjuk,” aku ikut berdiri. Saat aku hendak berjalan, Yoga mencegatku. “Tapi kamu jangan teburu-buru menuduhnya. Bisa saja dia tidak melakukan hal itu.”
***