Seorang lelaki mendaratkan bokongnya di sofa tempat di mana temannya duduk. Temannya di sebelah sedang asyik memainkan game online. Lelaki yang baru datang itu mengusap layar ponsel temannya dengan kasar. Setelahnya, ia langsung menyenderkan diri, menutup kedua matanya seraya menghela napas kasar. Teman yang berada di sebelahnya hanya tertawa geli melihatnya.
"Galau lo?" tanya temannya itu.
Sean membuka kedua matanya. Ia menatap tajam ke arah Randa. "Kayak lo gak tau aja," sahutnya.
Randa kembali terkikik geli. Sean memang begitu, selalu gusar jika menyangkut permasalahannya dengan seorang wanita. "Gue emang belum tau masalah lo. Lo tiba-tiba datang terus ngerusuh gitu," sindirnya.
"Si doi," tutur Sean.
Setelah itu, ia mulai menceritakan masalahnya dengan Abaya. Di mulai dari kejadian di rumah sakit sampai kejadian di sekolah tadi.
"Gila, lo! Kalo gue jadi diri lo, gue bakal buang perasaan gue, terus cari cewek lain! Udah dikatain parasit, apa enggak sakit emang?" sela Randa di tengah-tengah cerita Sean.
Sean mendesah lemah. Sebelum memutuskan untuk bercerita, ia sudah tahu jika Randa akan memberikan respon seperti itu. "Ya, lo gak ngerti gue," ucapnya.
Randa mencebikkan bibirnya. Jawaban sahabatnya itu, sama persis seperti perempuan saat diajak bicara.
"Oke, jelasin ke gue, bagian mana yang gue gak ngerti?" tanya Randa.
"Gue belum sempet cerita ke lo, kalo gue itu udah kenal Abaya dari lama, sebelum dia diadopsi sama keluarga yang sekarang. Dulu, gue sama keluarga suka main ke panti itu. Entah berbagi atau cuma buat sekedar main. Hampir dua tahun lah, mulai gue umur 6 tahun lebih sampai 8 tahun. Di situ gue tau dia. Dia cewek bermata tajam, yang selalu gue ingat," jelas Sean seraya tersenyum kecil.
Randa sudah terlihat hendak memotong ucapannya. Tetapi, Sean langsung melanjutkan, "ya, mungkin lo kira, di umur segitu gue masih belum ngerti, cuma bocah ingusan yang sok. Tapi, sumpah, deh! Gue udah ngerti saat itu, gue tertarik sama dia. Tapi, sayangnya dia gak tau gue. Setiap ada orang-orang yang dateng ke panti, entah kenapa dia gak pernah mau keluar. Cuma di dalam kamar terus, sudah dibujuk sama pengurus panti, tetap gak mau keluar. Terus, setelah dia diadopsi, gue kehilangan jejak. Baru SMA ini gue ketemu dia lagi. Dan rasa itu masih sama, malah makin besar."
Randa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka Sean telah menyukai Abaya sejak kecil. Di saat orang-orang di umur itu, mereka pasti sedang bermain mobil-mobilan atau bermain robot. Tapi, lain halnya dengan Sean. Di umur itu, ia malah sudah memiliki perasaan yang tidak seharusnya dimiliki anak seusianya. Memang benar, Sean itu terlalu bucin sampai ke tulang-tulang.
"Tapi, kalo dia suka sama orang, lo mau apa?" tanya Randa.
Mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, Sean menghela napas kasar. Dia bangkit dari duduknya. "Ah, cerita sama lo, mah, gak dapet ujungnya! Yang ada, lo malah bikin gue tambah gak percaya diri," sungut Sean kesal.
"Gue cabut," pamitnya.
Randa ternganga melihat tingkah Sean. Apakah dirinya salah bicara? Bukannya itu adalah fakta? Ah, rupanya Sean sedang benar-benar badmood.
**
Sejak tadi, Abaya dan Mina terdiam, setelah telepon dimatikan secara sepihak. Mereka bertanya-tanya dalam hati, siapa orang itu. Tetapi, sama sekali tidak mendapatkan gambaran.
"Ya, kalo dia tau kenapa juga, sih? Kan, rencana kita juga baik," gerutu Mina.
Abaya menganggukkan kepalanya. Toh, yang ingin mereka lakukan adalah niat baik. Jadi, tak ada masalah jika ketahuan.
Tetapi, rasa penasarannya terus menguar. "Tapi, aku penasaran siapa orang itu. Kamu bisa lacak orang itu?" tanya Abaya.
Mina menggeleng. Ia juga sama penasarannya dengan Abaya, tetapi ia tidak memiliki ahli di bidang itu. "Oh, iya! Ka Arsan bisa ngelacak," ucapnya.
Ia segera mengambil ponsel yang berada di saku. Menelepon kakaknya yang mungkin sedang berkumpul bersama teman-temannya di rumahnya. Panggilan pertama, tidak dijawab. Hingga panggilan kelima, akhirnya teleponnya diangkat. Mina langsung menyemburkan omelannya karena kakaknya itu sangat lambat menjawab panggilan. Setelah puas mencerca kakaknya dengan berbagai omelan, ia menyuruh Arsan untuk ke rumah Abaya membawa laptop.
Awalnya, Arsan menolak. Ia merasa tidak nyaman karena harus meninggalkan teman-temannya. Tetapi, sekali lagi, Mina memarahi kakaknya. Ia mengatakan bahwa ada hal yang lebih penting dari perkumpulan. Akhirnya, Arsan menyetujuinya.
Selang sepuluh menit, Arsan datang dengan membawa laptopnya. Mereka bertiga berkumpul di ruang tv.
Lebih dulu Arsan meminta penjelasan kepada Abaya dan Mina, tentang apa yang terjadi. Mina mulai menjelaskannya, tetapi ia tidak memberitahu Arsan tentang rencananya bersama Abaya.
Arsan menghela napas. "Lagian, apa sih yang lo berdua rencanain? Jangan bikin masalah, gue gak mau ikut campur."
Abaya dan Mina terdiam. Ya, mereka memang harus hati-hati dalam melakukan rencana. Jika salah langkah sedikit saja, maka dengan otomatis rencana mereka berdua akan gagal. Dan yang ada, malah nama mereka yang tercemar.
Arsan meminjam ponsel milik Abaya. Ia memperhatikan daftar log panggilan. Ternyata, itu adalah private number. Ia mengutak-atik ponsel Abaya sebentar. Setelah didapatnya nomor dari private number itu, ia mencoba untuk menelepon, tetapi tidak diangkat. Arsan beralih membuka laptopnya. Ia mulai melacak lokasi dari pemilik nomor itu.
Abaya terus memperhatikan keseriusan Arsan. Wajah tampannya, membuat Abaya lupa dengan sekitar. Sesekali, ia tersenyum melihat orang yang disukainya. Lalu, ia kembali melirik pekerjaan yang Arsan lakukan. Tangannya dengan lincah berkeliaran di atas keyboard. Mina pernah cerita, jika kakaknya ingin masuk sekolah kejuruan, dengan jurusan semacam itu. Tetapi, karena sekolah yang ada jurusan itu sangat jauh, maka Arsan rela mengubur mimpinya.
"Jalan Residen Lima," ucap Arsan setelah beberapa lama berkutat dengan laptopnya.
Abaya dan Mina mendekatkan dirinya ke laptop, melihat kebenaran lokasi yang Arsan dapati. Arsan sendiri, ia menjauh dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Kayaknya, kakak sering ngomongin alamat ini, deh. Iya, kan?" tebak Mina.
Arsan mengangguk. Saat ia pergi, alamat itu yang sering ditujunya. "Jalan perumahan tempat Dayne tinggal," sahut Arsan dengan nada pelannya.
Yang mendengar itu, melotot tak percaya. Mereka semua bertanya-tanya dalam hati, apa memang benar Dayne yang melakukan hal itu? Apalagi, melihat kejadian beberapa hari lalu, yang merupakan rekor buruk dalam pertemuannya dengan Abaya.
"Kenapa pacar kakak gitu amat, sih? Kita gak masalah kalo dia tau rencana kami. Tapi, kami cuma bakalan takut kalo nanti dia terus-terusan teror kami. Karena, siapapun yang diganggu kayak gitu, juga bakal terusik," ungkap Mina.
Arsan tak menyahut. Tanpa kata, ia bangkit. "Simpenin laptop gue," pesannya sebelum ia berlari keluar rumah Abaya.
"Coba telepon lagi," pinta Mina.
Abaya mengangguk. Ia kembali menelepon nomor tadi. Tidak diangkat juga. Tetapi, nada operator mengatakan bahwa teleponnya diarahkan ke voicemail.
"Diblokir."
Baru beberapa menit yang lalu, saat Arsan menelepon nomor itu, terhubung namun tidak dijawab. Dan sekarang, dengan gerak cepat orang itu sudah memblokir nomor Abaya. Mereka berdua menjadi bingung, tidak tahu harus apa sekarang. Ingin menebak-nebak siapa orang yang sudah menghubunginya, tetapi mereka tidak ingin asal tebak sebelum mendapatkan bukti yang kuat. Tanpa berkata apa-apa, tadi Arsan juga pergi begitu saja, hingga meninggalkan tanda tanya yang besar bagi kedua wanita yang ditinggalkannya.
“Udah, ah! Gak usah terlalu dipikirin, asal orang itu gakmacam-macam sama kita. Mending kamu tidur, jangann lupa kunci pintunya. Aku mau pulang.” Mina bangkit, ia membawa laptop miliik kakaknya.
Sebelum ia benar-benar keluar dari rumah Abaya, telepon dari kakaknya mengurungkan niatnya. Ia segera mengangkat dan mengaktifkan loudspeaker.
“Bukan Dayne yang nelepon,” ungkap Arsan langsung.
“Kenapa bisa tau? Siapa tau, dia bohong sama kakak. Atau, kakak yang bohong sama kami?” tuduh Mina.
Di seberang sana, Arsan berdecak kesal mendengar tuduhan dari adiknya. “Di rumahnya cuma ada pembantu. Kata dia, Dayne sama keluarganya lagi ke rumah kakeknya dari pulang sekolah tadi,” sahut Arsan.
“Ya, gue harap memang begitu. Walaupun ponsel Dayne gak aktif, tapi gue yakin bukan dia orangnya. Nanti gue cari tau lagi,” sambungnya, lalu memutus panggilan.
Abaya dan Mina saling bertukar pandang. Arsan sangat percaya dengan kekasihnya, dan semoga saja yang ia harapkan memang benar adanya.
“Aku pulang, ya,” pamit Mina yang disambut anggukan dari Abaya.
Abaya mengunci pintu rumahnya. Saat berbalik, Abaya sempat terpekik kaget, karena kemunculan Ibu Rosita yang tiba-tiba. Bagaimana tidak? Tadi, Ibu Ros sudah berada di dalam kamar sejak Arsan datang tadi. Tetapi, sekarang dengan malah muncul kembali.
“Sudah pulang, ya, Dek Mina?” tanya Ibu Ros.
Abaya mengangguk. “Sudah, Bu. Baru aja,” sahutnya.
Ibu Ros membalas anggukan majikannya itu. Beliau mempersilahkan Abaya tidur, karena hari sudah malam. Sebelum Abaya masuk kamar, beliau juga sempat menawarkan untuk membikinkan Abaya susu. Tetapi Abaya menolaknya, ia tidak terbiasa minum susu pada saat malam hari.
Abaya masuk dalam kamarnya. Tanpa aba-aba, ia menghempaskan tubuh ke atas kasur. Ia menghela napas dalam. Entah kenapa, dirinya merasa lelah atas kejadian hari ini. Lelah fisik, pikiran, dan juga hati. Pikirannya kini kembali lagi kepada Sean. Jika ia bisa memutar waktu, maka ia ingin menarik semua kata-katanya kepada Sean. Karena sekarang, ia menyesal. Tetapi, tampaknya menyesal tidak ada gunanya. Sean sudah berubah, dan Abaya tahu bahwa Sean sulit juga untuk diubah.
Ia menghela napasnya kembali. Daripada ia menyesali hal yang sulit untuk diubah, lebih baik ia memikirkan misi OSIS. Waktu yang tersisa tidak banyak lagi, untung saja visi yang dibuatnya sudah selesai. Ia bangkit dari tidurnya, lalu duduk di kursi belajar.
Ia mengambil kertas yang tadi berisi visi buatannya, lalu mulai menuliskan misi dibawahnya.
“Melaksanakan kegiatan yang dapat meningkatkan hubungan positif antara guru dan muridnya.” Abaya membaca misi yang terlintas di pikirannya, dan menuliskannya.
Jika dilihat ke belakang, memang hubungan antara guru dan muridnya sangat jauh dari kata baik. Seperti yang ia diskusikan bersama Mina tadi, bahwa para guru selalu menutup mata tentang prestasi maupun kelakuan muridnya. Dan muridnya pun juga begitu, mereka tutup mata terhadap sopan santun yang harusnya mereka berikan kepada guru.
Mungkin, jika Abaya terpilih nanti, ia akan melakukan kegiatan yang banyak mengikutsertakan guru bersama dengan muridnya. Bisa saja, karena itu hubungan antar guru dengan muridnya menjadi baik. Entah itu lewat perlombaan ataupun kegiatan pentas seni.
Abaya mencentang misi nomor satunya itu. Ia merasa bahwa misi pertamanya itu tepat. Kemudian, ia kembali berpikir tentang misi selanjutnya. Ternyata, membuat misi yang memuat untuk orang banyak itu tidaklah mudah, ia harus benar-benar memikirkan kondisi sekolah saat ini, supaya misi yang dibuatnya itu tepat.
Sekarang, ia memikirkan dari sudut pandang menjadi murid di SMA Guna Mulya. Selama menjadi murid di sana, banyak suka duka. Tetapi, lebih banyak dukanya. Kebersamaan dan kekompakkan antarsiswa belum terlalu erat. Masih banyak yang mengutamakan egonya. Mereka selalu bersikap tidak peduli dengan sekitar. Bahkan, untuk hal yang kecil saja seperti piket, banyak yang tidak mau. Mereka selalu beralasan, “Di rumah saja tidak pernah menyapu, untuk apa di sekolah menyapu?”
Abaya tidak habis pikir dengan orang-orang itu. Bagaimana jika nanti mereka berkeluarga, jika hal sekecil itu saja tidak mau dilakukan? Apa mereka juga akan sama malasnya? Jika ada yang menegur karena tidak piket, maka akan dibalas dengan lebih parah, seolah-olah mereka tidak melakukan kesalahan. Padahal, itu juga demi kenyamanan bersama, bukan untuk diri sendiri.
Sama halnya jika ada perlombaan classmeeting ataupun perlombaan lainnya. Seperti di kelas Abaya, mereka akan dengan mudahnya menolak mentah-mentah untuk mengikuti perlombaan. Dengan alasan tidak bisa, tidak memiiki kemampuan di bidang itu, takut panas, dan berbagai macam alasan lainnya. Jika ada yang mau ikut pun, itu pun bisa dihitung dengan jari dan orang-orangnya selalu itu-itu saja.
Dan yang paling sering Abaya rasakan adalah, saat tugas kelompok. Jika tidak sekelompok dengan Mina dan Teressa, maka ia akan mengerjakannya seorang diri. Teman-teman sekelompoknya hanya masa bodoh. Saat diajak untuk bekerja bersama, maka mereka akan beralibi bahwa mereka sedang berhalangan atau ada acara keluarga. Sangat menyebalkan bagi Abaya. Mereka tidak memedulikan proses dibalik selesainya tugas itu. Bagaimana saat ia mencari materi dengan kuota internet miliknya sendiri, menyusunnya, hingga mencetaknya, semua ia lakukan sendiri. Mereka hanya menumpang nama saja. Saat presentasi, dan mereka tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, maka mereka akan menunjuk orang yang mengerjakannya. Mengatakan bahwa, orang itu tidak mau membagi tugasnya, merasa paling pintar, dan berakhir orang itu akan diberi teguran oleh para guru.
Ternyata, bukan hanya Abaya saja yang merasakan hal itu. Teressa, Mina dan beberapa teman lainnya juga turut merasakan hal yang sama. Mina, dengan sifat keras kepalanya, ia pernah tidak menuliskan nama anggota kelompok yang tidak ikut bekerja. Tetapi, kembali lagi, maka mereka akan memberikan alasan yang sama, sehingga Mina mendapat teguran dan nilainya dikurangi.
Abaya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengingat hal itu. Jika diceritakan lebih lanjut lagi tentang teman sekelasanya dan juga sekolahnya, maka tidak akan habis-habis, dan malah bisa dijadikan sebuah novel.
“Mengutamakan kerjasama dan kebersamaan antarsiswa.” Abaya menuliskan kalimat itu di nomor dua. Ia harap, dengan misinya itu, maka hubugan antarsiswa akan menjadi erat.
Sebenarnya, Abaya sudah mengantuk saat ini. Tetapi, menurutnya tanggung, ia ingin menyelesaikan sampai nomor tiga. Ia kembali memikirkan permasalahan-permasalahan di sekolah.
Ia juga teringat tentang diskusi bersama Mina tadi. Salah satu yang menjadi alasan kenapa SMA Guna Mulya tidak pernah lepas dari julukan Sekolah Buangan. Selain karena menerima murid yang tidak lolos sekolah favorit, prestasi para murid juga tidak menonjol. Padahal, jika dilihat, cukup banyak siswa yang berprestasi di sekolah. Kurangnya apresiasi dari pihak sekolah dan kurangnya proses belajar mengajar, menyebabkan para murid tak acuh dalam proses belajar.
“Memajukan prestasi sekolah melalui program-program yang dapat mengasah kreativitas dan produktivitas para siswa hingga dapat mengharumkan nama sekolah di kancah nasional.” Ia menuliskan misi itu di nomor tiga. Jadi, ia harap dengan misi ini, julukan itu tidak melekat lagi dengan SMA Guna Mulya.