Waktu berjalan begitu lambat, saat tangan yang semula dingin itu menggenggam erat tanganku seolah takut akan kehilangan. Tak ada kebisingan yang tertangkap oleh telingaku, padahal aku tengah berjalan melewati keramaian yang cukup memusingkan kepala. Setelah kutelusuri lebih dalam, ternyata seulas senyuman hangat itu lah yang berhasil mengalihkan duniaku. Dan untuk sesaat, aku berharap bisa merasakan bahagia ini tanpa rasa bersalah.
"Kita ke Marvel superheroes 4D aja gimana?"
Aku tersenyum menanggapi suara bariton yang telah berubah dari menyebalkan menjadi mendebarkan itu. Kami memang selalu begitu. Kemarin bertengkar, hari ini sudah kembali seperti biasa lagi. Bersikap seolah tidak terjadi apapun diantara kami.
Setelah berjalan sekitar 5 menit, kami akhirnya sampai di tempat tujuan kami. Tak perlu lama mengantri, karena untungnya kami termasuk ke dalam barisan orang pertama yang datang ke salah satu fasilitas yang tersedia di Trans Studio Bandung itu, tepat sebelum padatnya barisan orang di belakang kami.
Aku dan Devan duduk di bangku paling belakang, karena hanya itulah tempat yang tersisa untuk kami. Sudah kubilang kan jika ini semua karena keberuntungan kami, jadi jangan terlalu muluk-muluk dengan mengharapkan tempat yang lebih baik.
"Kita dapet di belakang ngga masalah kan? Apa mau ngantri lagi supaya bisa pilih tempat duduk?"
Aku cukup terkejut mendengar hal itu terlontar dari mulut Devan, sebab baru kali ini dia mementingkan pendapatku. Tapi sayangnya, semakin romantis kami, semakin besar pula rasa bersalahku.
Aku menggelengkan kepala pelan "Ngga masalah kok"
Dan obrolan sesi pertama kami berakhir di situ.
Sepanjang film yang sudah di putar selama setengah jam itu, kami justru tidak memperhatikannya sama sekali. Karena kami terlalu sibuk memandangi satu sama lain dengan fikiran yang berkelana dengan tujuan yang berbeda.
"Soal ide aku untuk punya anak secepatnya supaya hubungan kita membaik, gimana menurut kamu?" Tanya Devan, memulai percakapan di antara kami.
Aku menoleh sekilas, lalu beralih ke layar besar yang menampilkan superhero berwarna hijau itu "Bukannya akan lebih baik kalau kita perbaiki diri dulu baru punya anak? itu juga kalau memang kita jadi pilihan untuk satu sama lain sih"
Devan menghembuskan nafas kasar, entah apa tujuannya melakukan hal itu "Kalau kamu ada di posisi aku, pasti kamu juga pakai alasan yang sama"
Aku yang bingung dan tak mengerti dengan maksud Devan pun akhirnya menoleh kearahnya lagi "Maksud kakak apa?"
Devan melipat tangannya bersidekap di depan dada "Ya gitu deh. Dimana-mana juga wajar kalau sekali coba jadi ketagihan"
Aku mengernyitkan dahiku, semakin bingung dengan arah pembicaraan kami "Tunggu. Ini pembahasan kita larinya kemana yah?"
Dengan nafas memburu Devan menatapku dengan wajah kesalnya "Ya soal anak!"
Aku yang baru saja menangkap inti dari pembicaraan itu reflek menjauhkan diri dari Devan "Apa? Jadi kakak lebih pentingin prosesnya, dan ngga mikirin untuk kedepannya?"
Devan mengalihkan fokusnya ke layar, sembari merangkulku dan menyandarkan kepalaku di bahunya "Ya pasti aku juga mikirin untuk kedepannya lah, tapi prosesnya juga harus di nikmatin kan"
Aku kembali menjauhkan diriku dari Devan, kemudian aku memukul bahunya dan mulai mengatakan opiniku "Wah mulai ngaco nih. Geli ih, udah sana sama Luna aja. Toh Tata belum tentu jadi pilihan kakak pada akhirnya"
Devan menarik tanganku yang semula ada di bahunya. Dia menggenggam tanganku, lalu mengistirahatkan tangan kami tepat di atas pahanya "Kalau ngomong masalah akhirnya, sampai kapanpun mereka bukan pilihan Ta. Kita udah terlanjur ditakdirkan bersama oleh semesta. Dan baik Luna ataupun Kenzo, mereka cuma angin yang menguji kekuatan pondasi pernikahan kita, ngga lebih"
Apa yang di katakan Devan memang benar. Pada akhirnya aku tidak bisa memilih, karena Kenzo bukanlah pilihan. Sejak awal seharusnya aku sudah sadar, jika memang tidak ada pilihan. Apa yang di katakan Eca juga benar, setidaknya harus ada salah satu diantara kami yang berada pada posisinya.
"Tapi dari awal pun pernikahan kita memang tanpa pondasi kan?" Tanyaku lirih, saat mengingat kembali tentang rasa sakit di masa itu.
"Makanya aku mau kita bangun pondasi. Aku tinggalin Luna, dan kamu juga harus bisa lepas Kenzo"
Aku menoleh ke arah lain, aku tak ingin perasaanku terhadap Kenzo menjadi goyah hanya karena tatapan maut itu "Tapi Tata kok merasa ini ngga adil yah buat Tata. Saat kakak sama Luna, Tata sendiri yang terluka. Dan saat Tata punya kak Ken yang membawa kebahagiaan, eh kakak nyaranin untuk saling melepas. Egois ngga sih kakak itu?"
Devan menarik daguku, memaksaku untuk menatapnya lekat-lekat "Ya mau gimana lagi. Aku udah berusaha untuk memperbaiki diri, tapi kamu justru sibuk membentang jarak membatasi diri"
Aku melepaskan tangan Devan dari daguku dengan hati-hati, takut menyinggung perasaannya "Ya kalau memang kita ngga sejalan, kenapa ngga kita sudahi aja? Ngga perlu memaksakan diri"
Setelah mendengar hal itu, raut wajah Devan mulai berubah. Dia menghembuskan nafas kasar sebelum mulai berbicara "Kamu kenapa sekarang kayak gini? Kita ke sini untuk senang-senang dan memperbaiki hubungan, tapi kenapa kamu justru merubah rencananya jadi perdebatan?"
Suara Devan kini sedikit meninggi, dan aku yakin jika dia sudah mulai terbawa emosi. Untuk menghindari hal yang tidak di inginkan, aku akhirnya memutuskan untuk berdiri dan berusaha meninggalkan tempat itu dengan berjalan cepat, takut mengganggu penonton lainnya karena perdebatan kami. Devan juga hanya bisa mengekor di belakangku, tanpa mengucapkan apapun.
Setelah kami berhasil keluar dari ruangan itu, aku menatap matanya yang terlihat kebingungan karena kepergianku yang tiba-tiba.
"Itu semua kan karena kakak yang terlalu egois. Tata yakin kakak sampai segitunya ke Tata cuma karena kakak punya kebutuhan yang harus terpenuhi. Mikir ngga sih, Tata baru mau sembilan belas tahun, gimana caranya Tata bisa jadi seorang ibu?" Ucapku sebelum melenggang pergi ke luar dari tempat bermain itu. Aku bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Devan menanyakan tentang hal yang membuatnya kebingungan.
****
Lagi dan lagi langit yang seharusnya menunjukkan warna jingga itu menjadi kelabu. Tetesan air pun mulai berjatuhan menyapa bumi. Udara juga semakin terasa segar dan tak jarang membawa angin dingin. Dan di sinilah aku, berbaring di kamar dengan nuansa biru pastel dan putih.
"Besok jangan pulang yah Ta. Aku masih pengen berduaan sama kamu" Lihat lah, laki-laki yang tadi meninggikan suaranya ini justru berbalik menjadi manja seperti ini saat aku minta agar kami berdua pulang besok.
Aku menghempaskan tangan Devan yang melingkar di perutku. Lalu mulai menutupi tubuhku sampai batas dada dengan selimut tebal yang tersedia di bawah kaki kami.
"Kakak kayak gitu juga ngga ngaruh. Udah ah jauh-jauh sana! Tata mau tidur"
Devan menyingkap selimutku "Ini masih sore Ta, nanti malem ngga bisa tidur"
Aku yang tidak mau kalah pun menarik selimut itu kembali dan menutupi seluruh tubuhku sampai batas kepala. Aku menunggu Devan sekitar 1 menit, tapi aku jadi keheranan sendiri karena tidak ada pergerakan apapun. Padahal aku mengira jika sore ini adalah perang selimut bersama Devan. Dengan perlahan aku membuka selimutku, untuk melihat apa yang sedang Devan kerjakan.
"Kenapa? Nyariin?"
Aku sangat terkejut saat Devan berjalan kearahku dengan celana pendek di atas lutut dan kaos putih transparannya.
"Liatinnya biasa aja. Ngga usah ngiler gitu"
Aku mengusap mulutku, mencoba menghilangkan iler yang ternyata tidak ada.
"Kamu beneran ngiler lihat aku? Padahal aku bercanda loh"
Karena merasa telah di permainkan, aku kembali masuk ke dalam gulungan selimut. Berusaha menutupi tubuhku serapat mungkin.
"Di luar hujan tapi pakai baju yang akhlak less banget. Lagi nantang penyakit atau apa?" gerutuku dalam selimut.
Aku merasakan pergerakan pada sisi ranjang sebelahku. Devan pasti sudah naik ke atas ranjang. Dalam hati aku terus merapalkan do'a apa saja, berharap agar bisa selamat malam ini. Jujur saja aku masih takut jika Kenzo datang lagi malam ini.
"Kalau mau tinggal bilang Ta. Ngga usah di pendem sendiri. Lagian kalau istrinya duluan yang minta, pahalanya lebih besar loh Ta" Ucap Devan yang membuat tubuhku merinding seketika, sebab dia mengatakannya tepat di telingaku.
"Tidur di sofa bawah aja deh"
"Udah ah aku mau ikut tidur sama kamu aja, yuk tidur" Ucap Devan yang sudah menyelinap masuk ke dalam selimutku.
"Lepasin ngga" Sentakku saat Devan melingkarkan tangannya di perutku.
"Diem dan jangan bergerak. Kamu ngga tahu yah kalau aku sensitif? Pakaian aku tipis Ta, kamu salah gerak bisa untung di aku nya" Ancaman Devan memang sukses membuatku terdiam dan memilih untuk memejamkan mata, berusaha untuk tertidur secepat mungkin.
Hari itu, karena Devan aku bahkan sampai tidak sadar jika di luar sana, ada seseorang yang tengah tersakiti.
Note : Maaf yah yeorobun, aku lagi sibuk banget... Ya tugas kuliah, juga Kerja, belum lagi ada les dan pengajian😭 Jadi ngga punya waktu, tidur aja kurang. Sebenernya pengen nulis terus sih, tapi harus tetep cari cicis. Meskipun ngga seberapa, tapi lumayan lah buat tambah-tambah byr kuliah. Mianhae and Borahe. Entah kapan akan update lagi :'(
*klo ada apa-apa bisa DM aku aja
@cicy.sartorius makasih :')
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain