“…Kenapa aku ada disini?”
Masih ada tersisa waktu 10 menit sebelum kelas dimulai kembali. Aku belum sempat memakan bekalku yang dibuatkan oleh ibu tiriku sebelum dia pergi. Namun, seseorang yang bernama Emma ini tiba-tiba mengajakku ke atap sekolah tanpa alasan yang jelas.
Awalnya aku menolak, tetapi dia memaksa. Alasan aku menolaknya adalah karena atap sekolah merupakan area yang dilarang oleh pihak sekolah. Tentu saja akan berbahaya jika anak-anak bermain di tempat seperti ini. Jadi, pintu menuju atap dikunci. Anehnya, Emma memiliki kunci untuk mengaksesnya.
“Ahh! Segarnya!” seru Emma yang mengambil nafas dalam-dalam. Senyumnya sangat lebar menunjukkan kepuasannya untuk berada disini. Dari reaksinya, bukan pertama kalinya dia kesini.
Aku hanya duduk di dekat pintu sambil membuka bekalku, sedangkan Emma berjalan-jalan menikmati udara terbuka.
“Kamu benar-benar menyukai tempat ini ya, Emma.” Ucapku sambil memakan bekalku.
“Yep.” Balasnya.
Anak ini benar-benar menakjubkan. Setiap tindakan dan ucapannya entah mengapa membuatku jengkel. Dia mengajakku ke tempat yang dilarang ini dan sekarang dia hanya berjalan memutar saja. Di sini tidak ada tempat teduh, sehingga tidak nyaman bagiku untuk makan di tempat seperti ini. Anak ini telah mengganggu waktu istirahatku.
“Jadi, kenapa kamu mengajakku ke tempat ini?” tanyaku.
“Karena ibuku meyuruhku.” Jawabnya yang sambil berjalan memutar tanpa memandangku.
“Ibumu?”
“Yep. Kata ibu kamu membutuhkan seorang teman, makanya aku mengajakmu kesini.”
“Ibumu? Ibumu mengenalku?” tanyaku kebingungan karena aku tidak pernah berkenalan dengan ibu dari teman-teman sekelasku.
“Tentu saja. Ibuku adalah guru kita berdua. Namanya adalah Bu Mary.” Jelasnya.
Tunggu dulu…
Aku memang kurang pandai mengingat nama, tapi aku masih mengingat nama itu samar-samar.
“Dia…”
Di saat aku masih berusaha mengingatnya, Emma menambahkan, “Ibuku peduli denganmu. Katanya dia beberapa kali memanggilmu ke ruang guru untuk menanyai kabarmu.”
OH!
Kabut yang di otakku seketika bersih. Memang hanya ada satu guru yang beberapa kali memanggilku ke kelas. Akan tetapi..
“EH!?”
“Ah, akhirnya kamu ingat.”
Aku tidak mengira bahwa dia sudah mempunyai seorang anak perempuan. Dilihat dari wajah dan tubuhnya, kukira dia masih muda dan perawan. Ah…ternyata dia awet muda.
Emma sempat bertanya kenapa aku sangat terkejut, dan aku juga sedikit bingung untuk menjelaskannya.
“Umm..ibumu masih terlihat sangat muda, jadi kukira dia masih belum menikah…”
Aku berusaha sedikit jujur, tetapi aku tidak yakin bahwa anak seumuranku lainnya paham dengan hal seperti ini.
Ekspresi kebingungan terpajang di muka Emma, tetapi dia memutuskan untuk tidak menggalinya lebih lanjut.
“ ‘Ada beberapa hal yang tidak perlu kamu pahami’. Aku pernah diberitahu oleh mentorku seperti itu.” Ucapnya tanpa konteks. Namun, entah kenapa melalui ucapan yang singkat itu, aku dapat sedikit memahami Emma.
Dia, pada dasarnya, adalah seorang anak kecil. Namun, dia diberkahi dengan kecerdasan yang di atas rata-rata. Sejak dia membawaku tempat ini, dia sedikit kehilangan arah atas apa yang dia lakukan. Dia bilang bahwa dia mengajakku ke tempat ini karena ibunya menyuruhnya. Akan tetapi, perintah ibunya bukanlah untuk membawaku ke atap sekolah, melainkan adalah untuk menemaniku. Dengan kata lain, tempat yang seharusnya tidak bisa dimasuki oleh siapapun ini, adalah tempat “bermain”-nya.
Dia kesepian, begitulah pikirku.
Dia hanya menuruti perintah ibunya. Sejak kesini, dia hanya berputar-putar saja. Aku menghargai usahanya untuk “menemani”-ku, tetapi maupun aku dan dia tidak tahu harus apa. Jika ini diteruskan, maka keadaan jadi canggung.
Ini buruk.
Aku tidak memiliki topik pembicaraan yang menyenangkan. Aku tidak tahu hal-hal yang sedang ramai di kalangan anak-anak. Jujur saja, aku hanya ingin memakan bekalku dengan tenang, tetapi aku harus mencobanya.
“M-mentor? Kamu punya seorang mentor?” tanyaku. Aku mendengar bahwa dia mengutip perkataan mentornya, dan aku memutuskan untuk menjadikan itu sebagai topik pembicaraan.
“Yep. Dia mengajariku berbagai hal walaupun aku tidak memahami sepenuhnya. Perkataan-perkataan mentorku jauh lebih sulit dipahami daripada fisika!” jawabnya dengan nada sedikit jengkel.
…Ha?
Kenapa dia tiba-tiba menyinggung fisika? Aku hanya tahu sedikit tentang fisika, kalau tidak salah hal itu mulai dipelajari pada saat SMP. Jangan-jangan, apakah dia sudah memahami fisika pada jenjang itu, dan mungkin pada jenjang yang lebih tinggi?
Sudah terlihat kalau Emma mengagumi mentornya walaupun dia juga jengkel di saat yang sama. Padahal hanya kusinggung sedikit tentang mentornya, dia langsung bercerita lebih banyak.
Mentornya adalah seorang gadis berumur 11 tahun. Dari ceritanya, “mentor”-nya itu hanyalah sosok seorang kakak baginya, tetapi Emma menyebutnya dengan sebutan yang aneh. Mentornya terkadang mengunjungi Emma dan mengajaknya bermain. Mengagumkannya, mentornya bisa dibilang cukup bijak untuk anak seumurannya. Salah satu perkataannya sudah disebutkan oleh Emma, yaitu “Ada beberapa hal yang tidak perlu kamu pahami”.
Emma bercerita sambil berjalan berputar tanpa melihatku. Aku hanya mendengarkannya sambil menghabiskan bekalku. Karena Emma yang bercerita terus menerus tanpa berhenti, aku dapat menghabiskan bekalku tepat 2 menit sebelum kelas masuk lagi.
“Kamu punya mentor yang baik sekali ya, Emma.” Responsku sambil menutup bekalku dan berdiri.
Satu hal yang kupastikan benar adalah, Emma benar-benar seorang anak kecil. Kesan pertamaku terhadapnya adalah dia memiliki kemampuan bersosial seperti orang dewasa, tetapi aku yakin itu adalah suruhan dari ibunya atau saran dari mentornya. Dia tidak memahami maksudnya, tetapi dia tetap melakukannya.
Setelah kupuji mentornya, Emma menjawab, “Yep. Dia baik sekaligus menjengkelkan. Dia juga bilang bahwa selalu murung itu tidak bagus, lo.”
Aku sedikit tertawa mendengarnya. Perkataannya barusan itu tulus dari hatinya sendiri. Dia melihatku hampir setiap hari murung dan menasihatiku untuk tidak murung. Hal itu sedikit lucu bagiku.
Emma melanjutkan, “Mentorku berkata bahwa hanya kita sendiri yang dapat membuat kita bahagia. Dengan kebahagiaan itu, dunia di sekitar kita akan menjadi lebih indah.”
Dari sekian banyak ceritanya tentang mentornya itu, hal yang barusan dia katakan itu benar-benar menarik perhatianku. Bukan karena aku merasa tersentuh karenanya, melainkan karena perkataan itu mengingatkanku pada sesuatu.
Emma menghentikan langkahnya, lalu memandangi langit biru diatas.
“…Terlalu banyak biru.” Komentarnya.
“Kamu tidak menyukai langit?” tanyaku.
“Yep, karena langit membuatku iri. Warna favoritku adalah biru. Melihat langit yang sangat luas dan berwarna biru membuatku sangat iri. Aku disarankan mentorku untuk ke atap sekolah ini dan sesekali memandangi langit dengan jelas.” Jawabnya.
Dia menurunkan pandangannya, dan berjalan menuju pintu untuk membukanya.
“Ayo kita kembali ke kelas, Aria.” Ajaknya sambil membuka pintu perlahan.
“Tunggu dulu.”
“Hm?”
Masih ada perasaan yang mengganjal di hatiku mengenai perkataan mentornya itu. Oleh karena itu, aku bertanya kepada Emma, “Perkataan mentormu, ‘Dengan kebahagiaan itu, dunia di sekitar kita akan menjadi lebih indah’, apa maksudnya?”
“Bukankah sudah jelas?”
Entah kenapa…entah kenapa aku sedikit takut untuk mendengar jawabannya. Tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku mundur saat Emma hendak menjawabnya.
Emma berkata, “Keadaan di sekitar kita dipengaruhi oleh diri kita sendiri,”
Aku melangkahkan satu kaki ke belakang…
Emma melanjutkan, “Oleh karena itulah…”
Aku menggigit bibirku karena takut untuk mendengarnya.
“Kita adalah Tuhan bagi diri kita sendiri.”
Sesaat setelah Emma menyelesaikan perkataannya, penglihatanku mulai kabur dan aku mulai melihat banyak cahaya hijau di sekitarku.
Ini…
Ini adalah cahaya-cahaya sama seperti kulihat bersama Peter. Ini adalah jiwa orang-orang yang telah meninggal. Kenapa tiba-tiba aku melihatnya di saat seperti ini?
Di saat yang sama, kesedihan yang besar serta amarah tiba-tiba merasuki diriku. Penglihatanku makin kabur dan cahaya hijau yang disekitarku makin terlihat jelas.
Perasaan apa ini…?
Hanya kepedihan hebat yang kurasakan sekarang. Aku merasa seperti beribu-ribu tahun kesedihan berkumpul menjadi satu di dalam diriku. Perasaan ini…sangat tidak enak.
Tidak lama kemudian, suara tangisan terdengar di dalam kepalaku. Suara tangisan tersebut berasal dari seorang perempuan. Juga terdengar suara samar permintaan tolong darinya. Permintaan tolongnya yang sangat terdengar putus asa itu juga membuatku iba kepadanya. Namun, semua yang kudengar itu berasal dari kepalaku.
Kesedihan yang kurasakan itu juga terus bertambah hingga aku tidak dapat menahannya. Hanya ada satu hal yang kupikirkan sekarang, yaitu bahwa aku ingin keluar dari semua ini.
“Aria?”
Panggilan dari Emma membuatku terbangun dari mimpi buruk itu. Aku sudah tidak mendengar suara lagi dan tidak melihat cahaya hijau lagi. Namun, kesedihan yang merasuki diriku masih membekas sehingga air mata pun tak tertahankan.
Aku menangis.
Author's Note:
Saran dan Kritik sangat dihargai. Jika ada typo boleh juga komentar agar saya perbaiki.
Also ini juga chapter yang paling low-effort. Kalau misal ada yang tidak konsisten tolong beritahu wkwk.
Fake Existence (2/2)