.
.
.
Rasanya kau seperti menjauhiku sedikit demi sedikit
.
.
.
“Terima kasih Yang Mulia, sudah membela saya di depan keluarga Anda.”
Ucapan Alpha membuatku berhenti masuk ke dalam istana. Dengan wajahnya yang terlihat malu-malu, ia memandangiku.
“Saat itu kau ada dimana?” tanyaku.
“Saya sedang membawakan pot yang diminta Yang Mulia dari rumah kaca. Saat mendengar kejadian itu, saya takut setengah mati, bagaimana jika terjadi hal-hal buruk pada Yang Mulia, padahal jelas-jelas harusnya saya yang mencegah hal itu terjadi.”
Alpha memang sangat mencintai Diana, bahkan ketika Diana memilih laki-laki lain, dia tetap menjaga Diana sebagai ksatria khusus di istana yang dipilih langsung oleh Raja dan menjadi pengawal pribadi Diana. Padahal tampangnya lumayan, kepribadiannya pun baik, tapi dia malah memilih kehidupan yang menyulitkan.
“Kenapa kau harus takut? Toh, kau hanya pengawalku yang pasti si breng—, Lucas tidak akan membunuhmu sekali pun hal-hal buruk terjadi padaku.” Si brengsek itu bahkan mengatakan agar aku mati di luar kerajaan Xavier. Ugh! Diana, kenapa kau malah memilih si brengsek sadis gila seperti Lucas sih?
“Justru karena itu.” Alpha kembali membuat perhatianku teralihkan padanya. Suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya. “Justru karena ancaman ada di dekat Yang Mulia, saya semakin ingin melindungi Yang Mulia.”
Ia selangkah mendekatiku, “Saya melakukan ini bukan sebagai pengawal pribadi Anda. Saya mengkhawatirkan Anda bukan karena Anda adalah Ratu, melainkan sosok yang saya cintai selamanya.”
GILA!!!
**
Di dalam novel, Alpha terlihat malu-malu dan setengah mati menutupi perasaannya itu, tapi kenapa sekarang dia bisa seberani itu ya?
“Ah! Gak tau ah! Masa bodo!!!”
“Ada apa Yang Mulia?” tanya Nara.
Aku lupa! Nara sedang bersamaku sekarang.
“Ah, tidak apa-apa. Aku cuma capek sekali hari ini,” jawabku asal.
Istana Xavier, begitu orang-orang memanggilnya. Istana yang hampir satu abad berdiri di sisi pemukiman. Istana yang luasnya mungkin mencapai dua kali lapangan golf, aku pun tidak yakin seberapa luas lapangan golf itu. Tapi, dengan dua menara di kedua sisinya, yang biasa disebut sayap barat dan sayap timur, juga gedung utama di bagian tengahnya ini mengandung unsur warna seperti batu alam sapir. Ada juga beberapa istana lain yang sedikit lebih kecil dari istana utama, dulunya istana-istana itu dipakai oleh para selir, tapi karena peraturan baru yang melarang raja memiliki selir, istana itu hanya dirawat tanpa pernah dipakai lagi.
Juga ada rumah kaca yang biasa dikunjungi Diana untuk mengambil bibit tanaman, dan laguna buatan, semacam kolam renang di dalam ruangan. Di dalam cerita, Diana tidak terlalu pandai berenang, atau sebenarnya dia memang tidak bisa berenang, ya? Entahlah, tidak diceritakan secara mendetail. Tapi sebagai Tiara, aku tertarik dengan laguna buatan itu. Sepertinya menyenangkan bisa menghabiskan waktu di dalam air, apalagi sekarang sudah musim panas.
Aku dan Nara berpapasan dengan Nyonya Olivia juga beberapa pelayannya yang mengikuti dari belakang. Aku selalu mengingat kembali sikap Diana yang asli ketika berada dalam situasi tertentu, salah satunya ketika papasan dengan keluarga benalu ini.
Oh iya! Diana selalu diabaikan dan menundukkan kepala ketika berpapasan dengan Keluarga Barton. Diana yang biasanya terlihat acuh, tidak berkutik ketika cinta menjadi alasan baginya untuk menjaga sikap. Bodo amatlah! Yang di dalam sini Tiara, untuk apa aku harus menundukkan kepalaku.
Cccrrr…
Nyonya Olivia sengaja, kutekankan lagi, SENGAJA menumpahkan teh yang dipegangnya saat kami berpapasan. Sikap keluarga Barton jauh berbeda ketika di belakang Lucas.
“Entah bagian otak mana yang membuatmu bersikap kurang ajar seperti itu, Diana. Tapi, ini adalah peringatan untukmu. Beruntung aku tidak menyirammu dengan air panas,” ancam Nyonya Olivia.
Dasar kampret!!!
“Kenapa tidak menyiramku dengan air panas sekalian?” tanyaku tak kalah sengitnya.
“Kau mulai berani ya sekarang?”
“Sebenarnya, sejak dulu aku menahannya.” Karena dulu aku tidak berada di dalam tubuh Diana. “Kukira melawan Nyonya atau keluarga Barton yang lain itu sulit, tapi hanya sekadar ancama begini.” Aku tersenyum mengejek, “Tidak ada alasan untukku takut pada kalian.”
“Diana?!”
“Apa? Tidak terima dengan ucapanku? Kalau begitu lawan sini. Apapun yang akan kalian lakukan padaku, aku tidak akan tinggal diam.”
“Jangan banyak tingkah!”
“Nyonya juga kalau ingin bertingkah, jangan di belakang Raja.”
Aku melenggang pergi meninggalkan Nyonya Olivia yang mulai naik pitam. Baguslah. Biasanya orang yang mudah marah tekanan darahnya tinggi.
**
Sekarang apalagi?
Aku lihat Lucas di depan pintu yang mengarah langsung ke halamanku. Saat ia melihatku, kakinya melangkah menghampiri. Wajahnya yang dingin itu kelihatan semakin dingin ketika melihatku, apa lagi kesalahanku kali ini. Padahal di dalam novel, tak pernah sekali pun Lucas datang ke Sayap Barat.
“Darimana saja kau?” tanyanya dengan nada dingin, ketus, dan rasanya aku ingin mencakar wajahnya.
“Kau tidak perlu tahu, lagipula apa pedulimu?” tanyaku tak kalah ketusnya. Memangnya cuma dia yang bisa ketus, aku juga bisa.
Kemudian aku pergi meninggalkan Lucas, tapi belum selesai aku melewatinya, Lucas menahan pergelanganku. Duh! Kenapa sih?
“Kau mulai kurang ajar ya, Diana!” katanya dengan suara yang lebih tinggi satu oktaf.
Kulirik Nara yang kelihatan tidak nyaman dengan pertengkarang kami, aku lantas menyuruh Nara kembali ke dapur, aku taku dia juga kena masalah gara-gara aku. setelah Nara sudah pergi, aku melepaskan genggaman tangan Lucas dengan kasarnya.
“Memang apa pedulimu?” tanyaku dengan pertanyaan yang sama. Ingat ya! Kematian Diana nanti ada hubungannya dengan si brengsek ini. Lucas jadi salah satu alasan Diana tewas nantinya.
“Mengacaukan acara minum teh, kemudian kau pergi keluar istana diam-diam. Kau pikir kau siapa?!”
Nada yang keluar dari mulut Lucas memang sangat tidak enak didengar. Membuat mood-ku yang hampir rusak karena Nyonya Olivia semakin rusak karena si brengsek ini.
“Menurutmu aku siapa? Selama ini juga kau tidak pernah peduli padaku, jadi lakukan saja seperti yang biasa kau lakukan padaku. Lagipula apapun yang kulakukan tidak akan merugikanmu sama sekali.”
“Kau merusak acara yang dibuat Cecilia. Dia sudah mempersiapkan segalanya untukmu, tapi kau tidak menghargainya. Mengganggunya sama saja dengan menggangguku. Cecilia itu yatim piatu sama sepertiku, harusnya kau tidak mengganggunya seperti itu. Kau tidak tahu rasanya tidak memiliki siapapun di dunia ini!”
Aku melirik tajam tepat ke arah mata Lucas. Ucapannya kali ini sangat menyinggungku. Bukan soal Cecilia tentunya.
“Kau sendiri memangnya mengerti rasanya tidak pernah tahu siapa orang tuamu?! Kau tahu rasanya hidup sendirian seumur hidupmu?! Kau tahu itu? Tidak kan?! Jangan mendikteku seolah cuma hidup kalian berdua saja yang menyedihkan. “Kau tidak tahu semua itu!” kataku geram.
“Kau sendiri tidak tahu bagaimana aku hidup selama ini!” Kali ini aku benar-benar pergi darinya, berani-beraninya dia bilang begitu sama aku. Orang tuanya dan orang tua Cecilia meninggalkan sesuatu untuk mereka berdua, lalu kenapa Lucas harus selebay itu ‘meratapi’ hidupnya. Hidupku bahkan lebih mengerikan lagi.
Dasar Diana bodoh! Ngapain sih kau harus menikah dengan si brengsek itu? Kau punya segalanya. Kau punya orang tua yang menyayangimu, nenek yang memanjakanmu, semua yang tidak aku punya… kenapa kau melepas itu semua dan menghampiri si brengsek Lucas? Kenapa?!
Aku merebahkan badanku sambil menatap cahaya matahari sore itu menembus jendela kamarku. Napasku masih tak beraturan, tiba-tiba saja semua hal di tempat ini jadi begitu menyebalkan.
Atau mungkin hari ini rasa iriku sedang memuncaki semua itu.
Salam hangat,
SR
ig: @cintikus
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1