Pekan itu adalah minggu terakhir pesta lampion. Tentu saja acara itu sangat ditunggu-tunggu oleh Lucas, dan kali ini aku juga menunggu perayaan itu. Kami pernah membuat geger satu istana karena menghilang seharian, kali ini, akulah yang menjadi pemimpin pergerakkan itu. Keadaannya persis seperti yang terjadi tahun kemarin, Lucas membawaku ke dalam hutan dan mengambil jubah hitamnya untuk kami pakai sebagai penyamaran. Mungkin dulu aku terpaksa diseret olehnya, tapi percayalah, kali ini aku sangat menantikan minggu terakhir musim semi.
“Kali ini aku membawa uang,” kataku memperlihatkan kantung uangku. Ya, sekarang ini adalah uang milikku.
Lucas membetulkan jubah yang kupakai, “Tidak perlu membawanya juga tidak masalah. Aku tidak pernah kekurangan uang untuk menyenangkanmu.”
“Kau mengatakan itu kedengarannya seperti aku sedang memerasmu.” Aku menangkap tangannya, “Ayo pergi!”
Tidak ada pertengkaran atau paksaan seperti tahun lalu. Kali ini aku lebih jelas merasakan genggaman tangan laki-laki ini yang hangat, meski berbeda dengan raut wajahnya yang selalu dingin dan tajam. Kami membicarakan banyak hal selama perjalanan, salah satunya soal buku yang sempat membuatku banjir air mata. Lucas salah mengira dan hampir membakar rumah si penulis. Untung saja aku bisa menjinakkan singa itu dan menjelaskan apa yang terjadi.
“Aku menyukainya, buku itu sangat luar biasa. Apalagi waktu penulisnya bisa membuat emosi pembacanya sampai keluar di akhir cerita. Kau harus membacanya, Lucas.”
“Dan menangis sepertimu.”
“Karena ceritanya benar-benar bagus.”
“Kau sangat menyukainya, ya? Jarang mendengarmu memuji orang lain.”
“Aku sering memujimu, kok.”
“Bukan itu yang kumaksud.”
“Jangan cemburu, kau luar biasa hebatnya.”
Lucas semakin mengeratkan genggamannya, “Apa kita undang saja penulis buku itu? Kau bisa mengajaknya makan siang.”
“Bolehkah? Benar! Kita harus mengapresiasi penulis itu.” Aku menyunggingkan deretan gigiku.
“Ada lagi yang kau inginkan?”
“Emm… aku menginginkanmu,” kataku serius yang membuat daun telinga Lucas kembali memerah. “Hahaha…”
Kami sampai di kedai bir bekas tempat kerja Tuan Liam. Kedai itu dibiarkan kosong dan sepertinya tidak banyak orang yang terlalu terganggu dengan kedai itu.
“Kalau kita hanya rakyat biasa, bagaimana jika kita membuka toko kue. Aku yang akan menjualnya, dan kau menjadi pegawai di istana.”
“Kenapa aku masih harus di istana?”
“Uang hasil berjualan kue tidak akan cukup memenuhi kehidupan kita sehari-hari, Lucas.”
“Sebaiknya kau tetap di istana saja, bagaimana pelangganmu bisa nyaman jika pemilik toko bisa lebih menyeramkan dariku.”
“Kau ini… mana mungkin aku lebih seram darimu?”
“Kau akan kelelahan sebelum tiga hari berjualan. Sudah! Tetap di istana saja.”
Aku mengaitkan genggamanku pada lengannya dan tersenyum simpul. Seandainya pekerjaan kami bisa diganti, aku akan membujuk Lucas untuk tinggal di kota dan berjualan. Aku masih nyaman menjadi rakyat biasa.
Kami masih membeli roti krim di toko yang sama, Lucas lagi-lagi terlihat tidak senang.
“Kau masih cemburu pada Alpha?” tanyaku.
“Kau masih bisa menebak dengan benar, tapi tetap membelinya?”
“Kau percaya jika Alpha yang memberi tahuku?”
“Lalu?”
“Hahaha… Lucas, kau bilang kita pernah bertemu saat masih remaja, di hari itulah aku menemukan roti krim ini, aku menemukannya sendiri.” Tentu saja ini hanya kebohongan lain.
Tapi laki-laki di sampingku ini selalu memenangkan hatiku, baik ketika ia terlihat manis, atau cemburu seperti ini. Lucas seperti tidak ada bedanya dengan anak-anak kecil yang melewati kami berkali-kali. Keramaian ini seperti tidak memberikan kami panggung perhatian, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing, dan di momen itulah aku mengecup singkat pipi laki-laki ini, dan reaksinya benar-benar tidak pernah membuatku bosan.
“Diana!”
“Tidak penting apa yang terjadi di masa lalu, kita sudah tidak bisa mengubahnya. Sekarang kan yang bersamamu itu aku, yang menggenggam tanganmu masih aku. Aku juga tidak akan menghilang.”
Lucas tidak menjawab dan hanya memandangiku.
“Apa aku membuatmu jatuh cinta sekarang?”
“Emm.”
**
Meski banyak yang terjadi setahun kemarin, pesta lampion ini masih tetap dirayakan. Lucas yang memerintahkannya, ia bilang untuk tidak mengkhawatirkan keadaan di istana dan tetap merayakannya sebagai bentuk perhatian terhadap rakyatnya. Sebenarnya hanya aku yang tahu apa maksudnya, Lucas memang tidak ingin melewatkan acara ini saja.
Kami masih duduk di tempat yang sama. Orang-orang mulai meninggalkan alun-alun dan mencari tempat yang lebih tinggi yang bisa mereka temukan. Lucas kemudian datang dengan segelas coklat untukku, tentu saja kopi untuknya.
“Padahal sekarang sudah tidak terlalu dingin,” kataku.
“Tetap saja kau mudah terkena flu, Diana,” jawabnya.
“Hehehe…”
Aku menyesap minuman hangat ini. Tempat kami berada seperti saksi bagaimana Lucas dan aku bersama dengan ciuman itu. Memikirkan masa lalu masih membuatku malu. Tapi rasa itu pernah ada dan masih tersimpan cukup rapi. Rasanya manis dan juga pahit. Kami pernah menyatu tapi tidak benar-benar seirama. Keadaan membuat segalanya lebih jauh dan terasa asing. Aku masih menyimpan rasa bersalah dan penyesalanku itu, bahkan sampai sekarang pun, aku masih tidak bisa jujur padanya tentang apa yang terjadi padaku sebagai Tiara yang datang ke tempat ini, dan Diana yang baru seperti yang terlihat di matanya. Lucas mungkin akan menganggapku konyol.
Memang beberapa hal dirasa cukup menjadi rahasia yang tidak perlu dibeberkan pada semesta.
“Kau tidak membuka suara lagi?”
“Hm? Aku? Aku kehabisan cerita.”
“Apa di sini tidak nyaman?”
“Tidak, tidak, kita di sini saja.”
“Kau pernah bilang ada harapan yang ingin kau sampaikan?”
Aku memperhatikan Lucas. Percakapan soal harapan waktu itu ya, “Sekarang sudah tidak lagi, harapannya sudah terkabul.”
“Begitu.”
“Harapanmu? Apa sudah terkabul?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Mungkin sudah, mungkin belum.”
“Apa harapanmu memindahkan gunung? Kenapa ambigu begitu?”
“Kau ingin tahu harapanku?”
Aku tidak membuka suara, hanya terus memandangi Lucas dengan intensitas paling erat yang bisa kulakukan. Aku penasaran apa yang diharapkannya dulu, apa ada hubungannya denganku ya?
“Apa?”
Lalu ia menggenggam tanganku, sedikit menggeser tubuhnya untuk lebih dekat denganku.
“Aku harap Diana akan selalu sehat dan bahagia.”
Dan satu kecupan singkat mendarat di bibirku.
“Diana akan selalu berada di sisiku.”
Satu lagi kecupan yang lain.
“Diana akan mencintaiku lagi.”
Lagi, dan lagi kecupan itu mendarat dengan hangat yang seragam.
“Diana akan… membuatku selalu menemukannya dimana pun ia berada…”
Jarak kami hanya tinggal beberapa senti lagi. Kali ini sunyi mengitari kami, tidak ada suara atau gerakkan tidak perlu yang bisa ditangkap panca indraku, hanya Lucas yang memenuhi seluruh udara di paru-paruku.
Mata yang dingin dan tajam itu sepenuhnya menunjukkan kehangat paling candu dan menggoda. Seperti kekesalan di masa lalu, kecurigaan yang tak jelas, bahkan keraguan dan kesepian diantara kami berdua seolah hanya mimpi di masa lalu yang tidak bisa kami tangkap lagi.
Aku memiliki kepercayaan konyol tentangnya di saat itu, seperti ada perasaan saling memiliki, atau kami memang saling menemukan. Hawa dingin itu, kemudian menguar seperti cahaya lampion yang sedikit demi sedikit menyebar ke langit malam. Kami kembali bertaut tanpa tahu siapa yang memulai, menyatukan segala rasa yang pernah ada dan sisa-sisa kecanggungan dan penyesalan yang entah berasal darimana. Selebihnya hanya kasih sayang, rasa memiliki, dan pertemuan yang memberatkan keduanya. Kami saling menyesap rasa masing-masing, menarik kesadaran hingga tidak ada lagi yang peduli dengan angin yang memainkan tubuh kami, atau aroma kopi dan coklat yang sudah menyebar dan berbaur. Kami hanya saling mengisi dahaga yang sudah menumpuk terlalu lama.
Napas membuat kami dengan enggan melepas satu sama lain. Lucas dengan tatapannya yang redup dan daun telinga yang memerah, juga aku yang memiringkan kepala sembari tersenyum pada sang kekasih.
Lucas, ayo kita buat cerita yang berbeda. Kali ini, mari kita saling menemukan.
-END-
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1