Tiga hari sudah Abaya dirawat di rumah sakit. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain makan dan tidur. Bau rumah sakit juga sangat membosankan, membuatnya tidak betah untuk tinggal lebih lama lagi. Tetapi, belum ada kepastian dari dokter, tentang kepulangannya ke rumah.
Ibu Mina datang dengan wajah semringahnya. "Ayo, kita pulang!"
Abaya, Mina, dan Arsan menatap Ibu dengan tatapan bingung. Lagipula, siapa yang tidak bingung saat seseorang tiba-tiba masuk dan mengatakan hal itu?
Ibu membereskan barang-barang yang ada di meja. "Kan, kamu sudah bosan di rumah sakit terus. Makanya, Ibu minta ke dokter supaya kamu dipulangkan saja. Kondisi kamu juga lumayan baik, kok."
Abaya tersenyum bahagia. Ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Akhirnya, ia bisa menghirup udara bebas lagi setelah tiga hari dikurung dalam ruangan berbau obat ini. Ia akan memastikan bahwa ini adalah hari terakhirnya berada di rumah sakit, dan tidak akan pernah lagi untuk datang ke tempat ini.
Kedua perawat mendatanginya, melepas infus yang melekat pada punggung tangan.
"Arsan, siapkan mobil," titah Ibu Mina kepada Arsan.
Arsan mengangguk, ia keluar kamar rumah sakit dan menuju ke parkiran.
Setelah semuanya siap, mereka bertiga berjalan ke luar rumah sakit menuju Arsan yang rupanya telah menunggu di halaman utama rumah sakit.
Ternyata, asisten rumah tangga yang dikirim Papa Abaya telah datang. Wanita berumur 48 tahun dengan nama Rosita. Dari awal melihat, Abaya menyukai orang itu. Pandangannya lembut, begitu pula dengan tutur katanya. Semoga saja, Abaya tidak salah dalam menilai orang. Ia harap, Ibu Rosita itu bisa membantunya dalam segala hal.
Sebelum digiring ke kamar, Abaya sempat mendengarkan cerita dari Ibu Rosita. Beliau adalah janda tanpa anak. Rumahnya berada di tempat di mana keluarga adopsi Abaya sekarang tinggal. Beliau dikirim oleh Papa Abaya. Itu sebabnya, Ibu Rosita akan tinggal di rumah Abaya.
Setelah sempat bercerita sedikit, Ibu Mina menggiring Abaya ke kamar. Mengatakan, bahwa ia harus istirahat dan tidak boleh sekolah besok. Abaya hanya mengiyakan, walaupun di dalam hati ia bertekad akan sekolah jika besok sudah merasa lebih pulih.
**
Waktu telah menunjukkan pukul 04.00, Abaya bergegas mandi untuk menunaikan sholat subuh. Kebiasaan rutinnya setiap hari.
Selepas sholat, ia menyiapkan segala keperluan sekolah hari ini, karena ia merasa sudah lebih baikan dari kemarin. Lagi pula, terlalu lama meliburkan diri itu tidak baik. Apalagi, ia harus membuat visi dan misi OSIS.
Hingga pukul 06.00, ia telah siap. Ia keluar kamar, menemukan Ibu Rosita yang sedang menyiapkan meja makan.
"Lho, kamu sekolah? Kan Ibu Mina kemarin sudah bilang gak usah," ucap Ibu Rosita saat melihat majikannya keluar dari kamar dengan seragam sekolah beserta tasnya.
Abaya tersenyum seraya duduk di kursi makan. "Aya sudah baikan, Bu. Kuat, kok."
Ibu Rosita terkekeh mendengarnya. Lalu, beliau menyiapkan makanan untuk Abaya. Setelah menyiapkannya, Abaya menyuruh Ibu Rosita untuk duduk, juga sarapan. Awalnya Ibu Rosita menolak, karena masih ada pekerjaan untuk mencuci baju-baju Abaya yang belum tercuci karena di rumah sakit tiga hari kemarin. Tetapi, setelah Abaya membujuk dengan seluruh tenaga, akhirnya Ibu Rosita menuruti kemauan majikannya itu.
"Kamu pergi ke sekolah sama siapa?" tanya Ibu Rosita.
Abaya terdiam. Ia lupa memberitahu Mina tadi malam, jika ia ingin ikut ke sekolah. Untung saja, masih pukul enam. Ia segera mengambil handphone yang ada di saku. Mengirim pesan kepada Mina supaya ia bisa ikut. Tetapi, hingga tujuh menit belum ada balasan apapun. Biasanya, pagi begini Mina selalu memegang handphone.
Pintu rumah Abaya terbuka secara tiba-tiba. Ibu Mina dan putrinya datang dengan tergesa-gesa. Mereka berdecak sebal saat melihat Abaya yang sudah rapi.
"Kamu, ya! Kan sudah Ibu bilang gak usah sekolah dulu!" omel Ibu Mina pada Abaya.
Abaya terkekeh. Begitulah Ibu Mina saat khawatir, akan berubah menjadi cerewet.
"Iya, tuh! Nanti pingsan loh di sekolah. Kan berat," timpal Mina.
"Enggak bakal. Abaya sudah sehat, Bu," ucap Abaya.
Setelah melewati perdebatan panjang, dengan berat hati Ibu Mina menyetujuinya. Beliau segera menelepon Arsan untuk datang ke rumah Abaya.
"Arsan, ingat loh, kamu harus menjaga mereka. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi," pesan Ibu Mina pada Arsan saat putranya datang.
Arsan hanya berdeham sebagai jawaban.
Setelah menunggu Abaya selesai sarapan, mereka bertiga berangkat. Berpamitan dengan Ibu Mina dan juga Ibu Rosita Seperti yang Ibu Mina inginkan, mereka bertiga harus pulang dan pergi bersamaan.
Jalanan hari ini cukup sepi, mungkin karena keadaan yang mendung. Bahkan, kaca mobil Arsan, tampak berembun. Memang, bulan ini adalah bulan hujan. Abaya sangat antusias jika sudah masuk bulan hujan, bulan Desember.
"Ya, gimana visi misi kamu?"
Abaya menoleh ke arah Mina. Ia menggeleng, karena di rumah sakit kemarin ia masih belum bisa berpikir apapun tentang hal itu. "Masih belum tau, kalo kamu?" tanyanya balik.
Mina tersenyum cengengesan, hal yang aneh bagiku. "Belum juga. Lagi males banget."
Abaya menggeleng-gelengkan kepalanya, itulah penyakit akut Mina. Ia tidak akan melakukan hal apapun jika dirinya sedang malas atau sedang badmood.
Mereka berjalan ke arah tangga, setelah sampai di sekolah. Berpisah dengan Arsan saat di lantai dua, karena kelas Arsan berada lantai tiga.
Abaya dan Mina memasuki kelas. Keadaan kelas tidak ramai. Hanya ada beberapa orang yang duduk di bagian depan dan Sean yang sedang duduk di bagian pojok ujung kelas. Dia sempat melihat Abaya sekilas, namun setelahnya membuang wajah lagi. Apa ia sungguh-sungguh menuruti permintaan Abaya saat di rumah sakit kemarin?
Pandangannya melirik ke arah tempat biasanya Sean duduk, di meja sebelahnya. Tetapi, mengapa tidak ada tasnya yang tersampir di kursi? Abaya kembali melihat ke arah di mana Sean duduk saat ini, dan ada tasnya di situ. Jadi, ia pindah tempat duduk dan menjauhi Abaya? Hati Abaya terasa sesak menyadari hal itu. Tapi kembali lagi, ini adalah permintaannya dan seharusnya ia bahagia karena Sean sudah menuruti.
"Kenapa dia?" tanya Mina, menunjuk dengan dagu ke arah Sean.
Abaya hanya diam, enggan menjawab. Bahkan, lidahnya saja sangat susah untuk menjawab. Ia menelungkupkan kepala ke atas meja, merasakan pusing yang kembali mendera. Mungkin Ibu Mina benar, harusnya ia masih istirahat di rumah agar lebih pulih lagi, sekaligus agar tidak mendapati hal menyakitkan ini.
Bel masuk berbunyi dua puluh menit kemudian. Kelas sudah penuh, tetapi guru yang mengajar belum menampakkan diri.
"Eh? Sean pindah tempat duduk jauh dari Aya. Ada apakah gerangan?" canda Rony, Si Pentolan Kelas.
"Iya, Aya juga lagi patah hati ya karena Sean? Kok, kayak lemes gitu?"
Godaan terdengar di mana-mana. Abaya sedang tidak mood meladeni mereka. Jika saja tubuhnya benar-benar sehat, maka mereka semua akan dibantai saat ini juga.
"Berisik lo semua!" teriak Mina.
Mereka tertawa mendengar teguran Mina, hingga tawa mereka lenyap saat seorang guru memasuki kelas.
Tiga jam pelajaran telah dilewati, tepat ketika bel istirahat berbunyi. Mina mengajak Abaya menuju kantin, tetapi ia menolaknya. Ia sangat tidak bersemangat melakukan hal apapun hari ini. Akhirnya, Mina memutuskan untuk pergi ke kantin sendiri, saat usahanya gagal untuk membujuk. Tetapi, ia berjanji akan membawakan makanan untuk sahabatnya.
Abaya kembali menelungkupkan kepala. Tetapi, sebuah ketukan di meja membuatnya terbangun. Seorang lelaki yang tak ia kenal berada di hadapannya sekarang. Dia menyodorkan sekotak kecil susu dan dua roti, lalu pergi. Abaya mengernyit bingung, siapa yang memberi ini? Ada sebuah sticky note yang tertempel di kotak susu. Ia membukanya, hanya ada tulisan "Dimakan" di sana. Ia memperhatikan tulisan ini. Sangat mirip sekali dengan tulisan Arsan. Ia hapal betul tulisan Arsan, karena saat SMP dulu mereka sering belajar bersama. Jadi, apa dia yang memberikan ini?
Tanpa pikir panjang, Abaya segera melahapnya. Hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk menghabiskan itu semua. Ia sedang malas begerak, jadi jika ada makanan yang sampai padanya, akan langsung dimakan.
Tanpa pengarahan, matanya beralih ke belakang, menemukan Sean di sana. Ia bangkit, berjalan menujunya. Ia akan meminta maaf. Sungguh, ada suatu perasaan yang tak tertahankan.
"Sean, aku mau bicara. Di rooftop," pintanya.
Ah, bahkan di saat-saat seperti ini, ia sangat gugup. Biasanya ia selalu menggunakan kata lo-gue. Tapi tidak untuk selanjutnya, setelah kejadian di rumah sakit itu.
Dia mengangguk, berjalan mendahului Abaya. "Ayo."
Abaya berjalan di belakangnya. Mereka menaiki tangga kelas tiga, dan naik lagi satu tangga menuju rooftop.
"Mau ngomong apa?" Dia berjalan menuju ujung rooftop. Menyandarkan tangan di pagar tembok di sana, matanya menatap tajam ke arah bawah, arah lapangan.
Abaya tertegun. Sean sekarang, sangatlah berbeda dengan Sean yang dulu. Terdapat ketajaman sekarang ini. Gaya bicaranya juga sangat dingin. Abaya memberanikan diri berjalan ke arahnya. Lalu berdiri di sampingnya, juga melihat ke arah bawah.
"Aku minta maaf," cicitnya.
Sean belum menjawab. Keadaan hening, hanya angin yang berhembus menerpa keberadaan mereka. Sedetik pun, ia tidak mengangkat wajahnya menghadap Abaya.
Abaya sendiri masih menunggu jawabannya. Hingga ia menemukan Arsan yang sedang berada di lapangan, tetapi tatapannya mengarah ke tempat Abaya di atas sini. Abaya mengembangkan senyum, teringat roti dan susu yang diberikannya.
"Gu-"
Perkataan Sean terputus saat Abaya berteriak ke Arsan untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Arsan awalnya terdiam, setelahnya ia mengangguk dan mengangkat jempol. Abaya kembali tersenyum dan tanpa sadar menatap Sean, yang saat ini ia juga menatapnya.
Sean tersenyum miring, ada satu kekecewaan yang Abaya lihat. "Percuma lo ngajak gue bicara ke sini, tapi pikiran sama hati lo ke tempat lain."
Abaya menatap Sean dengan lekat. Ia menyadari kebodohannya, karena memotong ucapan Sean tadi. Sean beranjak pergi, tetapi Abaya segera mencekal tangannya. "Sean," lirihnya. Ia benar-benar ingin menangis saat ini juga, menyadari kebodohan yang ia perbuat.
"Maaf, Sean."
Sean berbalik ke arah Abaya, melepaskan tangan yang mencekal pergelangannya. Ia menatap Abaya yang sedang berkaca-kaca menahan tangis. "Kenapa sekarang seolah-olah gue yang nyakitin lo, Ya? Bukannya sebaliknya? Ini kemauan lo yang di rumah sakit itu, kan? Gue udah jalanin. Jadi, gue mohon, jangan buat gue goyah dan kembali lagi mempertahankan perasaan ke lo."
Dia berjalan sesudah mengucapkan itu. Tapi, kembali berhenti dan berbalik. "And for you information, roti dan susu itu dari gue, bukan Ka Arsan." Setelahnya, ia benar-benar pergi meninggalkan rooftop.
Tubuh Abaya membeku mendengarnya. Lagi-lagi ia berbuat kesalahan. Pasti Sean terluka karena Abaya mengucapkan terima kasih kepada Arsan, bukan kepadanya.
Abaya berlari mengejar Sean. Tangisannya tidak bisa dibendung lagi. Ia terus berlari mengejar Sean yang cukup jauh dari jangkauan. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya. Yang ia pedulikan saat ini adalah mengejar Sean dan meminta maaf.
Hingga di lantai dua, langkah Sean menjadi lambat dan Abaya mampu meraihnya. Ia menghentikan Sean sebelum masuk kelas dengan mencekal tangannya.
"Maaf, Sean." Abaya memberanikan diri menatap pria yang ada di hadapannya itu dengan air mata yang masih mengalir.
Sean menghela napas. Ia melepaskan cekalan. Tangannya terjulur ke rambut Abaya, mengacaknya dengan pelan. "Gue maafin. Tapi, mungkin setelah ini bakal ada jarak di antara kita, seperti yang lo minta kemarin," ucapnya.
"Cuci muka lo, jelek kalo nangis. Apalagi sekarang jadi pusat perhatian semua orang, malu." Setelahnya ia masuk kelas, meninggalkan Abaya yang masih terdiam.
Abaya menghapus air matanya. Dengan gontai, ia berjalan menuju toilet. Membasuh wajahnya agar tidak terlihat seperti habis menangis. Setelahnya, ia kembali berjalan menuju kelas. Ternyata, guru yang mengajar telah masuk. Bel telah berbunyi saat ia berada di toilet tadi. Untung saja, guru yang mengajar itu baik hati, sehingga bisa memperbolehkan Abaya masuk dengan mudah.
Ia sempat melirik ke arah Sean di belakang sana. Tetapi, tampaknya Sean enggan untuk menatap balik. Ia sibuk memperhatikan guru yang sedang mengajar.
"Berantem sama Sean, ya?" tanya Mina, setelah Abaya duduk di kursinya.
Abaya melirik Mina sekilas, lalu memusatkan pandangannya ke arah guru yang mengajar. Ia cuma bisa mengangguk menjawab pertanyaan Mina. Pasti berita itu sudah tersebar, karena saat ia mengejar Sean tadi, hampir semua warga sekolah di lantai dua memperhatikannya.
"Kenapa?" tanya Mina lagi.
Yang ditanya menghela napas. Ia tidak ingin membicarakan itu untuk saat ini. "Nanti aku cerita," sahutnya.
Ia kembali memperhatikan penjelasan guru. Berusaha untuk menerima penjelasan-penjelasan itu. Tetapi, sama sekali tidak masuk di otak, karena ia terus memikirkan Sean.
Awalnya, ia merasa biasa saja berada di dekat Sean, ia juga merasa biasa saja mendengar bahwa Sean menyukai dirinya. Tetapi, setelah tahu Sean memang benar-benar ingin menjauhinya, ia baru sadar akan hal itu. Agak sedikit terlambat menyadari. Ya, ia menyukai Sean. Lebih tepatnya saat ini, ia menyukai dua orang di waktu yang bersamaan.
**
Pukul tujuh malam, setelah makan malam. Mina berniat menginap di rumah Abaya. Di sekolah tadi, Abaya telah menjanjikan bahwa ia akan bercerita tentang masalahnya dengan Sean, asalkan Mina datang ke rumah. Dan sekarang, Mina benar-benar datang. Tampaknya, ia sangat penasaran dengan kisah yang sebenarnya.
Mereka kini sedang berada di kamar Abaya. Mina duduk di ranjang, sedangkan Abaya duduk di kursi belajarnya. Tidak ingin membuat sahabatnya berlarut-larut dengan rasa penasarannya, akhirnya Abaya mulai menceritakan masalahnya dengan Sean. Dimulai dari kejadian di rumah sakit, hingga kejadian di rooftop sekolah tadi. Mina mendengarkan kisah itu, tanpa menyelanya. Sejujurnya, ia cukup kaget dengan tindakan yang diambil sahabatnya sewaktu di rumah sakit. Tapi, sebelum ceritanya selesai, ia tidak ingin menanggapi.
Setelah Abaya benar-benar menyelesaikan kisahnya, Mina baru angkat bicara. "Setelah kita bicara tentang Sean di rumah sakit kemarin, aku pikir kamu juga setuju sama pemikiran aku. Tapi, ternyata kamu punya keputusan sendiri. Cuma, yang bikin aku gak nyangka itu, kamu bilang kalo Sean itu kayak parasit. Semua orang juga pasti bakal marah kalo dibilang begitu," jelas Mina.
Ya, Abaya tahu itu. Ia sendiri juga tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulutnya. "Aku kalut waktu itu. Ngerasa gak enak banget karena perasaan dia," tuturnya.
"Kamu juga suka sama Sean?" tanya Mina dengan hati-hati.
Abaya mengangguk. "Baru aja aku sadar," ucapnya.
Mina melongo tak percaya. Selama ini, sifat Abaya yang cuek kepada Sean, ternyata hanya sampul belaka. "Kenapa gak langsung bilang sama dia?" tanyanya lagi.
Abaya menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin ia akan memberitahu yang sebenarnya kepada Sean, saat hatinya masih terukir dua nama. Abaya juga tidak bisa memberitahu kepada Mina bahwa ia juga menyukai kakaknya.
"Aku takut, kalo nanti tujuanku bakal terkesampingkan karena terikat sama seseorang," sahut Abaya.
Mina hendak memprotes alasan Abaya, yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Ia tahu, jika Sean bukanlah orang yang posesif akan suatu hal.
Melihat sahabatnya yang ingin mengatakan sesuatu, Abaya segera menyelanya, "gimana kalo kita bahas tentang visi dan misi?" Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, pikirannya terlalu pusing karena memikirkan Sean seharian ini.
Mina mengalah, akhirnya ia mengangguk, menyetujui permintaan sahabatnya.
Abaya mulai mengambil kertas kosong, tak lupa juga ia memberikannya kepada Mina. Mereka akan berpikir visi dan misi masing-masing, lalu merundingkannya.
Setelah lama berkutat dengan pikiran, Abaya mulai menuliskan visinya. Setelahnya, ia memberikannya pada Mina.
Mina mulai membaca visi yang Abaya rancang, "menjadi wadah bagi siswa-siswi untuk mengembangkan segala potensi yang ada sehingga terbentuk siswa-siswi yang cerdas, kreatif, dinamis, berprestasi, berakhlak mulia serta menjaga nama baik sekolah menuju sekolah yang Unggul di tingkat nasional."
Sontak, Mina bertepuk tangan. "Keren," pujinya.
"Sekolah kita dikenal sama semua orang sebagai sekolah buangan. Dengan adanya visi itu, di dalam misinya nanti, aku bakal membuat suatu program yang bisa mengembangkan potensi. Sebenarnya, sekolah kita banyak siswa-siswi yang berprestasi. Tapi, sayangnya ketutup karena gak pernah ada perlombaan, bahkan gak ada apresiasi untuk siswa-siswi yang meraih juara kelas. Padahal, itu juga salah satu kebanggaan," jelas Abaya.
Mina menyetujui pemikiran Abaya. "Betul. Mungkin, kelakuan siswa-siswi yang sudah di luar batas, bikin semua guru pada tutup mata buat ngeliat kemampuan muridnya. Tapi, sebelum fokus pada pengembangan potensi, kita harus lebih dulu memperbaiki karakter mereka. Itu sangat penting. Ngeliat, gimana kelakuan siswa-siswi di SMA kita, terutama ke guru yang sangat-sangat gak sopan," usulnya.
Begitulah siswa-siswi di SMA mereka. Karakter yang terbentuk jauh dari kata baik. Peraturan dan tindakan yang kurang tegas kepada muridnya menjadi kunci utama, yang membuat siswa-siswi berbuat sesukanya.
Keseriusan mereka terpecahkan saat dering ponsel Abaya berbunyi. Nomor tidak dikenal. Ia memperlihatkan ponselnya yang masih berdering kepada Mina. Sahabatnya itu menyuruhnya untuk mengangkatnya saja, siapa tahu ada hal yang penting.
Abaya mengangkat telepon itu. Berulang kali ia menyapa orang yang berada di seberang telepon sana, juga berulang kali menanyakan siapa dia. Tetapi, tidak ada jawaban, padahal teleponnya masih terhubung.
Mina mengisyaratkan Abaya untuk mengaktifkan loud speaker.
"Kalo gak jawab, saya akan tutup," ucap Abaya.
Sebelum ia benar-benar menekan menu untuk mengakhiri panggilan, suara orang di seberang sana, mengurungkan niatnya. Suara seorang wanita yang tampak asing, yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
"Berhenti," ucap seseorang yang berada di ujung telepon.
Abaya dan Mina saling bertukar pandang. Mereka berdua tidak mengerti dengan apa yang diucapkan wanita itu. Ia ingin bertanya, tetapi wanita itu kembali berbicara.
"Saya tau apa yang sedang kamu rencanakan."