.
.
.
Malam itu
.
.
.
Aku kembali membaca bukuku yang sempat tertunda tadi. Suara hening tempat ini, yang kadang-kadang sedikit berisik karena riak permukaan air yang disentuh angin, tidak begitu menimbulkan gangguan yang kentara. Musim panas yang belum sampai puncaknya, masih bisa dinikmati dengan damai bersama angin-angin yang menggelitik permukaan kulit. Hingga aku bernapas lega akibat kalimat akhir dari buku yang barusan kubaca. Tenang rasanya mengetahui akhir cerita dari Si Pangeran itu. Padahal dulu aku tidak suka membaca novel, semenjak aku masuk ke dalamnya, aku sering berharap mungkin saja bisa masuk ke dalam salah satu novel yang hidupnya aman dan damai, ditambah akhir yang membahagiakan.
Sayangnya, tidak pernah ada dua kali kesempatan yang sama pada diriku. Ayolah! Aku menyesal selalu menganggap remeh sebuah buku, tidak bisakah aku terlempar lagi ke tempat lain? Tidak enak hidup karena sebuah karma.
Kulihat Lucas sudah mengisi kembali kopinya yang barusan tandas. Wanginya khas dan aku tahu jika kopi itu rasanya pahit, tidak ada wangi manis dari krim atau gula. Enak sih, tapi musim panas begini lebih enak jika diminum dengan es batu.
“Kau suka sekali kopi, ya?” tanyaku.
“Perempuan tidak akan mengerti rasanya.” Begitu jawabnya, seenaknya meremehkanku.
“Aku tahu kok!”
“Hm?”
“Iya, itu robusta kan? Kalau ditambah krim atau susu rasanya jadi tidak terlalu pahit. Atau biji kopinya digiling lebih halus dan disaring dengan air yang sangat panas, aromanya akan lebih keluar, ampasnya juga tidak akan ikut masuk.”
“Aku tidak tahu kau punya banyak pengetahuan tentang kopi.” Karena dulu aku bekerja di kafe, Lucas.
“Aku pernah membacanya di buku. Kalau kau tidak percaya, aku bisa membuatkannya.”
Aku beranjak dari kursiku dan menghampiri para pelayan dan meja yang mereka gunakan untuk meracik minuman kami. Sudah lama sekali aku tidak membuat kopi, kadang-kadang kangen juga dengan rutinitasku dulu. Aku meminta para pelayan itu untuk sedikit lebih mundur dan memperhatikanku saja. Tidak perlu membantuku, aku sudah terbiasa walaupun alat-alat di tempat ini sedikit berbeda dengan yang kukenal di duniaku.
Penggiling kopi yang berbentuk lonjong dan terbuat dari kayu itu kumasukkan beberapa biji kopi. Dari aroma dan rasanya, jelas-jelas aku tahu ini kopi robusta. Padahal setahuku biji kopi ini pahit sekali, walaupun aromanya lebih enak, tapi Lucas sudah meminum kopi ini beberapa kali, memang lidahnya tidak tersiksa?
Setelah menggiling cukup lama, aku bisa mendapatkan bubuk kopi yang cukup halus. Bagiku, biji kopi yang lebih halus akan menghasilkan kualitas kopi yang lebih bagus. Ini cuma asumsi, secara teori aku juga tidak yakin, pengalaman yang mengajarkanku. Kemudian aku melapisi corong kecil yang biasa dipakai untuk menyaring teh dengan kertas tisu. Tisu dunia ini lebih kasar dan mirip penyaring kopi bagiku, jadi kupakai saja benda itu untuk menyaring kopinya.
Aku membuat dua jenis minuman. Satu gelas kopi ‘mirip’ Americano, dan satu lagi ‘mirip’ Cappucino. Setelah menyiapkan tempat penyaringan dan memasukkan bubuk kopi ke atas corong. Aku menuangkan air panas persis seperti yang biasa kulakukan di kafe. Aroma kopinya lebih pekat dan aku yakin rasanya lebih nikmat. Setelah proses penyaringan, gelas yang sudah berisi kopi itu aku bagi menjadi dua, satu untuk Americano, satu lagi ditambahkan susu kocok yang tadi sudah kubuat dengan sekuat tenaga, tidak lupa busa dari susu itu kugunakan untuk membuat gambar hati seperti gambar-gambar pada latte art. Sebenarnya aku cuma bisa menggambar itu saja sampai sekarang.
“Cobalah.” Aku menyajikan dua kopi untuk Lucas. Entah perasaanku atau memang kenyataannya begitu, tapi baik Lucas maupun para pelayan menatapku dengan tatapan yang asing dan intens. Kenapa ya? Aku membuat kopi senormal yang bisa kulakukan, kok.
Lucas mencoba sedikit Americano, kemudian beralih pada Cappucino. Tidak ada reaksi yang kentara darinya, jadi dia menyukainya atau tidak sih? Bikin penasaran aja.
“Tidak buruk juga,” katanya sambil menyesap segelas Americano.
“Ya kan? Selain dari jenis kopi, suhu air dan prosesnya bisa menentukan rasa dari kopi itu juga,” kataku antusian. Merasa pongah walaupun di duniaku kemampuanku ini bukan hal istimewa.
“Biasanya perempuan tidak suka kopi. Kau aneh sekali.” Bukannya suka juga sih, tapi aku hanya terbiasa dengan kopi dan segala macamnya.
“Aku bukan orang yang pilih-pilih makanan.” Karena hidupku dulu di bawah garis kemiskinan, aku terbiasa memakan apapun asalkan perutku tidak kelaparan. Hidupku miris juga jika dibandingkan di tempat ini.
Setelahnya kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing, aku menikmati hamparan danau di depan kami hari itu, dengan sesekali gemercik ekor ikan yang loncat ke atas permukaan, juga matahari yang menyentuh riak air danau dan memantulkan cahaya seperti di surga, walaupun aku tidak tahu bentuk surga seperti apa. Mungkin bisa seperti yang kulihat sekarang, atau sosok di depanku yang sudah menyesap kopinya yang lain. Tunggu! Apa sih yang kau pikirkan, Tiara?!
“Lain kali…”
“Hm?” Aku mendengar Lucas berbicara, tapi suaranya sangat tidak jelas.
“Lain kali buatkan lagi untukku,” katanya dengan nada memerintah.
“Baiklah, aku bisa membuatkannya sesering mungkin.” Sesekali aku lebih senang ketenangan kami daripada keributan yang lebih sering kami buat.
**
Aku tidak tahu sebenarnya pola pikir orang ini bagaimana. Seminggu menjelang pesta ulang tahun kerajaan, Lucas malah memerintahkan beberapa orang untuk merombak ruang kerjanya. Saat aku tanya, dia bilang dia tidak suka ruang kerjanya yang dulu. Padahal menurutku nyaman-nyaman saja untuk dipakai kerja, manja sekali sih dia ini. Ditambah dia tidak suka bekerja di ruang kerjaku atau di kamarku dengan alasan,
“Aku tidak bisa bekerja di tempat penuh wangi bunga sepertimu.”
Begitulah, akhirnya aku mengalah dan selalu ke kamar Lucas setiap aku akan membahas pekerjaan dengannya. Tentu saja, tidak boleh ada pelayan atau ksatria yang masuk ke kamarnya selain aku. Repot sekali bukan.
“Kau juga butuh para pelayan atau ksatria untuk membawakan tugasmu, masa mereka tidak diijinkan masuk ke kamar.”
“Pekerjaan itu bisa dikirim ke ruanganmu.” Pantas saja akhir-akhir ini kertas laporan di ruanganku menumpuk.
“Lalu bagaimana dengan membersihkan kamarmu?”
“Michael yang melakukannya.”
“Wah!!! Michael sudah sibuk dengan pekerjaannya, dan kau menambah pekerjaannya?”
Itu juga alasannya kenapa aku begitu super sangat sibuk. Memang laki-laki di sampingku ini tidak punya hati. Lihat, lihat, walaupun wajahnya serius membaca laporan yang kubuat untu acara nanti, di dalam hati dan kepalanya mungkin ada rencana-rencana jahat lain yang membuatku kerepotan.
Memang benar ya, seseorang dengan kekuasaan tertinggi bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Pantas saja banyak yang menginginkan posisi Lucas, baik di sini atau seperti di duniaku.
“Begini sudah cukup,” katanya setelah selesai membaca laporanku. Jadi, maksudnya aku sudah di acc?
“Memangnya kau tidak bosan ya cuma melihat orang-orang yang menyapa? Tidak ingin melakukan sesuatu?”
“Memangnya kau mau apa?”
“Kukira kau akan memberikan masukan yang lain. Kau kan rajanya, masa perayaan kerajaan sendiri hanya diam saja. Lakukan sesuatu apapun itu.”
“Kalau begitu setelah upacara pembukaan oleh para ksatria, kita akan berdansa.”
“Apa?”
“Dansa. Ucapanku kurang jelas.”
“Bukan bagian itu, yang dimaksud kita itu, kau dan aku?”
“Kau kira akan berdansa dengan siapa?”
“Kau kira aku mau berdansa denganmu?”
“Memangnya siapa lagi yang akan membantuku nanti?”
“Tidak salah mengajakku berdansa? Gerak motorikku itu buruk sekali, tahu.”
“Kau kan pernah sekolah di akademi putri. Kau tidak mempelajarinya?”
Aku tidak segera menjawab, darimana aku tahu soal kehidupan Diana sebelum menjadi istrinya Lucas, aku juga mana paham soal menari atau berdansa.
“A-aku, aku lupa caranya berdansa. Itu sudah lama sekali sejak aku lulus dari akademi.”
“Kau tinggal mengingatnya kembali.”
“Kau kira mudah mengingatnya kembali.”
Selalu saja kami ribut, soal hal-hal kecil. Aku dan Lucas seperti air dan api, atau Tom dan Jerry, atau apa lagi ya?
Tanpa kusadari Lucas sudah berdiri menghadap ke arahku. Aku memandanginya penuh tanda tanya.
“Kita latihan sekarang,” katanya mengulurkan tangannya padaku.
“Latihan apa?” tanyaku.
“Berdansa, apalagi?”
“Ini sudah malam Lucas, kau kira aku ini ksatria apa! Tenagaku sudah habis bahkan untuk berjalan sekalipun.”
Tapi Lucas justru menarik tanganku sampai aku dipaksa untuk berdiri dan menubruk tubuhnya. Orang ini!
“Kemarikan tangan kananmu,” katanya. Aku menggenggam tangan Lucas dengan tangan kananku. Ia kembali menarikku dan tubuhku kembali lebih dekat dengannya. Tangannya yang lain melingkar di pinggangku. Aku sudah sering berdekatan dengan Lucas seperti ini, tapi tidak pernah sekali pun aku bisa terbiasa dengannya.
“Tanganmu yang lain memegang lenganku yang ini.”
“Be-begini?”
“Hm.”
“Sekarang kaki kirimu melangkah ke belakang.”
“Begini?”
“Hm. Kaki kananmu juga ikut melangkah ke belakang.”
“Iya.”
“Sekarang kembali melangkah ke belakang.”
“Tung—”
“Sakit.”
Kepalaku yang sejak tadi melihat ke bawah akhirnya mendongak dan melihat ekspresi Lucas yang baru saja kuinjak kakinya. Tidak ada ekspresi apa-apa sih.
“Maaf,” kataku sambil menahan tawa. Entah kenapa mendengar Lucas yang mengeluh sakit membuat otak jahatku bereaksi cepat. Aku ingin mendengarnya sekali lagi.
Kami melanjutkan latihan itu dengan sesekali aku menginjak kakinya sambil tertawa. Begini ya rasanya balas dendam. Hahaha… Menyenangkan sekali.
“Kalau kepalamu menunduk begitu, orang-orang tidak akan bisa melihatmu,” katanya lagi disela-sela latihan kami.
“Kalau aku tidak menunduk, kakimu akan terinjak lagi.”
“Kau menunduk pun masih tetap menginjak kakiku.”
“Hahaha… Itu tidak sengaja.”
“Kau sengaja.”
“Tidak.”
“Kau menyangkal.”
“Aku tidak menyangkal.”
“Diana, lihat ke arahku.”
“Hm?” Akhirnya aku bisa melihat wajahnya yang dingin dan datar itu.
Tak disangka giliranku menabrak sisi ranjang Lucas dan aku kehilangan keseimbanganku. Untungnya ranjang Lucas empuk ketimbang ranjang di kontrakanku dulu.
Dan tak disangka-sangka pula, Lucas ikut terjatuh dan menimpaku.
“H-hei, Lucas…”
Dia tidak bergeming. Aku jadi salah tingkah.
“L-lucas, bisa kau minggir sebentar? Aku tahu aku sudah keterlaluan, tapi ini agak mmph—“
Mataku membulat sempurna, tubuhku seperti dikunci olehnya, dan seakan yang boleh kurasakan hanya degupan jantungku yang begitu kencang bersamaan dengan apapun yang dilakukan Lucas padaku.
Ia menciumku, lagi-lagi secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang mengawalinya, ia kembali menciumku dengan lembut dan hangat. Matanya tertutup, tapi aku seperti yakin bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan ketika bibirnya yang lembut dan hangat itu menyentuh bibirku. Mungkin di luar yang ia temui adalah Diana, tapi yang merasakan itu semua adalah diriku, yang tahu bagaimana degup jantungnya berdetak menggila seperti ini, yang tahu hawa-hawa panas selalu mengelilingi setiap kami seperti ini, yang perutnya terasa kosong dan menggelitik seperti ini.
Yang tahu betapa cumbuannya bisa membuatku lupa diri dan merasakan euforia yang tidak wajar seperti ini.
Salam Hangat,
SR
ig: @cintikus
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1