.
.
.
Kau sengaja ya, membuatku terus memerhatikanmu?
.
.
.
Malam itu kakiku masih berendam di dalam wadah berisi air hangat. Sudah berapa kali Nara mengganti airnya, aku sampai tidak ingat karena Lucas melarangku untuk pergi dari hadapannya. Aku sudah berusaha melawan, tapi katanya sangat merepotkan jika ada sesuatu denganku di tempat ini. Tugasku di sini adalah membantunya, jika pekerjaannya terhambat karena kondisiku, kami berdua akan bertahan lebih lama di tempat ini.
Masalahnya, aku tidak ingin berlama-lama satu kamar dengannya, apalagi satu ranjang. Mungkin ada sindrom bernama ‘Anti Lucas’, dan itu terjadi padaku. Baik sebagai Diana atau Tiara, aku memang tidak menyukai laki-laki ini, menurutku Lucas bukan tipikal laki-laki yang bisa memutuskan perihal perasaannya. Meskipun dia sudah menikah dengan Diana, tapi di hatinya cuma ada Cecilia.
Aku enggan mengakui, tapi kenyataannya Dianalah yang menjadi orang ketiga diantara Lucas dan Cecilia. Tapi Lucas juga punya andilnya sendiri, jika saja dia bisa memilih, atau jika saja dia tidak memberikan harapan secuil pun saat melamar Diana, atau sedikit saja Lucas bisa jujur dengan perasaannya, mungkin Diana bisa mundur teratur dan menyadari di mana posisinya berada.
Potongan kue terakhirku habis, Nara menyiapkan beberapa kue-kue cantik untuk kami makan sebelum makan malam nanti. Sejak tadi Lucas hanya duduk di hadapanku sambil membaca sesuatu. Di dalam novel, Lucas memang menjadi Raja yang dicintai rakyatnya, cara kepemimpinannya pun memang luar biasa. Walaupun di dalam novel Diana tidak pernah bersanding di sampingnya sebagai Ratu.
Tapi, setelah aku hidup di dunia ini, alur cerita mulai berubah dan masa depan yang akan kuhadapi justru mengarah satu persatu pada Lucas. Asumsi paling kuat yang kupunya, mungkin Lucas yang akan mati duluan sebelum aku, tapi hingga kini tidak ada pergerakan dari Tuan Daniel, Lucas bahkan memindahkan Keluarga Barton dari istana utama.
Kepalaku selalu pusing jika memikirkan ini semua, posisi Cecilia yang kini diisi olehku, Keluarga Barton yang keluar dari istana utama, pertengkaran Cecilia dan Lucas, juga Tuan Daniel yang tidak punya banyak andil selama ini. Kenapa isi ceritanya jadi terbalik?
Dan tanpa sadar aku mulai menutup mataku yang mulai berat. Aku tidak yakin, tapi di dekat Lucas selalu membuatku ingin tidur. Dia mungkin punya semaca hormon pembuat kantuk orang-orang di sekitarnya. Omong kosong di kepalaku tidak akan ada habisnya, jadi sebentar saja aku ingin tidur sambil menunggu Nara menyiapkan makan malam kami.
**
Besoknya aku masih menemani Lucas mengelilingi Daerah Perbatasan. Kebiasaanku yang tidur seperti kebo itu membuatku lupa apa yang terjadi setelah Lucas membawaku pulang karena mengira aku perempuan gila yang masuk ke sungai di musim semi. Tapi kan, beberapa penemu disebut gila karena eksperimennya, dia saja yang tidak paham.
Ada sebuah ladang luas di sisi bukit, ladang itu dibatasi oleh pagar kayu yang melingkar. Beberapa hewan ternak hasil dari sumbangan kerajaan tumbuh sehat dan besar. Mereka dibiarkan lepas di ladang itu meskipun jenisnya berbeda-beda. Ada sapi, ayam, domba, bahkan itik, atau bebek ya itu?
Dari yang kudengar, ladang ini sengaja dibuat luas agar semua pemilik hewan ternak bisa merawat ternak-ternak mereka dalam satu lahan yang sama. Untuk menghemat tempat, juga untuk distribusi yang terkendali. Aku tidak paham bagian itu.
“Bulu domba yang dirawat di sini memiliki kualitas yang baik, Yang Mulia,” tutur Tuan Edmund yang bisa kutangkap oleh telingaku.
Kulihat Lucas yang berjalan di depanku mengamati ladang di depannya. Wajahnya yang kelihatan serius namun penuh kewibawaan kadang membuatku pangling. Di mataku Lucas itu punya banyak nilai minusnya, tapi di mata rakyatnya, dia pemimpin yang bisa diandalkan.
Aku yang sejak tadi berjalan di belakangnya berpura-pura tertarik dengan ladang dan juga hewan ternak. Padahal, seumur-umur aku tidak pernah melihat hewan ternak langsung. Di duniaku mana ada ladang seluas ini.
“Mbeee…”
“Hm?”
Aku melihat ke belakang, ada sesuatu yang menarik-narik bajuku, juga suara domba kedengarannya begitu nyaring.
“AAAAAAK!!!”
Aku berlari menghampiri Lucas lalu membuatnya menghadap langsung ke arah domba yang menggigit bajuku barusan. Jika domba itu ingin melukaiku, setidaknya biarkan Lucas yang pertama kena imbasnya.
“Kenapa dombanya keluar sih?! Geliiii!!!”
Iya, senorak itulah aku dengan hewan ternak. Aku geli dengan hewan-hewan.
“Itu kan hanya seekor domba,” ucap Lucas tenang.
“Duh, domba kek, sapi kek, aku geli dekat-dekat dengan hewan, cepat usir!” pintaku.
Tuan Edmund yang dibantu Alpha menggiring domba itu masuk ke dalam kandang. Sementara aku masih bersembunyi di belakang tubuh Lucas.
“Kau berlebihan sekali. Hanya seekor domba yang lepas sampai mengganggu pekerjaanku.”
“Hanya katamu? Itu domba besar, tahu! Bagaimana jika mereka menggigit tanganku.”
“Domba tidak akan menggigitmu. Bukankah sejak dulu kau sudah terbiasa dengan hewan ternak?”
“I-itu kan dulu, sekarang aku punya trauma dengan hewan ternak.” Mana aku tahu kalau Diana terbiasa dengan hewan ternak.
“Yang Mulia, dombanya sudah saya kembalikan.” Suara Alpha membuatku mengintip dari balik tubuh Lucas. Saat itu, aku tak sengaja melihat ke arah Lucas, mata kami bertemu, lalu pandanganku teralihkan pada lenganku yang memeluk tubuhnya.
Secara otomatis, instingku mengatakan untuk menjauh darinya, akan jadi masalah jika terjadi fitnah diantara kami. Eh, tunggu! Secara teknis aku ini istrinya, ya.
“O-ohhh! Terima kasih, Alpha,” kataku dengan senyuman untuk menutupi rasa gugupku.
Berbincang bersama Tuan Edmund belum selesai sampai di situ, kami masih menyusuri Daerah Perbatasan hingga ke pemukiman warga. Tidak seperti saat musim dingin, kali ini pemukiman warga sudah jauh dari kata baik-baik saja. Perkembangan ekonomi di daerah ini sudah mulai ada kemajuan. Lucas dan Tuan Edmund masih berbincang sesuatu yang tidak aku mengerti. Alpha sekarang berada di sampingku, dan mataku teralihkan pada sebuah toko kecil yang kelihatannya mencolok.
Seorang nenek sedang menata barang dagangannya di depan rumah. Aku menghampirinya sambil melihat-lihat barang-barang yang ia jual. Sebenarnya toko ini semacam toko penjual aksesoris rumah semacam lonceng angin atau dream catcher namun dalam bentuk yang sedikit berbeda dari yang kutahu. Yang justru lebih mirip dengan dream catcher yang ada di kediaman Levada.
“Itu lingkaran mimpi, Yang Mulia,” ucap nenek tersebut saat aku melihat-lihat benda seperti dream catcher yang disebut lingkaran mimpi itu.
“Ini bagus,” kataku.
“Terima kasih, Yang Mulia. Masih ada barang-barang lain jika Yang Mulia ingin lihat-lihat. Biar saya ambilkan di dalam.”
“Terima kasih banyak, Nyonya.”
Sesaat nenek tersebut masuk ke dalam rumahnya lalu kembali membawa dream catcher yang kutebak pasti dibuat sendiri oleh nenek itu.
“Ambilah ini, Yang Mulia. Nuansa hijau sangat cocok dengan Yang Mulia.”
“Wah! Terima kasih, berapa harga—“
“Tidak perlu, ambil saja. Yang Mulia sudah banyak membantu desa ini.”
Kemudian Lucas dan Tuan Edmund pun menghampiri kami berdua. Tuan Edmund memperkenalkan nenek tersebut sebagai tetua di tempat ini. Namanya Nyonya Hellen.
“Yang Mulia Raja, terima kasih karena sudah datang dan membantu kami di sini,” ucap Nyonya Hellen.
“Tidak masalah,” ucap Lucas dingin. Dasar!
Saat aku akan mengambil hadiah pemberian Nyonya Hellen, tiba-tiba saja Nyonya Hellen menggenggam tanganku dengan penuh perhatian juga rasa hangat.
“Yang Mulia, nikmatilah kehidupan yang sekarang, buang semua masa lalu Anda. Semua yang sudah terikat di tempat ini, tidak akan bisa kembali lagi.”
“Ya?” Aku tersenyum canggung mendengar ucapan Nyonya Hellen. Aku tidak tahu maksudnya.
“Yang Mulia ingat teori kekekalan energi?”
“Maksudnya, energi tidak akan hilang atau musnah…” kataku hati-hati.
“Tapi berubah bentuk.” Nyonya Hellen melanjutkan ucapanku. “Dunia yang Anda pijaki sekarang, adalah arti dari perubahan energi milik Anda. Beton-beton yang menembus awan, orang-orang yang bisa terbang di udara, juga suara yang muncul dari benda persegi berukuran kecil. Semua itu berubah karena energi Anda kembali ke bentuk semula.”
Lalu aku menjatuhkan dream catcher yang diberikan oleh Nyonya Hellen. Senyum canggungku barusan tiba-tiba menghilang dan berganti dengan rasa was-was yang tak beralasan. Mungkin tubuhku untuk beberapa detik terkunci karena ucapan Nyonya Hellen.
“Ma-maaf aku menjatuhkannya.” Sebelum aku mengambil barang yang kujatuhkan, Alpha sudah memungutnya dan mengembalikannya padaku.
Salam Hangat,
SR
ig: @cintikus
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1