Tenang saja, kalian tidak akan merasa kecewa. Karena orang yang memanggilku memanglah Devan.
Atau kalian justru kecewa karena itu?
“Ada apa kak?” tanyaku setelah berdiri tepat di hadapan Devan.
Tanpa perlu repot menjawab, Devan menggenggam pergelangan tanganku. Dia menarikku, menghampiri seorang pria paruh baya yang pernah memperkenalkan diri sebagai dosen.
Dosen itu menatap kami satu per satu dengan tatapan bingung “Ada apa Van?”
Devan tersenyum kikuk, dia terlihat sedikit ragu untuk berbicara. Dan sembari menunggu Devan membuka suara, dosen itu memindai tubuh kami berdua dari ujung kaki sampai batas kepala, sebelum akhirnya menatap Devan lagi.
Karena setelah proses pemindaian itu selesai Devan masih saja terlihat enggan untuk mulai berbicara, akhirnya dosen itu kembali memindai kami lagi. Namun, kali ini tatapan dosen itu tak kembali berakhir pada mata Devan, melainkan terpatri pada suatu hal yang terlihat menarik baginya.
Aku penasaran tentang apa yang menarik dari kami berdua, jadi aku memutuskan untuk mengikuti kemana arah mata dosen itu memandang. Dan pada akhirnya aku baru menyadari jika tangan Devan masih menggenggam erat tanganku. Lalu dengan sedikit rasa malu, aku menghempaskan tangannya dengan secepat kilat, takut hubungan kami tercium oleh dosen itu.
Untuk sejenak Devan melihatku dengan tatapan seolah bertanya 'ada apa?'. Namun setelah itu dia melihat ke arah dosen itu lagi, dan mengabaikan perbuatanku tadi.
Devan menyingkirkan keringat dari dahinya, dia terlihat seperti seseorang yang sedang gugup saat ini. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
“Jadi begini pak Doni. istri saya kan sedang hamil muda”
Hah?! Mataku sedikit melebar karena terkejut.
“Dia ngga bisa tidur kalau ngga ada saya”
What?! Kali ini mataku bertambah lebar.
“Jadi saya mau minta izin supaya istri saya bisa tidur di tenda saya. Dia lagi manja”
Are you kidding me?!
Mataku hampir saja keluar karena setiap kata yang terlempar dari mulut Devan menunjukkan hubungan kami yang sudah sejauh itu. Apa ini tidak masalah bagi kami berdua?
Sebelum Devan semakin menjadi, aku mendekat ke arah Devan guna Membisikkan sesuatu kepadanya.
“Kak Devan apaan sih? Ngomong itu yang bener aja, jangan yang iya-iya ”
“Udah diem aja, dia satu-satunya dosen yang hadir di pernikahan kita. Dan kamu juga ngga mau insomnia lagi kan? Besok pagi ada acara senam pagi dan upacara loh” bisiknya.
“Ekhem” Doni mengintrupsi dunia bisik-membisik kami.
Karena teguran itu, aku dan Devan mengalihkan pandangan ke arah Doni secara bersamaan namun dengan ekspresi yang berbeda. Aku melihat ke arah dosen itu dengan gugup dan khawatir, sedangkan Devan berani betul dia menatap tajam Doni sembari tersenyum samar.
“Wah sudah hamil toh, cepet juga yah. Tips nya apa Van? Istri saya aja sudah 10 tahun belum mengandung” Tidak kusangka kalau ternyata dosen itu begitu merakyat dan ramah, hal itu tentu saja berbanding terbalik dengan suaranya yang terdengar begitu tegas dan mengintimidasi.
Devan terlihat salah tingkah, namun tetap saja dia berusaha untuk menjawab pertanyaan itu “Perbanyak ikhtiar aja pak”.
What?! Ikhtiar? Kami saja baru melakukannya sekali, itupun kemarin. Bagaimana bisa dalam sehari bibitnya sudah berkembang menjadi embrio?.
Doni tertawa yang membuatku beringsut takut “Memang gairah anak muda itu tidak di ragukan lagi yah. Ya sudah, tapi kalau bisa jangan di sini” ucap Doni sembari menepuk bahu Devan,seolah tengah memberi wejangan.
“Saya permisi dulu. Cepat tidur yah, keperluan lainnya bisa di tunda di rumah” sambungnya, dengan senyuman yang sepertinya hanya di mengerti oleh Devan.
“Ngomong apaan sih” gerutuku sembari berjalan ke sembarang tenda. Tentu saja setelah dosen itu pergi terlebih dahulu.
“Hey” Devan menahan lenganku, yang membuat langkahku terhenti.
“Disini” sambung Devan sembari menarikku ke salah satu tenda kecil berwarna biru.
Keheningan sempat melanda kami berdua saat baru saja masuk dan duduk di dalam tenda. Kami tidak saling memandang, karena rasanya melihat pintu tenda jauh lebih menenangkan bagi kami berdua daripada harus melihat satu sama lain.
Aku menoleh ke arah Devan “Kak, Tata ngga bawa tas. Jaket Tata juga di tenda” setidaknya itulah upayaku untuk mencairkan suasana.
Devan mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku “Ini jaket kakak ngga mau kamu pakai?”
Aku memberanikan diri mengubah posisi duduk menjadi menghadap ke arah Devan. Aku baru sadar jika di tanganku masih ada jaket Devan yang tanpa sengaja terbawa saat terburu-buru menemui Devan tadi.
“Oh iya. Terus kakak pakai apa?”
“Bawa selimut” jawabnya singkat tanpa minat, seperti seorang Devan yang biasanya.
“Oh”
“Senternya kakak matiin yah”
“Lah kok gitu?”
“Nanti orang yang lewat aneh sama bayangan kita. Takut mereka berfikir yang macem-macem”
Tapi...kalau gelap kan jadi aku yang berfikir macem-macem.
“Mending nanti aja kalau mau tidur. Eh, ini semua surat cinta untuk kakak?” tanyaku sembari menunjuk ke arah tumpukan kertas berwarna-warni di samping Devan.
“Iya”
Setelah mendengar jawaban itu, ingatanku kembali ke acara api unggun tadi. Menurutku, jika di bandingkan dengan tumpukan kertas yang Kenzo pamerkan padaku, Devan memang kalah telak.
“Wah ternyata kak Ken lebih terkenal dari kakak yah” ceplosku. Aku lupa jika Devan memiliki jiwa kompetisi, yaitu sifat tidak ingin kalah.
“siapa Ken?” tanyanya.
“Kenzo Kalandra” ucapku enteng.
Aku yakin Devan sedikit terkejut ketika kusebut nama itu, karena aku melihat sekilas ada sedikit pergerakan pada wajahnya. Namun dengan kemampuan kamuflase wajahnya yang luar biasa, aku yakin orang awam akan tetap menilai kalau Devan tidak bereaksi apapun dan hanya datar-datar saja.
“Luna yang selalu cegah para mahasiswi baru untuk kasih surat ke kakak. Dia bilang kalau kakak itu milik dia, padahal kami udah lama putus”
Tebakanku salah. Dia bukan terkejut, melainkan karena sifat tidak ingin kalahnya yang membuat dia merubah ekspresinya.
“Kamu deket sama dia?” Eh, dia penasaran juga ternyata.
“Ngga, tapi dia terus-terusan ngedeketin”
Devan mengubah posisi duduknya seperti semula. Lalu dia membaringkan tubuhnya bersiap untuk tidur “Jangan deket-deket”
Aku tersentak mendengar ucapan itu, hampir saja aku akan menangis di buatnya. Apa Devan segitu tidak sudinya berdekatan denganku?.
“Dia ngga baik” sambungnya, yang membuatku bernafas lega dan menghentikan niat untuk mengeluarkan air mata.
Sebelum Devan berubah fikiran, aku ikut berbaring di sampingnya dan memposisikan diri sangat dekat dengan tubuh Devan, karena space yang tesisa sangatlah minim.
“Lah, keliatannya dia deket sama kakak”
Devan menoleh ke arahku yang masih mencari posisi nyaman “Deket memang. Kami sahabatan, tapi bukan berarti harus menutupi sifat buruknya kan?”
Aku mengangguk ragu “Iya sih, tapi ngga bagus juga kalau menjelekkan sahabat sendiri. Kan kata Sayyidina Ali juga seorang teman tidak bisa di anggap sebagai teman sampai di uji dalam tiga kesempatan. Yaitu saat di butuhkan, Sikapnya di belakangmu, dan setelah kematianmu”
“Ya ngga berharap di anggep temen sama dia juga sih” ucap Devan enteng.
Kuperhatikan mata Devan menerawang ke atas. Matanya terlihat berseri, di sertai seulas senyuman tipis yang terukir di bibirnya.
“Kakak mungkin belum dewasa Ta. Kakak juga belum bisa menjanjikan kamu masa depan seperti impian kamu. Tapi memikirkan seorang Devan Azzura Pratama akan menggendong darah dagingnya sendiri, berhasil membuat perasaan kakak jadi menghangat sekaligus senang yang sulit untuk di definisikan dengan kata-kata”.
Aku mengernyit bingung, kata-kata baku itu justru membuatku semakin sulit untuk mengerti apa yang di maksud oleh Devan dengan berbicara seperti itu.
Namun, aku juga bukan seorang gadis polos lagi sekarang. Aku cukup mengerti kemana arah pembicaraan itu, hanya saja aku kurang memahami kata-katanya.
Rasa penasaran yang sedari tadi menggelayut di hatiku mengenai benar atau tidaknya perkiraanku, mendorongku untuk berani bertanya secara langsung pada sang pelaku “Tata ngga ngerti. Apa sekarang kakak lagi ngajak Tata untuk program punya baby? Apa ngga kecepatan? Tata baru mau sembilan belas tahun loh”
Devan menatapku yang juga menatapnya “Kan udah jadi. Ngapain program lagi?”
Aku membelalakan mataku “Siapa bilang?”
“Kata Davin kamu hamil. Kakak bukan orang yang ngga bertanggung jawab Ta. Jujur aja ngga masalah kok, kakak ngga akan minta kamu untuk gugurin dia hanya karena kakak belum bisa mencintai kamu” ucap Devan seolah tengah menenangkanku.
“Gimana bisa hamil? Sekalipun anaknya samson, hulk, atau superhero lainnya juga ngga akan mungkin sehari langsung jadi. Pak Doni aja 10 tahun ngga jadi-jadi. Emang kakak sejenis makhluk apa bisa mengalahkan mereka semua? Kalaupun Tata hamilnya sekarang yah paling karena Kim Taehyung waktu itu”
Devan membelalakkan matanya “Apa?! Kapan kamu berzinah sama dia Ta?”
“Ih apaan sih. Orang Tata hamil onlen, cuma anaknya belum di download. Jadi kemungkinan ini anaknya Tehyung deh”
Devan mengusap kasar mukanya “Astagfirullah, gimana bisa begitu. Otak kmau ketinggalan di rahim mama Ta?”
“Ih beneran tahu! Kakak ngga tahu sih gimana hawt nya Taehyung saat di atas panggung. Bisa bikin rahim Tata anget tahu”
“Yaudah sebahagianya kamu aja. Jadi ngga hamil beneran yah? Yaudah kakak tidur duluan” ucap Devan sembari memiringkan tubuhnya membelakangiku. Dari suaranya dapat terdengar jelas jika Devan tengah berusaha menekan rasa kecewa.
°°°
Pagi ini adalah hari kesialan bagi aku dan juga Devan. Kami ketahuan tidur dalam satu tenda oleh dosen lainnya. Dan parahnya lagi, saat ini kami sedang berada di tengah lapangan hendak di sidang di depan seluruh MABA, dosen pelapor, dan juga para anggota BEM.
“Jadi apa penjelasan kamu Aulia?” tanya Inggrit dengan nada mengintimidasi. Dari gosip yang beredar, dosen yang sudah jomblo sejak lahir itu memang menyukai Devan dan sedang berusaha mendapatkannya. Kesialan ini terjadi juga karena dia yang begitu membesar-besarkan masalah ini, setelah dengan lancangnya membuka resleting tenda Devan dan melihat kami berdua.
“Saya yang akan menjawab itu kalau ibu juga menjawab alasan ibu sembarangan membuka resleting tenda saya” ucap Devan seolah menantang dosen muda itu.
Inggrit menjadi gugup “Ya..ya...saya kan wajar memeriksa keadaan mahasiswa saya, takut terjadi sesuatu. Eh yang saya temukan justru kalian di dalam selimut yang sama”
“Hah?” suara para MABA yang seperti anak burung yang berkicau bersamaan.
“Saya laki-laki bu, dan ibu adalah dosen perempuan. Seharusnya ibu menghargai privasi saya dong. Lagian kenapa ibu tidak lebih memperhatikan tenda para MABA? daripada sibuk mengkhawatirkan saya yang notabennya adalah seorang alumni ketua BEM”
Inggrit kewalahan sendiri setelah dirinya merasa terpojok karena ucapan Devan “Sudahlah, kita akhiri saja di sini. Dan kamu Aulia Renata yah, kamu ikut saya ke kantor untuk menerima hukuman karena sifat kamu. Ngga ada harga diri banget jadi cewek, berani masuk ke tenda panitia laki-laki. Niat menggoda?” cecar Inggrit.
Tanpa bisa kucegah, air mataku jatuh saat kata-kata menyakitkan itu meluncur dari bibir tipis dosen itu. Dan dengan seperangkat air mata dan langkah berat, aku pasrah saat Inggrit menarik lenganku bermaksud mengajakku ke kantor.
“Tunggu” interupsi Devan sembari menahan lenganku, yang otomatis menghentikan langkah Inggrit juga.
“Kalau kalian berfikir Tata wanita murahan karena ada di tenda saya, maka kalian salah. Saya yang meminta dia tidur di tenda saya”
Semua orang yang terdapat di lapangan itu serempak terkejut bukan main, termasuk Kenzo dan juga Luna.
“Tata masih sakit, dan dia hanya bisa tidur kalau berada di dekat saya”
Inggrit melepas genggaman tangannya dari lenganku.
“Oh ternyata adiknya” ucap Inggrit, mengeluarkan opini kemungkinan yang jelas saja tidak mungkin.
Tapi anehnya para MABA justru bernafas lega setelah mendengar opini Inggrit, sepertinya para MABA mempercayai ucapannya.
“Bukan. Dia istri saya” ucap Devan yang membuat semua terdiam, termasuk aku, Kenzo dan Luna.
“Jadi apa salah Tata yang tidur dengan saya? Apa hak kalian menganggap istri saya sebagai wanita murahan, hah?!” sentak Devan, dengan emosi yang meluap-luap.
“Devan sudah. Apa yang harus kamu katakan sudah kamu muntahkan semua. Sekarang lebih baik kalian pulang duluan, takut ada apa-apa sama kandungan istri kamu” ucap Doni yang justru menambah runyam semua permasalahan.
“Hah?!” semua orang terkejut secara serentak, seperti sekumpulan paduan suara. Yah, memang hanya itu saja tugas mereka—memperseru keadaan.
Dari kejauhan aku melihat wajah Kenzo yang menampilkan raut terkejut sekaligus kecewa. Rasa egoisku saat itu membuatku berharap Kenzo tidak melihat semuanya.
Devan menarikku dari lapangan, dia menuntunku menuju ke motornya yang terparkir di parkiran kampus. Entah di sengaja atau tidak, Devan membelah kerumunan dan berjalan ke tempat di mana Kenzo berdiri. Aku semakin tertunduk saat aku hendak berpapasan dengan Kenzo.
“Aulia” lirih Kenzo sembari menahan salah satu tangan yang terbebas dari genggaman Devan.
“Bilang sama gue kalau semua yang Devan omongin tadi itu bohong. Gue bisa kok membersihkan nama lo, bukannya mempermalukan lo kayak dia” sambungnya.
Aku yang merasa benar-benar malu dan hancur saat itu tidak bisa mengelak lagi “Tadi itu ada 2 fakta dan 1 hal yang masih belum pasti kak”
Tanpa memperdulikan percakapanku dan Kenzo yang belum berakhir, Devan melanjutkan langkahnya yang otomatis membuatku mengikutinya karena tautan tangan kami yang belum terlepas.
“Tapi gue suka sama lo!!”.
“Gue cinta sama lo!!”
“Gue mau milikin lo!!”
“Gue ngga sanggup kehilangan lo, yang bahkan belum bisa gue klaim sebagai cewek gue!!”
“Dia ngga mungkin suami lo kan? Gue yakin ada penjelasan yang bagus tentang ini, Aulia. Dia lebih sering bermesraan sama Luna, lo fikir gue percaya kalau dia suami lo?”
Aku menghentikan langkahku saat Kenzo berteriak dan mengungkapkan perasaannya padaku secara bertubi-tubi. Kali itu Kenzo terdengar tulus dan sedikit frustasi, tanpa ada gurauan seperti biasanya. Entah kenapa sekarang aku justru mulai merasakan keseriusan atas perasaannya terhadapku, padahal dulu dia hanya kuanggap sebagai angin lalu.
Karena rasa bersalah, aku memutuskan untuk mendekat ke arah Kenzo, agar apa yang akan aku ucapkan tidak bisa di dengar oleh orang lain “Maaf kak, tapi saya ngga pantes untuk kakak. Saya jahat kak. Saya mempunyai suami juga pacar yang belum saya putusin. Jadi lebih baik kakak cari cewek yang lain.
Note : Maaf yah klo lama, soalnya lagi sibuk ngurusin kuliah ehe :v di sini sepi juga sih jadi kadang suka mikir yaudahlah ngga ada yg nunggu up juga :v kadang suka insekyur aku tuh haha.
Btw klo ada apa" boleh DM aja yak, soalnya notif Tinlit jarang masuk.
Ig : @cicy.sartorius
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain