Seoul, Musim Panas, 1997
Suara nyanyian dan tepuk tangan terdengar meriah di kediaman keluarga Kim. Balon beraneka warna dan dekorasi ruangan yang meriah menambah keceriaan ruang tengah rumah itu. Dua lilin merah dengan angka satu dan dua masih menyala terang di atas sebuah kue ulang tahun yang berukuran cukup besar itu.
“Jun Su, tiup lilinnya.” Nyonya Kim tersenyum lebar, sementara Tuan Kim sibuk mengambil gambar.
Dengan wajah cerianya, Jun Su meniup lilin di hadapannya dengan semangat. Nyonya Kim dan Jun Ho bersorak keras untuk Jun Su, dan Tuan Kim tidak melewatkan momen itu untuk kembali mengambil gambar.
Masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Jun Su merayakan ulang tahunnya hanya dengan keluarga intinya.
Hamufield
Jun Su mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar mentari pagi yang menembus jendela kamar bernuansa kayu itu membuatnya tidak bisa melanjutkan tidurnya yang nyenyak.
“Oh, sudah bangun?” Jae Joong tersentak.
“Pelankan suaramu Jae, dia mungkin masih lelah.” Nyonya Han mengelus lembut rambut Jae Joong.
Mendengar suara-suara asing, Jun Su memutuskan untuk bangun dan melihat lebih jelas. Jun Su menatap bingung kedua orang yang berdiri di ambang pintu. Asing. Ia tidak mengenal kedua orang itu.
Jun Su duduk di ranjangnya dengan perlahan. Tidak, itu bukan ranjangnya. Bukan kamarnya. Sebuah tempat asing bernuansa kayu yang tidak pernah dikunjunginya.
“Lihat! Dia bangun!” Jae Joong kembali bersuara keras dan menunjuk Jun Su yang masih memandanginya dengan bingung.
Nyonya Han tersenyum lembut.
Jae Joong segera menghambur masuk dan melihat Jun Su lebih dekat, menatap Jun Su dengan mata yang bersinar mengagumi Jun Su seakan Jun Su adalah batu permata yang langka.
Jun Su menggenggam selimutnya erat-erat. Anak laki-laki yang lebih besar darinya itu terus mengamatinya. Jun Su bisa melihat wajah cantik dan kulit putih yang bersinar dari anak itu. Jun Su tidak bisa mengalihkan tatapannya pada mata indah yang juga menatapnya dalam-dalam. Waktu seakan berhenti lama bagi Jun Su, cukup untuk menganalisa mata Jae Joong yang memiliki double eyelid, bulu mata panjang yang lentik, dan bola mata hazelnut.
“Jae Joong, kau membuatnya takut.” wanita cantik dengan suara lembut itu berjalan perlahan ke arahnya dan bocah laki-laki yang dipanggilnya Jae Joong itu.
“Selamat ulang tahun Jun Su! Selamat datang di Hamufield!” Jae Joong mengecup pipi Jun Su dan tersenyum lebar. Jun Su hanya bisa terdiam dengan mata yang membulat oleh kelakuan anak laki-laki yang baru pertamakali ia lihat itu.
“Selamat ulang tahun.” Nyonya Han mencubit pelan pipi chubby Jun Su yang masih belum bisa memahami apa yang terjadi.
“Jae, apa kau melupakan sesuatu?” Nyoya Han tersenyum kecil pada Jae Joong. Matanya bermain-main kecil menatap mata polos Jae Joong yang selalu bersinar.
“Ah! Ya!” Jae Joong segera berlari ke luar dari kamar itu.
Nyonya Han tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Jae Joong.
“Eomma?” Jun Su bersuara kecil. Ia memandang ke sekeliling, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran ayah, ibu, atau kakaknya.
“Eomma? Apa itu Eomma?” Nyonya Han memiringkan kepalanya. Wanita berambut hitam pekat dengan kuncir kuda itu menatap Jun Su dengan bingung.
“Ibu.” Jun Su kembali bersuara. Ia mengucapkan bahasa asing yang baru pertama kali ia dengar, pertama kali ia ucapkan, tetapi Jun Su tahu artinya, begitu juga dengan wanita di hadapannya yang mengangguk-angguk mengerti.
Ya, selama ini Jun Su mendengar Jae Joong dan Nyonya Han berbicara dalam bahasa asing, tetapi Jun Su langsung mengerti dan menguasai bahasa itu seakan-akan itu adalah bahasa ibunya.
“Kau bisa memanggilku ibu mulai sekarang.” Nyonya Han tersenyum lembut dan mengelus pipi Jun Su dengan tangan halusnya. Jun Su masih terdiam oleh semua keasingan ini dan hanya bisa menatap Nyonya Han. Wanita cantik di hadapannya itu terlihat mirip dengan Jae Joong; mereka memiliki mata dan senyum yang sama.
Jae Joong menghambur masuk dengan penuh keceriaan. Nyonya Han hanya tersenyum geli dengan tingkah Jae Joong, sementara Jun Su hanya memandang laki-laki itu dengan mata polosnya.
“Kado ulang tahunmu!” Jae Joong menyodorkan kantung coklat pada Jun Su.
Jun Su memandangi kantung itu cukup lama sebelum mengambilnya dari tangan Jae Joong. Jun Su segera membuka kantung kecil itu dan menarik isinya.
“Kau menyukainya?” Jae Joong menatap Jun Su lekat-lekat, tidak sabar dengan jawaban Jun Su. Melihat ketulusan di mata itu, Jun Su merasakan kehangatan, seakan ia adalah bagian dari keluarga kedua orang asing dihadapannya.
Tersadar dari pikirannya sendiri, Jun Su segera tersenyum cerah dan mengangguk pada Jae Joong yang masih menunggu jawabannya.
Seketika, mata Jae Joong yang sudah cukup besar itu makin melebar. Jae Joong segera bersorak senang dan memeluk Jun Su dengan erat.
Satu minggu lalu, di Hamufield
“Jae Joong, saatnya berangkat. Walikota bilang pengumamannya jam dua siang.” Nyonya Han berkata lembut di balik pintu kamar Jae Joong yang tertutup. Jari lentik Nyonya Han baru akan membuka pintu, namun Jae Joong sudah mendahuluinya. Pintu kamar Jae Joong terbuka lebar, menampilkan bocah laki-laki berparas cantik yang tersenyum lebar. Jae Joong segera menggandeng tangan Nyonya Han dan beranjak pergi menuju alun-alun kota kecil itu, menyadarkan Nyonya Han yang masih terkejut.
Beberapa pejalan kaki lainnya terlihat menuju arah yang sama. Sebelum pukul dua siang, Nyonya Han dan Jae Joong sudah sampai, begitu juga orang-orang lainnya. Alun-alun kota yang biasanya terlihat luas dan sepi kini penuh sesak dengan para penduduk.
Tepat pukul dua siang, walikota yang berbadan pendek itu sudah berdiri di atas panggung dan tersenyum menyapa warganya. Rambutnya sudah berubah menjadi putih oleh usia, keriput juga sudah memenuhi wajahnya, tubuhnya terlihat kecil dan kurus, namun senyum bijaksana dan aura yang dimiliki kakek itu membuatnya masih disegani warga kota kecil itu.
“Beberapa hari lalu, pastor datang dan membawakan ini padaku.” walikota itu mengangkat amplop berwarna keemasan dalam genggaman tangannya.
Para penduduk yang tadinya diam dan terfokus pada sang walikota mendadak ribut dan saling berbisik-bisik dengan tetangga sekelilingnya.
Jae Joong tidak mengerti, ini adalah kali pertamanya melihat amplop itu. Ia melihat Nyonya Han yang terlihat kaget dengan mata yang sudah membesar.
“Akan kubacakan isinya.” suara walikota terdengar lagi.
Para penduduk segera diam dan bersiap-siap untuk mendengarkan dengan saksama.
“Seorang anak laki-laki akan datang. Tepat saat usianya menginjak dua belas tahun, ia akan menjadi penduduk baru di Hamufield.” walikota itu membaca dengan lantang dan jelas.
Jae Joong melihat sekeliling. Warga sudah kembali ramai. Para penduduk tampak senang. Jae Joong melemaskan tubuhnya dengan lega, ia bahkan tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah menjadi tegang oleh keributan sebelumnya.
“Namanya Jun Su.” walikota itu membaca kalimat terakhir sebelum menutup kembali amplop keemasan itu.
“Para tetua dan pastor sudah mendiskusikannya. Nyonya Han,” walikota itu tersenyum menatap Nyonya Han, “Jun Su akan tinggal denganmu.”
Semua mata kini tertuju pada Nyonya Han yang ternganga dengan matanya yang semakin membulat.
Jae Joong hanya bisa diam menatap Nyonya Han, masih tidak mengerti apa yang tiba-tiba terjadi.
“Nyonya Han, majulah kemari.” walikota itu kembali bersuara.
Senyum Nyonya Han mengembang. Ia memandang Jae Joong dengan tatapan senang dan tidak percayanya, ingin mengatakan sesuatu pada Jae Joong, tetapi untuk saat ini, ia seakan kehilangan kemampuannya untuk berbicara. Nyonya Han segera menggandeng tangan Jae Joong dan maju ke atas panggung.
“Apa kau bersedia menerima Jun Su?” walikota itu tersenym ramah.
Tanpa berpikir apa-apa lagi, Nyonya Han segera mengangguk senang.
Kurang dari satu jam kemudian, Nyonya Han dan Jae Joong sudah berada di balai kota bersama para tetua, pastor, dan walikota.
“Nyonya Han dan Jae Joong hanya tinggal berdua, benar?” satu satunya pastor di kota kecil itu menatap lembut Nyonya Han.
Nyonya Han hanya mengangguk.
“Jun Su akan tiba seminggu lagi, aku harap Nyonya Han tidak keberatan dengan kehadiran Jun Su.” pastor itu masih memamerkan senyum ramahnya.
“Ya, tentu. Aku sangat senang Jun Su bisa tinggal dengan kami.” Nyonya Han tersenyum lebar, merekatkan pelukannya pada lengan Jae Joong.
Jae Joong memandang wajah ibunya. Nyonya Han sangat jarang untuk terlihat sebegitu semangatnya.
“Jae, sebentar lagi kau akan punya adik.” Nyonya Han tersenyum cerah.
“Adik?”
Nyonya Han mengangguk, “Ya, Jun Su akan tinggal dengan kita dan menjadi adikmu!”
Setelah Jae Joong benar-benar mengerti apa yang terjadi, senyum lebarnya segera mengembang. Pikirannya segera penuh dengan imajinasinya menjadi seorang kakak, dan ia tidak bisa berhenti tersenyum senang.
Keesokan harinya, Nyonya Han harus berlari kecil karena Jae Joong sangat bersemangat dan tidak sabaran untuk hanya berjalan kaki seperti biasa. Jae Joong berjalan cepat menyusuri jalanan kota kecil yang terbut dari batu-batu besar berwarna kemerahan itu, melewati perpustakaan kota di ujung jalan, dan berbelok ke arah rumah sakit yang berjarak beberapa rumah dari supermarket hingga akhirnya mereka sampai di toko pakaian milik Eaton. Jae Joong benar-benar antusias dalam rencananya memberikan kado ulang tahun untuk adik barunya nanti.
Jae Joong membuka pintu toko milik Eaton dan langsung menghambur masuk.
“Selamat datang.” Eaton menyapa dengan senyum menawannya. Tangannya penuh dengan pakaian-pakaian yang baru datang semalam.
Eaton meletakkan pakaian-pakaian itu di meja kasirnya dan menghampiri Nyonya Han, sementara Jae Joong segera fokus melihat ke kanan dan ke kiri, mencari barang yang akan cocok dengan adiknya.
“Bisa kubantu?”
Nyonya Han tersenyum ramah, “Jae Joong ingin mencari hadiah untuk Jun Su.”
“Ah, ya! Benar, Jun Su akan tinggal bersama Nyonya Han.” Eaton mengangguk-angguk mengingat perkataan walikota kemarin.
“Jae Joong sangat bersemangat untuk memiliki adik baru.”
Eaton mengangguk setuju, “Jae Joong adalah anak tunggal, ia pasti kesepian.”
“Ibu! Bagaimana dengan ini?” Jae Joong berlari mendekat dengan kalung perak berbandul salib polos.
“Pilihan bagus, Jae. Itu adalah barang terbaru.” Eaton tersenyum lebar.
“Jae, kau tidak mau membantu Jun Su memakai kalung barunya?” Nyonya Han melirik Jae Joong.
“Ah, ya!” Jae Joong segera mengambil kalung berbandul salib dari tangan Jun Su dan segera memakaikannya ke leher Jun Su.
“Sangat cocok!” Nyonya Han tersenyum cerah.
Mata Jae Joong sudah berbinar senang.
“Jae, bukankah kita masih memiliki kejutan untuk Jun Su?” Nyonya Han menyikut pelan lengan Jae Joong.
“Ah, ya!” Jae Joong terlonjak di tempatnya. “Jun Su, ayo.” Jae Joong segera meraih tangan kecil Jun Su dan memaksa anak itu untuk bangun dan mengikuti Jae Joong untuk keluar dari kamarnya.
Jun Su tidak sempat mengamati sekitarnya karena Jae Joong sudah menariknya untuk berlari kecil dan menuruni tangga kayu rumah itu.
Mata Jun Su membulat. Ia melihat kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka dua belas dan berbagai macam kue lainnya tertata rapi di atas meja kayu panjang.
“Kami membuatnya sendiri kemarin!” nada bangga terdengar jelas saat Jae Joong mengatakannya. “Lihat, kami juga membuat dekorasinya sendiri!” Jae Joong menunjuk ke arah langit-langit. Jun Su mengikuti pandangannya sesuai telunjuk Jae Joong dan terkagum oleh balon helium berwarna baby blue yang menempel di langit-langit, juga kertas dekorasi bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun Jun Su’.
Untuk pertama kali dalam dua belas tahun, Jun Su merayakan ulang tahun dengan orang lain.
Jun Su masih terpaku di tempatnya saat ia merasakan tangan hangat Jae Joong meraih tangannya dan kembali menyeretnya. Mereka segera duduk di balik meja kayu panjang itu dan mulai menikmati aneka kue di hadapan mereka.
Jun Su sedang menikmati cup cake coklat saat keisengan Jae Joong muncul. Dengan cepat, Jae Joong mengoleskan cream dari kue ulan tahun Jun Su ke pipi chubby adik barunya. Beberapa menit kemudian, wajah dan tangan Jun Su sudah dipenuhi cream, begitu juga dengan Jae Joong.
Nyonya Han hanya tertawa melihat tingkah kedua putranya. Ya, mulai saat ini ia akan menganggap Jun Su sebagai putranya.
Nyonya Han menggumamkan sebuah lagu sementara tangannya sibuk mencuci piring-piring kotor. Dengan rajin, Jae Joong sudah berdiri di sampingnya dan bersiap membantu Nyonya Han mengeringkan piring-piring itu.
Jun Su hanya memandang punggung kedua orang itu. Ia mendekat dan berusaha mensejajarkan tingginya dengan bak pencuci piring. Ia juga ingin membantu.
Nyonya Han tertawa kecil, “Nanti Jun Su, saat kau sudah setinggi Jae Joong, baru bantu kami mencuci piring.”
Jae Joong tersenyum lebar mengiyakan perkataan ibunya, sementara Jun Su memanyunkan bibirnya. Jun Su adalah murid laki-laki terpendek dan terkecil di kelasnya, dan ia benci kenyataan itu. Ia tidak mengerti bagaimana orang-orang disekitarnya berbadan besar dan tinggi. Tanpa sadar, Jun Su hanya melamun memandang Jae Joong. Jae Joong mengingatkannya pada Jun Ho karena tinggi badan mereka yang mirip, walaupun Jun Ho jelas memiliki tubuh yang lebih besar dan atletis dibandingkan dengan Jae Joong yang terbilang kurus.
“Jae, sudah jam sembilan pagi. Bagaimana kalau mengajak Jun Su ke bawah dan mulai membuka bakery kita?”
Jae Joong kembali tersenyum lebar dan mengangguk. Ia segera mengeringkan tangannya dengan handuk yang menggantung di hadapannya dan berbalik menghadap Jun Su yang baru saja tersadar dari lamunannya. Jae Joong meraih tangan Jun Su dan menggandengnya keluar dari dapur yang terletak di lantai dua rumah bernuansa kayu itu.
“Hati-hati.” suara Nyonya Han kembali terdengar saat Jae Joong dan Jun Su menuruni tangga dengan buru-buru.
Di lantai dasar, aroma kue dan bahan-bahannya segera tercium. Tanpa sadar, Jun Su tersenyum dan berusaha menghirup aroma sedap itu lebih dalam, sementara Jae Joong sudah terlalu terbiasa dengan aroma itu.
Jae Joong melepaskan gandengannya dan segera berlari kecil ke arah pintu masuk dan membuka kedua sisi pintu besar di hadapannya dengan lebar.
Jun Su hanya berdiri di sana dan mengagumi sekelilingnya. Matanya menjelajah ke seluruh penjuru ruangan di hadapannya. Hanya ada beberapa meja kecil yang tertata rapi lengkap dengan alas meja bermotif kotak-kotak merah putih dan vas bunga di atasnya. Dekorasi café kecil itu terlihat cantik dan cocok dengan nuansa kayu rumah bertingkat tiga itu.
Perlahan, kaki Jun Su sudah berputar mengikuti arah pandangan mata Jun Su. Penasaran dengan bagian belakang lantai bawah rumah itu, Jun Su membuka pintu kecil di bagian belakang tangga.
Jun Su segera ternganga kagum melihat ruangan besar di hadapannya yang dipenuhi peralatan memanggang dan alat-alat lain untuk membuat kue. Berbagai macam bahan juga disimpan di sana.
Tidak bisa melepaskan kebiasaannya sebagai anak yang pemalu dan canggung, Jun Su segera keluar dari sana, berharap Jae Joong tidak keberatan dengan tindakan lancangnya.
Jun Su sedikit terkejut melihat Jae Joong yang sudah mengobrol dengan seorang kakek di ambang pintu bakery Nyonya Han. Jun Su menutup pintu kecil itu perlahan dan berjalan pelan ke arah etalase yang dipenuhi kue dan berbagai macam roti.
Pandangan kakek itu beralih pada Jun Su, dan Jun Su segera menahan nafas tanpa sadar. Ia selalu merasa sangat canggung dan gugup dengan orang asing.
Kakek itu tersenyum lebar padanya, “Selamat Pagi, Jun Su!”
Jun Su kembali melebarkan matanya, terkejut karena kakek yang baru pertamakali dilihatnya itu mengenalnya.
Jae Joong memberi jalan pada walikota yang menjadi pelanggan pertamanya hari itu untuk masuk dan mendekat ke arah Jun Su. “Selamat ulang tahun, nak.”
Jun Su menghabiskan hari pertamanya di Hamufield dengan mendengarkan cerita Jae Joong yang panjang lebar. Jae Joong terus mengajaknya bermain hingga ia kelelahan.
Hari sudah berganti malam saat Jun Su mulai merasakan kelopak matanya memberat. Beberapa kali Jun Su menguap dan Nyonya Han segera membawa Jun Su masuk ke kamarnya, memaksa Jae Joong untuk berhenti bercerita dan melanjutkannya esok pagi.
Nyonya Han mengucapkan selamat malam pada dua putranya dan berjalan ke arah pintu. Ia memastikan Jae Joong dan Jun Su sudah nyaman dengan posisi tidur mereka sebelum mematikan lampu kamar itu dan beranjak pergi ke kamarnya sendiri.
Seoul
Jun Su membuka matanya. Kali ini ia melihat kamarnya. Kamarnya yang biasanya.
“Oh, Jun Su sudah bangun?” suara riang Nyonya Kim segera terdengar. Suara Nyonya Kim dalam bahasa Korea yang jelas, yang selalu didengarnya sehari-hari.
Jun Su mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada Jae Joong, tidak ada Nyonya Han.
“Jae?” Jun Su berusaha memanggil Jae Joong yang semalam tidur di sebelahnya, tapi ia tidak merasakan tanda-tanda Jae Joong akan muncul.
Nyonya Kim mengerutkan keningnya, “Jae?”
Jun Su memandang wajah ibunya yang mengerutkan dahi, menatapnya dengan bingung. Merasa ibunya tidak akan membawa Jae Joong ke hadapannya, Jun Su segera beralih ke lehernya. Ia meraba leher dan dadanya, berusaha menemukan kalung yang diberikan Jae Joong kemarin. Tidak ada. Tidak ada kalung di lehernya.
Tepat di hari ulang tahunnya yang ke dua belas, Jun Su tidak pernah benar-benar tidur.
Saat malam tiba di Seoul, ia akan tidur dan terbangun di Hamufield. Hamufield adalah pagi hari saat itu. Dan begitu juga sebaliknya, saat Jun Su tidur di Hamufield, ia akan terbangun di Seoul.