Seoul
Untuk kesekian kalinya, Nyonya Kim menengok ke kamar Jun Su. Anak bungsunya itu masih tertidur pulas. Nyonya Kim menggigit bibirnya, wajahnya terlihat begitu cemas, tetapi ia sudah menyerah untuk mencoba membangunkan Jun Su. Tidak ingin membuat keluarganya menunggu lebih lama, Nyonya Kim segera kembali ke meja makan.
“Apa dia akan melewatkan makan malam lagi?” nada cemas Tuan Kim menyambut kedatangan istrinya yang menarik kursi dengan lemas. Nyonya Kim hanya memandang piring kosongnya tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Jun Ho, apa ada sesuatu yang terjadi di Jepang? Apa kuliahnya terlalu berat?” kali ini Tuan Kim memandang putranya yang juga terlihat tidak berselara makan.
Jun Ho mengangkat bahunya, “Dia selalu mengatakan semuanya baik-baik saja.”
Tuan Kim akhirnya menghela nafas. Anak bungsunya yang sudah pulang dua minggu lalu itu selalu menolak untuk keluar rumah. Yang Jun Su lakukan hanyalah mengurung diri di kamar untuk tidur, tidur, dan tidur. Tidak ada yang berhasil membangunkannya saat tidur. Minggu lalu Jun Su sukses membuat seluruh keluarganya panik karena Jun Su tidak bangun selama tiga hari penuh!
“Hasil medis menunjukkan semua baik-baik saja…” Tuan Kim menggumam pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Hamufield
Jun Su menjadi penonton yang memberikan tepuk tangan paling meriah untuk Jae Joong yang baru saja menyelesaikan lagunya. Meski sudah sangat biasa untuk menyanyi di depan banyak orang, tapi ini adalah kali pertama Jae Joong untuk menyanyi sendirian di atas panggung. Ia merasakan wajahnya benar-benar panas oleh reaksi heboh para penonton di pub milik Duke itu.
Jae Joong melemparkan senyumnya pada Jun Su, ia sungguh-sungguh berterimakasih karena adiknya itu selalu berhasil membuatnya percaya diri di panggung. Sesaat kemudian matanya menatap sosok Yun Ho yang sejak awal sudah berdiri di bagian terdepan. Yun Ho tersenyum lebar, tidak berhenti bertepuk tangan sembari menatap Jae Joong dengan tatapan kagumnya. Jae Joong merasakan jantungnya berdebar tidak beraturan.
Tokyo
Chang Min keluar dari kamar mandinya dan segera duduk di ujung ranjang, masih dengan handuk yang terbalut di pinggulnya dan rambut basah yang masih meneteskan butiran air. Ia menghela nafas dengan kencang, wajahnya terlihat begitu lelah. Untuk beberapa saat, Chang Min hanya diam di tempatnya, memandang kosong keluar jendela kamarnya yang terbuka; menunjukkan pemandangan kota Tokyo yang penuh dengan gemerlap lampu kota.
Seulas senyum mendadak muncul di wajah lelah Chang Min; memandang ke luar jendela mengingatkannya pada si tukang tidur itu. ‘Siapa namanya…?’
Dari: Ji Young
Anak Korea di kelas kita? Kau tidak hafal?! Shim Chang Min, Anh Ji Young, Kwon Soo Bin! Dasar keterlaluan…
Untuk: Ji Young
Aku tahu diriku sendiri, kau, dan Soo Bin! Yang aku ingin tahu adalah anak laki-laki yang selalu duduk di dekat jendela itu! Kau melupakannya!
Dari: Ji Young
Apa maksdumu? Aku tidak tahu ada orang Korea lain selain kita di kelas.
Untuk: Ji Young
Ada!
Lamunan Chang Min buyar saat ponselnya berbunyi. Ia segera meraih ponsel itu dan menempelkannya di telinga, “Hey, Jiro.”
“Hey, di mana kau? Aku dengar kau tidak pulang ke Korea.” suara Jiro terdengar di ujung sambungan telepon.
“Ya, aku memang tidak pulang.” Chang Min mendesah pelan, nasibnya sebagai anak pemilik perusahaan multinasional tidak selalu menyenangkan. Kali ini ia harus menghabiskan libur semesternya dengan bekerja untuk anak perusahaan ayahnya di Tokyo.
“Kau ada acara Jumat besok? Pergilah denganku, ada yang ingin berkenalan denganmu.”
Chang Min terkekeh pelan, “Okay.”