Seoul, Musim Gugur, 1993
Udara musim gugur terlihat mengintimidasi dari jendela besar salah satu mall terbesar di Seoul. Untuk sesaat, Tuan Kim hanya menatap dedaunan coklat yang terbawa angin kencang di luar sana. Ia merasa beruntung berada di dalam mall yang hangat itu. Denting piano yang lembut membuat suasana mall itu lebih hangat, dan Tuan Kim semakin tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Jun Su, untuk apa mobil-mobilan ini? Lihat, boneka kucing ini lebih lucu 'kan?” Nyonya Kim memainkan boneka kucing di tangannya. Mendengar suara riang istrinya, Tuan Kim segera beralih dari tatapan kosongnya pada jendela mall itu dan beralih memandang Nyonya Kim dan putra bungsunya. Jun Su hanya memandangi ibunya dengan tatapan polos, masih dengan mobil-mobilan di kedua tangannya yang kecil.
“Astaga, dia laki-laki. Dia ingin mobil-mobilan itu, biarkan saja.” Tuan Kim menghela nafasnya. Ia selalu merasa kesal tiap kali Nyonya Kim memperlakukan Jun Su seperti itu.
Nyonya Kim memanyunkan bibirnya dan dengan berat hati mengembalikan boneka kucing ke tempat asalnya.
Tuan Kim tersenyum pada putra bungsunya, “Kau suka mobilnya?”
Jun Su tersenyum lebar dan mengangguk. Tuan Kim tertawa melihat mata anaknya berbinar.
“Oh, astaga, lihat ini! Pasti akan sangat cocok untuk Jun Su!” Nyonya Kim tersenyum lebar dan memamerkan gaun putih panjang dengan pita merah muda.
Tuan Kim hanya bisa menggelengkan kepalanya dan memijit-mijit pelipisnya.
Setengah jam berlalu, dan dengan berat hati, Tuan Kim mengangguk kecil dan tersenyum pada penjaga kasir yang mengucapkan terimakasih dengan ramah sembari menyerahkan dua kantung belanja yang baru saja ia bayar.
Dengan semangat, Nyonya Kim segera mengambil alih kedua kantung itu dan membagikannya pada kedua putranya.
Jun Ho segera menerima kantung miliknya dengan senyum lebar. Tangan kecilnya segera mengeluarkan isi kantung itu dan metanya berbinar melihat robot hitam yang terlihat gagah dalam kotaknya. Ia mengangkat kotak itu hingga ke atas kepalanya dan masih terlihat takjub dengan isinya.
Untuk sesaat, Tuan Kim tersenyum memandangi putra sulungnya, hingga pandangannya beralih pada putra bungsunya. Jun Su terlihat memandang kakaknya yang hanya berjarak dua tahun lebih tua darinya itu dengan tatapan sedih. Ia menggenggam kantung miliknya tanpa berniat melihat isinya. Tuan Kim hanya bisa memandang sedih putranya bungsunya dan gaun putih yang dibawa tangan kecilnya. Sementara Nyonya Kim terlihat ceria dan membanggakan gaun pilihannya pada Jun Su yang hanya terfokus pada Jun Ho dan robot mainannya.
Seoul, Musim Dingin, 1995
Salju tebal menutupi halaman rumah kediaman Kim. Suasana dingin dan gloomy yang menusuk di luar kediaman keluarga kecil itu terlihat kontras dengan suasana hangat rumah bernuansa kayu yang lengkap dengan perapian yang menyala di ruang tengah mereka.
Pukul enam pagi masih memperlihatkan langit Seoul yang gelap, namun Jun Su sudah berusaha berlari menyusul kakaknya yang terlihat jauh lebih besar darinya. Tuan dan Nyonya Kim hanya tertawa kecil menyaksikan kedua putra mereka yang terlihat bersemangat menuju pohon natal berhiaskan lampu kelap-kelip, lengkap dengan kado-kado di sekitarnya.
Jun Ho mengguncang-guncangkan kado pertama yang diraihnya, berusaha membayangkan apa isinya sebelum meletakkan kado itu kembali ke tempatnya dan beralih ke kotak kado lain yang lebih besar.
Jun Su terpaku pada sebuah kotak yang cukup besar untuk ukuran tubuhnya yang masih sangat kecil. Jun Su meraih kotak yang dibalut kertas kado merah itu dan segera mencari cara untuk membuka kadonya.
“Oh, Jun Su, jangan yang itu. Santa bilang itu untuk Jun Ho hyung.” Nyonya Kim berjalan cepat ke arah Jun Su dan mengambil kotak merah itu dari tangan kecil Jun Su.
Tuan Kim mengerutkan keningnya. Ia pikir Jun Su dan Jun Ho boleh memilih kado mereka dengan bebas.
“Ini, Santa bilang Jun Su akan menyukai yang ini.” Nyonya Kim mengambil kado berwarna hijau di dekatnya.
Dengan patuh, Jun Su mengambil kado hijau itu dan mulai berusaha membukanya.
“Jun Ho, yang ini untukmu.” Nyonya Kim tersenyum lebar pada putra sulungnya yang masih sibuk memilih-milih bungkusan kado lainnya.
Jun Ho mengangguk patuh dan segera membuka bungkusan kadonya dengan cepat.
Melihat Jun Ho yang bersemangat merobek kertas merah itu, Jun Su pun tersenyum lebar dan ikut bersemangat membuka kertas hijau di tangannya.
“Keren!” Jun Ho segera berteriak senang dan mengeluarkan isi kadonya.
Jun Su menoleh dan mendapati Jun Ho mengangkat tinggi-tinggi kadonya. Sebuah robot-robotan yang membuat bola mata Jun Su membesar. Jun Ho pun menatap koleksi barunya dengan mata yang berbinar. Ia selalu menyukai robot lebih dari mainan lainnya.
Jun Su segera membuka kadonya sendiri, berharap mendapat hal yang sama, atau lebih, namun harapannya luntur seketika. Barbie. Itulah yang ada di dalam kotak hijau miliknya.
Dengan lemas, Jun Su mengeluarkan boneka berambut pirang itu dari bungkusan hijaunya dan hanya bisa menatap mata biru boneka itu dengan tatapan kecewanya, seakan berharap isinya akan berubah sembari ia menatapnya.
Turut melihat isi bingkisan hijau itu, Tuan Kim terdiam dengan mata yang membulat. Ia menghela nafasnya dengan keras. Seketika ia merasa bersalah pada putra bungsunya. Seharusnya ia bisa menebak pikiran istrinya.
Tuan Kim berjalan pelan mendekati Jun Su yang masih memandangi bonekanya. Jun Su sama sekali tidak terlihat bersemangat.
“Jun Su, masih banyak kado lainnya.” Tuan Kim tersenyum kecil dan meraih sembarang kado yang bisa dijangkaunya. “Coba buka yang ini?”
Bangun lebih pagi dari biasanya dan melewatkan tidur siang membuat Jun Ho dan Jun Su kelelahan. Segera setelah keluarga besar mereka pulang dari kunjungan makan malam di kediaman keluarga Kim, Jun Ho dan Jun Su langsung membalut tubuh kecil mereka dalam selimut tebal masing-masing dan tertidur pulas.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun udara yang dingin membuat Jun Su terbangun dari tidur lelapnya. Meski sangat mengantuk, ia terpaksa bangun untuk pergi ke kamar kecil. Dengan hati-hati, Jun Su membuka pintu kamarnya perlahan, tidak ingin membangunkan Jun Ho yang tertidur pulas di ranjang sebelah.
“Aku tahu kau sangat menginginkan anak perempuan, tapi Jun Su kita adalah laki-laki.” Suara Tuan Kim terdengar samar sesaat setelah Jun Su keluar dari kamarnya. Jun Su mengusap sebelah matanya dengan jemari-jemari kecilnya sembari berjalan perlahan. Ia melihat ayahnya merangkul pundak ibunya.
“Tiga anak pasti akan lebih baik.” Nyonya Kim menghela nafasnya, sementara Jun Su menghentikan langkah kaki kecilnya.
“Tiga anak, atau anak perempuan?” Tuan Kim terdengar kesal. Belum ada yang menyadari kehadiran Jun Su di belakang mereka.
Melihat Nyonya Kim yang hanya diam dengan wajah kesal, Tuan Kim kembali mengalah, “Baiklah, tiga anak.”
Nyonya Kim langsung menoleh menatap suaminya, “Benarkah? Kau serius?”
Tuan Kim mengangguk. Tidak begitu senang dengan keputusannya sendiri, sementara Nyonya Kim sudah tersenyum lebar. Wajah marahnya seketika menjadi ceria kembali.
“Tapi, kalau ternyata kita memiliki anak laki-laki lagi, kau tetap tidak boleh memperlakukan Jun Su atau siapapun seperti anak perempuan.” Tuan Kim menatap dalam-dalam mata istrinya.
Nyonya Kim masih menyeringai lebar dan mengangguk.
“Oh, Jun Su, belum tidur?” Nyonya Kim melebarkan matanya melihat anak bungsu mereka berjalan pelan menuju kamar mandi.
“Lihat, anak Eomma sangat pintar.” Nyonya Kim masih tersenyum lebar memandangi Jun Su yang tampak tidak peduli dan berjalan melewati mereka.