Setiap orang memiliki sisi istimewanya masing-masing, hanya saja kau memilih untuk menutup mata dan telingamu jika itu menyangkut tentangku.
~
“Davin” ucapku melemah, entah mengapa aku merasakan rasa kecewa yang teramat sangat.
“Iya ini gue. Kenapa? Lo kecewa?”
Tidak di ragukan lagi, dia memang satu paket dengan Devan, sama-sama tidak bisa menjaga perasaan orang dan berlidah tajam.
Fakta ini tentu saja cukup mengejutkan, bagaimana bisa selama hampir 3 tahun lamanya aku tidak mengetahui jika Davin adalah adik dari selebgram favoritku yang sekarang menjelma menjadi suamiku.
Dulu, yang aku tahu hanya Davin adalah teman seangkatanku dari jurusan kimia industri yang tampan dan sulit untuk di jangkau. Jadi aku tidak begitu memperhatikannya, karena aku cukup tahu diri tentang sekelas apa diriku ini.
Aku menghela nafas pelan “Saya kira kamu Kenzo”
Bohong! Jelas saja bukan dia yang kuharapkan.
Davin bergidik ngeri “Idih, gue kira lo berharap gue itu Devan tadi”
Mataku gusar, tak mampu menatap lawan bicara. Kejujuran yang tidak dapat mulutku sampaikan, baru saja mengalir dari bibir laki-laki yang berada di hadapanku ini.
“Ngapain juga” ucapku acuh, mencoba membuang rasa kecewa yang terus menekanku untuk terluka.
Raut penasaran di wajah Davin membuatku melanjutkan langkahku menyusuri jalan dengan seperangkat kebaya berdebu. Karena aku tak ingin berbincang lebih lama dengannya.
Davin tidak kehabisan akal dalam memenuhi rasa haus akan informasi yang dia miliki. Tanpa menunggu persetujuan dariku, Davin mensejajarkan langkahnya denganku dan mulai mengikuti langkahku.
“Lo itu udah punya suami masih aja cari gebetan, ngga mau mencoba buat belajar mencintai kakak gue gitu?”
Aku menghentikan langkahku dan menatap Davin dengan serius, yang membuat dia kikuk dan salah tingkah sendiri.
“Saya udah suka sama Devan” ucapku yang membuat Davin sangat terkejut.
Ekspresi itu, raut wajah yang sudah ku prediksi akan terjadi sebelumnya membuat percakapan ini tidak menarik, jadi aku memilih untuk melanjutkan langkahku menyusuri rerumputan yang meninggi dan mulai memasuki daerah semak belukar. Namun, genggaman tangan Davin membuat langkahku terhenti. Davin menarikku keluar dari semak belukar itu, sebelum aku melangkah lebih jauh.
Dengan nafas yang memburu dia memandangku tidak habis fikir, raut kekhawatiran juga tercetak jelas di wajah tampan tanpa rahang tegas itu “Lo gila yah Ta!” sentak Davin.
Aku menatapnya tajam “Iya saya gila, gila karena jatuh cinta sama kakak kamu!” teriakku, tak mau kalah.
Air mataku menetes tepat setelah mengucapkan kata terakhir itu. Dan dengan lancang Davin menangkup wajahku dan memaksaku untuk menatapnya. Aku kira dia akan menghapus air mataku, namun yang kutemui hanyalah gerakan kecil yang menunjukan keantusiasannya akan suatu hal.
“Itu bagus Ta, lo cuma perlu kasih tahu ke Devan” ucap Davin menggebu-gebu.
Aku menghempaskan tangan Davin yang bertengger di pipiku, kutatap dia dengan tatapan senduku “Saya udah berkali-kali kasih tahu dia. Tapi apa!? Devan justru menyakiti saya dan memperjelas tentang siapa saya dan bagaimana posisi Luna di hatinya”
“Gue yakin itu bukan maksud Devan Ta” ucap Davin melemah. Dari ekspresi yang dia tunjukan, aku dapat memastikan bahwa ada sedikit keraguan yang terselip dalam setiap ucapannya.
Aku tersenyum sinis melihat reaksi yang Davin tunjukan. Tapi aku tidak memperdulikan itu, karena kedua kakiku masih memaksa untuk melanjutkan langkahku memasuki semak belukar itu.
Tapi lagi-lagi Davin menahan lenganku.
“Mau ngapain lagi? Itu semak belukar Ta. Lo bisa kesakitan kalau lewat situ”
Tanpa perlu menoleh aku menghempaskan tangan Davin dan mulai menjawabnya dengan lantang “Saya udah mengalami sakit yang lebih parah dari ini Vin. Dan cara terbaik supaya saya ngga merasa sakit itu cuma dengan menukar rasa sakit hati saya dengan rasa sakit fisik saya...Saya yakin rasa sakit ini pasti melebur dan terasa hambar, kalau di bandingkan dengan rasa sakit yang kakak kamu ciptakan setiap harinya. Kamu..." aku menjeda ucapanku sejenak untuk menstabilkan emosiku yang meluap-luap.
"Kamu pasti ngga tahu rasanya di kecewakan berulangkali sama orang yang kita suka dan kita percaya” ucapku lirih.
Davin terdiam, yang membuatku malas untuk tetap tinggal.
Aku melanjutkan langkahku, mencoba mengurai rasa sakit dengan sakit yang lainnya. Namun, lagi dan lagi Davin menahan lenganku. Aku sudah muak dengan dia yang terus menerus menghentikanku, jadi aku putuskan untuk menoleh kearahnya “Kenapa? Kamu mau berhentiin saya lagi?”
Davin tersenyum cukup manis “Ngga kok. Gue mau ikut sama lo, biar gue yang nemenin lo melewati rasa sakit itu, hitung-hitung menjalankan tugas yang kakak gue ngga bisa jalanin. Dengan kata lain gue gantiin posisi kakak gue saat ini”
Ucapan Davin membuat raut wajahku berubah menjadi masam “Balik lagi aja kalau gitu!”
Davin terkekeh “Bercanda, gue disini sebagai sahabat yang akan menemani lo melewati hari-hari sakit itu. Tapi gue mohon sama lo jangan pernah sakitin diri lo lagi setelah ini. Dan mulai sekarang gue adalah sandaran bahu lo, ok?”
Aku tersenyum melihat tingkah Davin "Ok, tapi sebagai sahabat ajak saya jalan-jalan dong"
Davin mengernyit bingung "Lah kok? Ngga jadi ke semak-semak?" Ucap Davin dengan wajah polosnya, yang membuatku menghadiahinya sebuah jitakan manis pada kepalanya.
"Jangan kenceng-kenceng Davin! kalau di denger orang kan ambigu. Lagian saya ngga beneran mau ke semak-semak kok, saya masih waras"
Davin menganggukan kepalanya pertanda mengerti, namun di detik berikutnya dia menggelengkan kepalanya berusaha menolak pengertian itu "Terus maksud lo ke situ ngapain? Sampe bikin tangan gue lecet gini"
Aku terkekeh "Ngga ngapa-ngapain, cuma mau pamer dan biar feelnya dapet aja" ucapku yang membuat Davin menghembuskan nafas kasar.
****
Aku melihat layar ponselku yang menampilkan waktu indonesia bagian barat. Ah, aku terlalu asik berkeliling bersama Davin sampai aku lupa waktu.
"Vin pulang yuk, udah malem" ajakku.
Davin mengangguk mengiyakan "Lo asik, gue sampe lupa waktu. Lain kali kita main lagi yah"
Aku terkekeh "iya"
Dia tersenyum sejenak, lalu mengajakku ke parkiran untuk mengambil mobilnya agar kami bisa pulang ke rumah.
Sesampainya kami di rumah mewah itu, kami di sambut oleh aura dingin serta suasana mencekam di sekeliling rumah. Sama seperti sensasi fana yang biasanya makhluk halus ciptakan untuk menakuti seseorang.
"Darimana aja?"
Tuh kan! Salah satu penunggu rumahnya baru saja buka suara.
Davin yang menyadari perubahan tubuhku yang mulai menegang, menarik lengan bajuku dan menggiringku menuju ke suatu tempat. Aku yang bingung pun hanya bisa mengikuti langkah Davin yang terkesan menyeretku.
"Dia istri gue, apa hak lo bawa dia ke kamar lo?" interupsi Devan membuat aku dan Davin menghentikan langkah kami tepat di depan pintu kamar Davin.
"Oh iya, ini kamar kamu yah Vin" ucapku, yang membuat Davin melirik tajam ke arahku.
Aku menunduk ke bawah karena tatapan itu, tapi beberapa detik kemudian aku mendongak lagi ketika suara tawa Davin berkumandang. Bukan tawa yang di sebabkan oleh suatu lelucon, tapi tawa yang meremehkan lawannya.
"Kenapa!? Lo ngga terima?" Tanya Davin yang kuyakini telah berhasil menyulut emosi Devan.
"Ini bukan masalah terima apa ngga nya. Ini cuma tentang tatakrama yang lo langgar kok" elak Devan.
Davin menyunggingkan bibirnya "Gue mau nemenin kakak ipar yang udah lo sia-siain apa itu salah?"
Ucapan Davin bukan hanya sukses membungkam Devan, tapi juga berhasil membuatku mengingat tentang rasa itu.
"Sekarang lo pergi aja ke kamar lo, gue ada urusan sama istri gue" ucap Devan melemah. Tak ada sorot mata tajam lagi di matanya, yang tersisa hanyalah kilatan rasa bersalah.
Davin melepaskan tangannya dari lengan bajuku, dan membiarkan Devan menuntunku ke kamar kami.
Canggung dan begitu hening, begitulah suasana yang Devan ciptakan di tengah-tengah kami. Sepanjang anak tangga yang kami tapaki, Devan hanya menunduk sembari menggenggam pergelangan tanganku dengan erat.
"Emang saya udah nyakitin kamu separah itu yah?" Tanya Devan sembari menutup pintu kamar kami, lalu menguncinya.
Aku yang tadinya hendak berjalan ke lemari pakaian Devan pun menghentikan langkahku dan menatap Devan yang tengah bersandar di pintu kamar kami dengan raut wajah frustasi.
"Menurut kamu?"
Devan melirik kearahku "Saya ngga tahu, makanya saya nanya ke kamu"
Aku menghampirinya, lalu menarik lengannya agar berjalan ke ranjang kami. Devan tidak menolak, dia patuh saat kuisyaratkan untuk duduk.
"Kalau Tata boleh jujur, rasa sakit itu hadir karena perasaan suka serta harapan Tata ke kakak. Jadi saat kakak jauh dari apa yang Tata harapkan, semuanya terasa sakit buat Tata karena perasaan itu yang menekan Tata. Tapi..." aku menjeda ucapanku sejenak, dan mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menyampaikan hal yang bahkan aku sendiri meragukannya.
Aku tersenyum manis saat Devan menatapku seolah tengah menanti lanjutan dari ucapanku "Kakak ngga perlu merasa terbebani. Seperti yang kakak bilang tentang hati Tata yang kosong jadi Tata bisa dengan mudah suka ke kakak, mungkin cepat atau lambat Tata akan jatuh cinta ke orang lain nantinya. Dan setelah itu terjadi Tata ngga akan merasa tersakiti lagi"
"Apa kamu yakin?"
Pertanyaan yang cukup sulit, jadi aku hanya menjawabnya dengan mengangguk perlahan, aku takut lidahku tiba-tiba kelu.
"Nanti Tata akan anggep kak Devan bukan siapa-siapa dan Tata juga ngga perlu banyak berinteraksi sama kakak"
"Kapan mau di mulai?"
Krackkk...Rasanya hatiku retak setelah mendengarnya, padahal aku yang memulainya.
"Besok. Oh iya, sebelum kita menjadi dua orang asing besok, Tata boleh nanya ngga?"
Devan mengangguk.
"Emang kakak umurnya 23? Tua banget, masa baru lulus S1 sih. Tata aja umur 17 udah lulus SMK"
Devan menggelengkan kepalanya "Umur saya baru mau 21 tahun kok"
Aku mengernyit bingung "loh, bukannya kakak bilang ke Dika kalau umur kakak 23 yah? Salah sebut atau gimana?"
Devan terkekeh "itu sengaja kok. Abisnya si titisan tuyul itu bilang kalau pacar kamu itu om om, jadi ya sekalian aja bilang begitu biar pada takjub dan pada ngga nyangka karena muka saya ngga setua itu"
Aku menatapnya dengan tatapan jengah "Yang ada juga semua pada mikirnya Tata pacaran sama mahasiswa abadi"
Devan terlihat memikirkan ucapanku "Eh, iya yah"
"Cakep-cakep dodol" ucapku sebelum melesak masuk ke dalam kamar mandi.
Tok...tok...tok
"Ta, kamu udah siapin keperluan untuk ospek minggu depan belum?" Tanya Devan dari balik pintu kamar mandi.
Aku yang terkejut langsung memakai bathrobe ku secepat kilat.
"Harus banget ngebahasnya sekarang yah?"
"Saya cuma mau mastiin. Kalau belum, besok kita ke luar buat beli semuanya. Sekalian lihat kondisi rumah baru kita"
Aishh kenapa Devan masih saja setia di balik pintu itu sih.
"Ngga perlu kak, tadi udah beli sama Davin di MOS"
"Ospek Ta, bukan MOS lagi" ralat Devan.
Aku terkekeh "Maksud Tata tadi udah beli sama Davin di Mall Of Serang, sempet main time zone sama keliling juga sih tadi. Jadi maaf karena pulang jam sepuluh lewat" jelasku yang tak bersambut apapun.
"Eh, kok sepi. Devan kemana?" Gumamku, saat keluar dari kamar mandi namun tak menemukan tanda-tanda kehidupan di kamar kami.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain