Semua orang pasti pernah jatuh cinta entah pada siapa-pun yang menarik hatinya. Dari kedua sahabatnya, cuma Mirta yang berhasil menjadikan cowok yang dia sukai sebagai pacar. Salah satu sahabat Caca yang lain, yaitu Dea, sampai saat ini cuma bisa pedekate dengan gebetannya yang sudah berada di kelas akhir alias kelas 12. Caca juga punya adik, dan adiknya itu bahkan sudah punya pacar di saat Caca belum pernah suka sama siapa pun. Cewek berwajah bulat itu merasa kalau dirinya benar-benar aneh. Sudah berumur 17 tahun, tapi belum pernah jatuh cinta.
Kadang Caca iri saat melihat sepasang kekasih di jalan raya ataupun di mall ketika dia sedang hangout bareng 2 sahabatnya. Cewek itu juga sebal saat kekasih adiknya yang masih kelas 9 SMP datang ke rumah untuk main di kolam ikannya. Caca tahu sih, kalau adik cowok-nya itu memang ganteng dan mudah saja dia mendapatkan seorang cewek. Apalagi pacar adiknya ini cantik banget. Caca sampai terperangah kaget ketika membandingkan wajah bulatnya dengan wajah tirus milik kekasih adiknya itu.
Aduh, memang parah Caca ini!
Cewek itu memasuki kelasnya dengan wajah lesuh karena semalam harus menemani adik dan kekasihnya itu bermain di kolam ikan taman belakang rumahnya. Kata Mama, jangan sampai biarin Reza berduaan sama ceweknya. Karena nanti ada setan yang bikin Reza melakukan hal-hal yang tidak baik! Jadilah Caca menemani dua orang yang kasmaran itu sambil memakan puding dan membaca komik Doraemon. Benar-benar miris.
Caca duduk di kursinya dan melirik Handi yang tengah mengobrol bersama Sena meskipun mata Handi tampak malas. Kadang Caca juga bingung sih akibat keakraban Handi dengan Sena. Dua orang yang saling bertolak belakang.
Cewek itu menghela napas pendek karena tidak bisa mengobrol dengan Handi pagi ini, lantas menoleh untuk menemukan Dea yang sedang memperbaiki rambutnya yang kini tergerai hingga pinggang.
“Semalam gue nemenin Reza pacaran lagi, Dei,” rengek Caca dengan suara yang melemah. Cewek itu menempelkan wajahnya pada meja sambil pura-pura menangis. “Huhu, sedih banget sih gue, sebagai manusia yang tidak pernah jatuh cinta.”
Dea berdecak sebal. Dia selalu tidak suka kalau sahabatnya itu sudah merengek tidak jelas seperti ini. Cewek bermata seperti kucing itu menarik lengan Caca hingga tubuh cewek berwajah bulat itu duduk dengan tegap. “Lo hanya perlu konsentrasi dan mulai mencari objek menarik, Ca. Pasti cinta bakal datang sendiri,” ujar cewek itu sembari mengulas senyum lebar.
Caca masih cemberut dengan kedua mata yang berair. “Gue udah cari objek yang menarik, tapi kayaknya jadi biasa aja, Dei. Nggak ada bedanya sama sekali!” balas cewek itu kemudian menoleh dan menemukan Handi yang tidak sengaja meliriknya. “Han—“
“Okay, class. Kita lanjut ke halaman 28, ya,” suara Miss Mega membuat suara Caca terhenti.
Cewek itu mendengus sebal lalu mengambil buku tulisnya di dalam tas dan menatap guru berambut sebahu itu dengan sangsi. Padahal dia mau curhat, tau!
***
Selepas pelajaran Bahasa Inggris, Caca langsung merapihkan buku tulisnya dan bersiap untuk mengajak bicara Handi karena pelajaran Bimbingan Konseling hanya dilaksanakan 1 bulan sekali. Namun saat cewek berwajah bulat itu menoleh ke kursi di seberangnya, Handi sudah tidak ada. Dahi Caca mengkerut dalam menatap kursi kosong di samping Sena, lantas cowok berwajah manis itu bertanya.
“Nyari Handi, ya?”
Caca mendongak dan bersitatap dengan Sena yang masih tersenyum. “Ah, iya. Dia ke mana?”
Sena mengetuk-ketukkan jari telunjuknya ke dagu lantas menjawab. “Biasanya sih ke bale, Ca. Atau UKS? Tempat tidur dia mah banyak,” ucap cowok itu sembari memasukkan buku tulisnya ke dalam tas. Sena menoleh ke arah Caca sambil menarik senyum kecil. “Gue duluan, ya. Mau ke ruang OSIS,” pamit Sena seraya beranjak.
Langkah cowok itu berhenti sebentar di samping Caca, lantas menoleh lagi. “Gue seneng Handi jadi banyak ngomong sekarang. Padahal kemarin-kemarin, dia sempet mogok ngomong sama gue. Mukanya keliatan males mulu,” ucap cowok itu kemudian pergi meninggalkan Caca yang mengulum bibirnya sambil menatap ke papan tulis yang mulai penuh oleh coretan teman sekelasnya yang gabut.
Caca melirik Dea yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya sembari tersenyum-senyum, lantas menepuk bahu sahabatnya itu. “Menurut lo, Handi ke bale atau UKS?”
Dea terdiam sebentar lantas menatap sahabatnya aneh. “Ha? Apa urusannya sama gue,” balas cewek itu sebal. Dea meletakkan ponselnya di atas meja sebelum menatap Caca dengan raut wajah serius. “Lo sebenarnya ada apa sih, Ca? Kayaknya sama Handi mulu,” gerutu Dea karena dia jadi kesepian kalau misalnya Caca malah mengobrol bersama Handi dibandingkan dirinya.
Caca menghela napas pendek seraya menjawab. “Ya, gimana ya? Dia kan mau bantuin gue suka sama seseorang, Dei,” ujar cewek itu seraya mengambil ponsel di kolong meja dan mengetikkan sesuatu di sana. “Apa gue chat aja, ya? Gue nggak pernah nge-chat Handi, omong-omong.”
Dea menepuk dahinya frustasi lalu mengambil ponsel Caca dan menatap cewek itu lekat. “Mana ada sih, orang yang ngebantu jatuh cinta, Ca. Yang ada, malah elo tuh. bakal suka, sama Handi!” hardik cewek itu menasihati Caca untuk berhenti menggangu orang lain. Dea sebenarnya kasihan sama Handi yang mageran harus dicerewetin sama Caca yang pemaksa.
Dahi Caca mengkerut dalam lalu merebut ponselnya cepat. “Dih, kok jadi malah suka sama Handi? Gue kan, cuma minta bantuin suka sama orang. Dia juga lagi suka sama seseorang tahu, Dei,” tutur Caca untuk membela dirinya sendiri. Dia juga tidak pernah berpikir untuk menyukai seorang Handi—bahkan memang dia tidak tahu gimana cara untuk menyukai seseorang.
Dea menggelengkan kepalanya dengan raut wajah pasrah lalu menyenderkan punggungnya pada kursi. Cewek itu menghela napas pendek kemudian memasang earphone untuk mendengarkan lagu. “Ya, terserah lo, deh,” ungkapnya dengan nada menyerah karena menceramahi Caca itu benar-benar membuang waktu. Cewek itu melirik Caca yang lagi mengetikkan pesan entah pada siapa, lantas berujar. “Menurut gue, ya, Handi lagi di UKS. Kalau di bale bakal diusir sama Pak Satpam.”
“Oh, gitu. Oke deh, Dei!”
Cewek berwajah bulat itu sudah pergi meninggalkan Dea yang terperangah kaget. Dengan gelengan pelan, Dea berujar. “Emang sinting si Caca,” lantas cewek itu mulai mendengarkan musik di ponselnya sembari melihat-lihat feeds di media sosial miliknya.
Di lain sisi, Caca sedang melangkah riang sembari membawa ponsel dan juga minuman dingin. Cewek itu mengetuk pintu UKS 1 kali dan bertemu pandang dengan Bu Alya selaku dokter di UKS-nya. Caca izin untuk mendatangi Handi, lantas menyibak salah satu hordeng yang menutupi ranjang di pojok dekat dengan jendela mengarah ke belakang sekolah.
Caca dapat melihat Handi yang merasakan gangguan kecil dari tidur nyenyaknya kemudian perlahan mata yang tertutup itu terbuka. Handi langsung menegak sembari menarik selimut kain yang menutupi kaki hingga lehernya. “L-lo... ngapain, ke sini?” tanya Handi dengan nada setengah kaget dan setengah waspada.
Caca mengedikkan bahu sembari menarik kursi besi untuk dia duduk, lalu memberikan minuman dingin yang dia beli di koperasi untuk Handi jika dia mau. “Gue tuh mau cerita, Han. Lagian lo juga, katanya mau bantu gue suka, sama orang!”
Handi menggulirkan kedua bola matanya malas. “Astaga, Ca. Suka sama orang tuh nggak perlu dibantu. Lo bakal jatuh cinta dengan sendirinya, kok!” balas Handi sebal seraya mengambil minuman tersebut dengan kasar dan menenggak isinya hingga tersisa setengah. Dia butuh tenaga untuk menanggapi cerita-cerita Caca yang tidak penting.
Cewek yang duduk di kursi besi itu menghela napas lelah dengan bibir menekuk. “Tapi, kapan? Adek gue aja udah punya pacar! Gue boro-boro pacar, suka sama orang aja nggak pernah,” dia menelungkupkan wajahnya di sisi kasur yang kosong. “Kalau lo sendiri, Han? Giman bisa suka sama cewek itu? Kalian saling suka?”
Tidak ada sahutan yang terdengar setelah pertanyaan Caca. Cewek itu menegakkan tubuhnya dan menatap sosok cowok bergigi kelinci yang asik melihat langit melalui jendela di samping ranjangnya. Caca tidak tahu bagaimana mendeskripsikan pemandangan yang dia lihat sekarang, namun pandangannya sama sekali tidak bisa berhenti hanya dengan menatap wajah Handi dari samping.
***
Mendengar pertanyaan Caca yang tiba-tiba, Handi jadi diam membisu. Cowok itu lebih memilih melirik ke arah langit biru yang cerah karena dia tidak punya jawaban dari pertanyaan Caca yang aneh. Lagipula, memang saat kita menyukai seseorang, kita tidak bisa menjelaskan alasannya, kan? Handi memang tertarik dengan sifat sopan dan lembut dari Ajeng. Namun saat dia mulai jatuh cinta pada Ajeng, dia jadi tidak tahu alasan apa dibalik rasa sukanya. Karena Handi.. suka semua yang ada pada diri Ajeng.
Cowok itu menghela napas pendek lalu menoleh dan menemukan cewek aneh yang masih menatapnya dengan tatapan yang agak berbeda. Cowok itu meneguk ludahnya lamat-lamat sebelum menepuk pipi bulat Caca agar cewek itu sadar. Handi mengernyit dengan tatapan berubah waspada. “Lo mikirin hal mesum, ya?”
“Apaan? Gue aja nggak tahu,” balas Caca sebal dengan wajah yang menghangat.
Handi mengerutkan dahinya bingung. Cowok itu menyibak selimut yang masih melapisi kaki pendeknya lantas menatap cewek itu lekat. “Jadi, lo beneran mau dibantu untuk menyukai seseorang?”
Caca mengangguk cepat. “Iya, Han. Gimana? Lo bisa?”
Cowok itu mengedikkan bahu sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Dia memikirkan cara lain—yang mungkin dapat menguntungkannya juga. Dia sedang patah hati, lalu Caca sedang mencari pujaan hati. Bukankah itu terdengar sedikit... cocok?
Astaga, apa yang Handi pikirkan barusan?
Cowok bergigi kelinci itu berdecak sebal lalu turun dari ranjang UKS. “Gue yang bakal bikin lo suka sama gue, gimana? Setidaknya, lo cuma mau mulai menyukai seseorang, kan?”
Dahi Caca mengkerut dalam dengan raut wajah bertanya. “Terus kalau udah suka, gimana? Pacaran?” kedua bola matanya langsung berbinar membuat Handi langsung mendorong wajah itu menjauh.
Cowok itu menatap Caca dengan tatapan yang berubah tajam. “Orang yang gue suka aja, nggak pernah suka sama gue. Jadi, lo masih mau untuk menyukai seseorang yang belum tentu suka sama lo, atau tetap jadi Caca yang nggak tahu apa-apa?”
Handi langsung meninggalkan cewek di itu di UKS dengan langkah yang berubah cepat. Dia tidak tahu apa kata-katanya tadi terdengar menyakitkan atau tidak sama sekali. Karena memang tidak semua cinta harus dibalas dengan perasaan yang sama, kan? Atau hanya Handi yang masih tidak mau menerima kenyataan dan malah mencari pelampiasan lain dengan menyakiti hati perempuan?
Handi tidak tahu.