"Kampus lo enak yah Ta. Sayang banget gue ngga dapet sekelompok sama lo saat acara KPK, jadinya gue di kampus gue sendiri deh karena di sini penuh" ucap Davin sembari menatapku yang berjalan beriringan dengannya.
Aku tertawa ketika mengingat kembali kejadian saat Davin memohon kepada mami agar di pindahkan dari kampus C ke kampus A supaya dia bisa menjagaku. Namun di detik berikutnya aku terdiam, setelah mengingat ucapan Devan yang membatalkan rencananya untuk memulai hubungan kami dari awal. Dengan alasan karena sudah ada Davin yang menjagaku, jadi untuk apa dia khawatir padaku.
Boleh aku memaki kekejaman hati suamiku itu?
"Ta!"
Aku terkejut saat sebuah tangan melambai di depan wajahku.
"Eh, maaf"
Davin menghentikan langkahnya, dia menyentuh keningku guna memeriksa suhu tubuhku "Lo kenapa? Masih sakit?"
Aku tersenyum sembari menyingkirkan tangan Davin dari keningku secepat kilat, karena banyak MABA memperhatikan kami yang tengah berjalan di lapangan kampus ini.
"Saya cuma ngga habis fikir aja sama kamu. Kok bisa kamu pindah dari jurusan kedokteran ke jurusan ekonomi bisnis?" Alibiku.
Davin melanjutkan langkahnya memimpinku "Kan lo udah tahu alasan dasar gue pindah kesini" ucapnya tanpa menoleh ke arahku yang berada di belakangnya.
"Kalau alasannya karena saya sih ngga-"
Bruk!!
"Awhsss"
"Davin!! kalau berhenti itu kasih lampu sen dong!" gerutuku sembari memukul punggung Davin.
Aku berjalan hendak mensejajarkan diri dengan Davin, karena tak ingin menabrak punggungnya lagi. Namun, tangan Davin justru menghalangi jalanku seolah memaksaku untuk tetap berada di belakang tubuhnya.
"Tetep di belakang gue" ucap Davin yang membuatku terkejut bukan main, pasalnya baru kali itu Davin menunjukkan suara yang lumayan berat.
Karena rasa penasaranku yang meronta-ronta hendak di puaskan, aku memutuskan untuk melangkah maju dan menghalangi jalan Davin dengan cara berdiri di depannya. Dengan posisi yang menghadap tepat kearahnya.
"Kenapa sih Vin?" Ucapku sembari menatapnya, tanpa memperhatikan apa yang ada di sekitarku.
Davin mengalihkan pandangannya kearahku yang sedikit lebih pendek darinya. Dia menatapku dengan tatapan penuh amarah.
"Udah gue bilang tetep di belakang gue. Ngga nurut banget sih, lo mau terluka lagi?" Bentak Davin, yang membuatku otomatis memundurkan langkah perlahan.
Bruk!!
Apa ini? Apakah aku menabrak seseorang lagi? Jika iya, maka sungguh sial sekali aku hari ini.
Aku masih membeku di tempat bersandarku, dimana lagi kalau bukan di tubuh bagian depan orang yang baru saja aku tabrak tadi. Bukan rasa nyaman yang membuatku enggan untuk menyingkir, melainkan aroma maskulin yang bercampur dengan aroma tubuh orang itulah yang menjadi alasan utama aku tak cepat-cepat bergerak dan meminta maaf. Aku kenal dengan baik aroma itu.
"Mau berapa lama kamu bersandar di tubuh saya?" aura dingin yang terpancar dari setiap kata yang di lontarkan laki-laki yang kutabrak itu membuatku yakin bahwa aku tidak salah orang.
Davin menarik tanganku dan membawaku ke sisinya, karena nyatanya tubuhku tak bergerak satu sentipun untuk menjauh dari tubuh Devan. Ya, orang itu adalah Devan.
"Jalan lain kan banyak, harus banget ngalangin orang lewat" sindir Davin.
Aku tak berani menatap kearah Devan, aku hanya berani melihat ke bawah karena tak mampu melihat pemandangan yang mungkin saja akan menyakitiku.
Dua pasang sepatu couple itu sudah menunjukkan bahwa kedua sumber rasa sakitku tengah berada di garis yang sama saat ini. Aku tidak ingin terluka, tapi dengan nakalnya mataku masih saja beranjak naik sampai batas pinggang mereka. Alhasil tautan tangan itu sudah berhasil membuatku akhirnya menatap Devan dengan seluruh pedihku, sedangkan yang di tatap justru mengalihkan pandangannya pada gadis di sampingnya. Aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini, jadi aku memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka tanpa sebuah argumen.
"Gue yakin lo bakal nyesel sendiri saat lo udah sadar perasaan lo ke istri lo, tapi sayangnya dia udah pindah ke lain hati" setidaknya kalimat itulah yang kudengar terlontar dari mulut Davin, sementara sisanya aku tidak mendengarnya lagi karena aku sudah berlari menuju ke kelasku.
****
Kondisi kesehatanku belum pulih seutuhnya, dan perasaanku juga sedang tidak baik karena Devan dengan seperangkat kedinginan serta kekejamannya. Tapi takdir dan semesta justru menambah daftar panjang kesialanku hari ini.
Aku sedang tidak ingin bertatap muka dengan Davin ataupun Devan, tapi sekarang justru aku sekelompok dengan Davin. Dan lebih parahnya lagi adalah, Kenzo menjadi mentor kelompokku. Sedangkan Devan dan Luna menjadi mentor kelompok lain. Syukurlah mereka berdua di takdirkan terpisah.
"Alhamdulillah yah kita sekelompok" ucap Eca yang kubalas dengan senyuman.
"Hey jangan senyum, nanti kakak kena diabetes loh"
Aku mengerutkan dahiku, menunjukkan ekspresi tidak sukaku.
"Tuh kan, kalau marah jadi gemesin"
Aku menatap wajahnya sembari mengatur nafasku secara perlahan, berusaha untuk tidak terbawa emosi pada kating konyol satu ini. Aku heran, apa dia sama sekali tidak merasa bersalah atau sekedar merasa malu setelah mencium pipiku di taman komplek kami kala itu?
"Jangan di liatin terus ah, nanti jatuh cinta" ucapnya yang membuatku memutar mata malasku, sebab sekarang aku jadi pusat perhatian anggota kelompokku yang tengah duduk melingkar.
Davin yang duduk di sampingku menepuk pundakku sembari mendekatkan mulutnya ke telingaku "Ta ngga boleh gitu, dia itu senior plus mentor kita dari acara ospek fakultas sampai makrab nanti. Lebih baik jangan cari masalah" bisik Davin.
"Eh ini lagi banyak orang loh, ngga boleh membisikan kata cinta pada gebetan ketua BEM" Kenzo Kalandra itu memang sudah di luarbatas jika menyangkut tentang kegilaan.
Aku yang sudah tidak bisa menahan emosiku pun tanpa sadar berdiri, yang membuat semua MABA termasuk para mentor lain menatap kearahku. Tidak lama kemudian Kenzo dan Davin ikut berdiri. Mungkin motif Davin adalah untuk menolongku dari rasa malu, tapi aku tidak tahu pasti apa motif Kenzo.
"Kamu mau mengungkapkan perasaan ke kakak?" Tanya Kenzo dengan seperangkat rasa percaya diri yang membuat semuanya terkejut, termasuk diriku.
Aku menoleh ke sekelilingku, guna memahami situasi yang mulai mencekam saat ini.
Sialnya, manik mataku justru menemukan si batu Devan yang tengah menatapku dengan tatapan jijiknya, mungkin. Aku mengalihkan pandanganku berharap seseorang memberiku ide untuk dapat keluar dari situasi ini.
Setelah cukup lama dan masih tak kutemukan juga apa yang kuharapkan, akhirnya mataku kembali pada manik mata saphire yang Kenzo miliki. Di sana akhirnya aku menemukan jawabannya.
"Ah enggak, saya mau ijin ke toilet" ucapku sembari tersenyum malu.
Setelah mendengar hal itu, semua MABA kembali fokus pada kegiatan kelompoknya masing-masing.
"Terus lo, eh kamu berdiri mau apa? Mau mengantar Aulia?" Tanya Kenzo sembari menunjuk Davin, dan tidak lupa menaikan salah satu alisnya pada akhir pertanyaan absurdnya.
Davin duduk dengan secepat kilat setelah menerima bom dari Kenzo, wajahnya juga cukup memerah. Entah apa yang ada di fikirannya saat itu.
Aku mengabaikan hal itu, dan memilih melanjutkan rencana tiba-tibaku untuk ke toilet. Namun saat aku melewati Kenzo, dia menahan lenganku yang membuatku berhenti seketika.
"Jangan menatap gue, tatap kearah depan aja kalau lo ngga mau mereka semua tahu kalau tangan lo lagi gue genggam" bisik Kenzo.
Aku menuruti apa yang Kenzo ucapkan, bahkan aku tak berani melangkah satu senti pun karena takut jika tubuh kami tidak sejajar, maka orang-orang akan mengira bahwa aku memang memiliki hubungan dengan ketua BEM mereka.
"Kenapa setelah menatap mata gue, jawaban yang lo temuin itu toilet?"
Ini mengejutkan karena Kenzo menyadari bahwa aku menemukan jawaban dari matanya.
Aku tersenyum kikuk, yang kuyakin Kenzo tak bisa melihatnya karena posisi tubuh kami yang sejajar namun saling berlawanan arah.
"Mata kakak kayak air WC sih. Permisi" ucapku yang setelah itu melarikan diri, karena genggaman tangan Kenzo yang mulai melemah.
Dia mungkin cukup terkejut, atau sangat terkejut dengan jawabanku. Karena jangankan dia, aku saja sangat sangat terkejut dengan jawaban yang dengan lancarnya terlontar dari mulutku.
Tbc Vote atau apalah yang menunjukkan eksistensi kalian :) gomawo!!!
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain