Note : Mohon maaf atas kesalahan nama di chapter sebelumnya, yang bener itu Kenzo Kalandra yah, bukan Kevin Kalandra
*
*
*
Eksistensinya yang nyata, menyeruak sampai ke dalam hati dan membuatku meneteskan air mata.
~
Setelah menemui rasa kecewa yang sudah lama menjadi pengikut setiaku, aku kembali dan duduk di kursi yang telah di sediakan sekolah untukku dan keluargaku. Namun, kedinginan kursi yang seharusnya di duduki oleh keluargaku justru membuat fikiranku melayang ke satu arah. Kenzo, imajinasi nakalku mengenai dia mulai memenuhi otakku, membayangkan betapa sempurnanya jika Kenzo menjadi kekasihku kelak.
Jujur saja, ketampanan visual Kenzo Kalandra beserta kelembutan sifat serta suaranya telah membuatku merasakan fenomena jatuh cinta pada pandangan pertama. Seandainya saja dia tidak mengatakan fakta yang menyakitkan tadi, pertemuan kami saat itu pasti akan menjadi pertemuan yang sempurna.
“Tapi kejujuran dia, bukankah dapat menjadi nilai tambah untuk Kenzo dalam ekspektasi saya?” gumamku.
“Ekspektasi apa Ta?” sahut seorang wanita paruh baya, yang berhasil membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh dan terkejut di detik berikutnya “Loh, mami ngga kerja? Mama juga ngapain di sini? Ayah sama papi juga ngapain dateng?” tanyaku beruntun karena terkejut orangtua dan mertuaku hadir secara tiba-tiba.
Papi mendengus kesal, berlagak seolah tengah merajuk “Huh! kamu ini gimana sih, harusnya seneng dong di datengin sama ke empat orangtua”
Haha, terdengar cukup aneh memang.
Aku tersenyum kikuk “Bukan gitu pih, tapi kursi yang di sediain untuk masing-masing murid cuma tiga” ucapku apa adanya.
“Papi sama ayah bawa kursi lipat sendiri nih” ucap papi sembari merangkai kursi lipat yang dia bicarakan tadi, dan menaruhnya di dekatku.
Aku terperanga tak percaya dengan pemikiran mereka, aku malu sekaligus takut ke empat orangtuaku akan menjadi perbincangan orang-orang nanti.
“Ta, di panggil ke atas panggung tuh. Terima beasiswa Untirta katanya” ucap Eca, membuatku terbebas dari perasaan tidak enak yang sempat mengurungku tadi.
Aku mengangguk dan berjalan menuju ke atas panggung bersama para siswa dan siswi kelas lain yang menerima beasiswa prestasi juga.
Di panggung, kami melakukan berbagai sesi formalitas berupa pengalungan mendali, penyerahan piagam serta keterangan beasiswa. Dan setelah semua gimik itu selesai, kepala sekolah menitahkan para penerima beasiswa untuk mengatakan sepatah dua patah kata di depan seluruh tamu undangan.
“Silahkan kalian ingin mengatakan apa saja, hari ini saya bebaskan dan tidak perlu untuk menggunakan kata-kata formal. Kalian bahkan bisa menyampaikan perasaan kalian kepada seseorang di panggung ini, the place is yours” ucap kepala sekolah dengan jenaka.
Saat itu yang pertamakali maju adalah teman satu organisasiku yang berbeda jurusan. Namanya Dika, jurusan Kimia Industri yang biasanya selalu mengantarku pulang. Namun, setelah aku berpacaran dengan Ricko, aku memutuskan untuk menjauhinya. Meskipun aku hanya menganggapnya sebagai sahabat satu organisasiku, tapi dia di lihat sebagai laki-laki oleh Ricko.
Dika memulai dengan memejamkan matanya sejenak
“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh” ucapnya sembari melihat ke seluruh penjuru arah, guna memberi kode agar di jawab oleh para wali murid yang hadir di acara itu.
“Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh” jawab seluruh wali murid beserta siswa dan siswi angkatan kami.
“Pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Allah swt. Juga kepada ibu dan bapak saya yang membuat saya ada di tempat ini. Dan satu lagi kepada...” ucapnya menggantung.
Dika menoleh ke belakang, matanya meneliti satu persatu para penerima beasiswa seolah sedang mencari seseorang. Namun, setelah matanya bertemu dengan mataku, dia berhenti dan tidak melanjutkan acara menelitinya.
“Aulia Renata, atau yang akrab di panggil Tata. Terimakasih karena udah jadi motivasi dan semangat terbesar saya. Terimakasih karena membiarkan saya merasakan rasanya berharap pada seseorang, dan mencintai seseorang sampai sebesar ini. Terimakasih, karena kamu sudah menjadi alasan saya untuk bertindak maju supaya sejajar dengan kamu” ucap Dika yang membuatku seperti kehilangan oksigen.
Aku melihat ke arah sahabatku dan teman sekelasku yang menunjukan ekspresi sama terkejutnya denganku. Mataku terus berpendar untuk menemukan si pemilik sorot mata tajam dengan pupil berwarna cokelat terang. Entah mengapa aku lebih memilih mencari Devan daripada mencari Ricko dalam situasi saat ini. Namun sepertinya rasa kecewa harus mendominasi emosiku lagi, karena sejauh mataku memandang, aku tidak dapat menemukan Devan dimanapun.
“Ta, saya suka sama kamu dari awal kamu mulai dengerin keluh kesah saya. Kamu mau ngga nerima saya jadi pacar kamu? Ngga masalah kalau di tolak, tapi saya mohon ungkapin perasaan kamu ke saya disini. Karena semua orang yang hadir disini tahu kalau saya nembak kamu, jadi saya juga pengen semua orang tahu apakah kelak kita ada hubungan atau ngga...”
Kata-kata yang Dika ungkapkan seolah memekakkan telingaku, membuatku tak bisa mendengarkan apa yang dia ucapkan setelah kalimat itu.
Saat Dika menyelesaikan ucapannya, kini giliranku. Aku dapat melihat keantusiasan di mata semua orang yang hadir di acara perpisahan angkatan kami.
Aku menelan salivaku dengan susah payah, tanganku gemetar untuk sekedar memegang sebuah microphone.
“Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” salamku.
Setelah di jawab, aku melanjutkan ucapanku setelah menarik nafas cukup lama.
“Pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat serta karunia yang telah diberikan kepada saya, sehingga saya dapat berada disini saat ini dalam keadaan sehat wal'afiat. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada mama, ayah, mami dan papi yang telah mendukung dan mendo'akan saya. Terimakasih kepada para guru yang telah membimbing saya, dan juga terimakasih kepada seluruh sahabat serta teman-teman saya semuany-”
“Jawab dong Ta” potong Dika yang membuatku panik sendiri, sepertinya Dika tahu jika aku hendak mengakhiri pidato itu cukup sampai di kata itu.
Aku mencoba merangkai kata yang tidak menyakitkan tapi dapat di tangkap apa yang di maksud hatiku. Namun setelah beberapa menit berfikir ternyata aku tidak bisa menemukan kalimat mustahil itu, jadi aku hanya bisa pasrah dan menoleh ke arah Dika sebentar, sebelum kembali menatap para tamu yang hadir di acara itu.
“Mohon maaf, tapi ini masalah pribadi. Jadi lebih baik di bicarakan antara kedua belah pihak” ucapku akhirnya, yang membuat para tamu mendesah kecewa.
“Kalau kamu ngga jawab di sini, saya anggap kamu setuju Ta” desak Dika.
Mataku melirik kesana kemari, fikiranku kacau entah kemana. Aku tak menyukainya, tapi aku juga tidak mungkin menolaknya mentah-mentah di hadapan semua orang. Aku tak sekejam itu untuk mempermalukannya.
“Tapi saya udah punya pacar Dik” ucapku akhirnya. Tak ada jalan lain, Dika lah yang memilih untuk menerima rasa sakit di depan semua orang.
Dika tertawa hambar “Siapa?”
Aku mengetik pesan kepada Eca dan menanyakan keberadaan Ricko, namun jawaban dari Eca justru membuatku tak bisa berkutik dan hanya bisa membatu di sana. Bagaimana bisa Ricko meninggalkanku ke luar negeri tanpa berpamitan denganku, dia anggap apa aku ini? dan kenapa hari ini menjadi hari terburuk yang pernah ada bagiku? Bagaimana bisa semua hal buruk terjadi dalam satu waktu. Semua fikiran itu cukup membuatku frustasi.
Tunggu, aku masih ada alasan lainnya, dan aku yakin Dewa tidak akan masalah jika kupinjam namanya sebentar. Terserah orang mau bilang apa, karena telah memilih Dewa yang dekil dan bodoh daripada Dika yang murid teladan dan pintar.
“De-” ucapanku terhenti saat
mataku melihat ke tengah kerumunan tamu undangan yang mulai berdiri, aku melihat Devan berjalan dengan gagahnya membelah lautan manusia yang mulai merekam pengakuan Dika dan yang tengah menanti jawaban dariku. Devan memakai jas berwarna biru dongker sembari membawa sebouquet bunga di tangannya. Di moment itu Devan begitu tampan dan terlihat berwibawa, yang membuatku jatuh lebih dalam karena pesonanya.
Devan menghentikan langkahnya tepat di depanku, dan memilih untuk tidak naik ke atas panggung. Sementara semua mata tertuju pada Devan dan pesonanya yang membuat mereka terkagum dan begitu memuja pada ciptaan tuhan satu itu.
“Van” ucap Devan seolah berusaha melengkapi kata-kata yang sempat terjeda olehku karena kehadirannya.
Saat itu pun aku tak bisa melakukan apapun selain meneteskan air mataku, pertahananku runtuh, semua perasaan yang kupunya di hari itu menjelma menjadi air mata. Akhirnya tiba juga saat dimana Devan menjadi penyelamatku.
Devan itu tampan dalam skala Indonesia, dia seksi dalam skala Amerika, dan dia tsundere dalam skala Korea. Dia memiliki mata cokelat terang dengan bulu mata panjang yang mengarah ke bawah, sehingga memberikan kesan mata teduh jika dia tidak menatap dengan tatapan tajamnya. Alisnya tebal dan memiliki bentuk yang teratur. Hidungnya sempurna, mancung dan cukup ramping. Bibirnya tipis dan kemerahan, dengan bagian atas berbentuk seperti lengkungan pada bentuk love. Rambutnya fluffy dan berwarna seperti pupil matanya. Tubuhnya sangat proporsional, tapi wajahnya terlihat baby face. Giginya mungil dan rapih, sehingga membuat dia terlihat sangat manis saat tersenyum sembari menunjukkan deretan gigi putihnya, sayangnya itu adalah moment terlangka dalam sejarah hidup Devan. Ya, dia memang sesempurna itu, jika sifat tidak di jadikan salah satu kategori penilaian.
“Tampan dan terlihat mapan, kamu pacaran sama om om Ta?” tanya Dika. Mungkinkah itu yang ada di fikiran semua orang?
Devan tertawa dan menunjukan sederet gigi putihnya, akhirnya keajaiban dunia bertambah satu lagi, dimana moment terlangka itu baru saja terjadi di detik ini. Namun saat itu sangat terlihat dengan jelas di mataku jika Devan tengah mengeluarkan seluruh pesonanya dengan maksud tertentu.
“Saya Devan Azzura Pratama, usia saya 23 tahun. Dan saya masih terlalu muda untuk di panggil sebagai om om” ucap Devan yang di akhiri dengan sebuah senyuman manis.
Aku memilih untuk turun dari panggung dan menghampiri Devan. Aku menarik tangan Devan menjauhi panggung itu, karena tidak ingin masalah jadi semakin panjang karena sifat kompetitif yang di miliki Devan dan juga Dika.
“Jadi bener Ta?” tanya Dika,memastikan.
Aku tidak perduli pada pertanyaan Dika, dan memilih untuk melanjutkan langkahku. Namun Devan menghentikan langkahnya yang membuatku tak bisa menariknya walau hanya satu langkah.
Aku berbalik ke belakang dan mengikis jarak yang tercipta antara aku dan Devan karena acara tarik-menarik tadi. Devan menatapku dengan lembut, kedua tangannya ia gunakan untuk menangkup wajahku.
“Jelasin sekarang Ta, jangan buat dia berharap tanpa kepastian, karena itu ngga enak” ucap Devan dengan lembut namun dapat terdengar oleh banyak orang, yang membuat mereka bertambah kagum pada sosok seorang Devan Azzura Pratama.
Aku memutar mata malasku, aku cukup muak dengan akting Devan yang berusaha memperoleh perhatian dari semua orang.
“Kakak ngga mau ada yang memperhatikan wanita kakak, selain kakak” sambung Devan.
Kali ini akulah yang terpesona lagi dan lagi kepada Devan, kata-katanya barusan sukses membuat jantungku berhenti berdetak dan seketika aku lupa caranya bernafas.
Devan memelukku “Nafas Ta” bisiknya.
Tanpa bisa kucegah, wajahku memerah karena perlakuan Devan sekaligus karena menahan rasa malu karena sudah menjadi tontonan dan bahan sorakan bagi tamu undangan yang mengatakan betapa romantisnya hubungan kami.
Devan melepaskan pelukannya secara tiba-tiba, dia mendorongku seolah terkejut dan baru menyadari sesuatu, untung saja aku tidak terjatuh dan hanya menjadi berjarak dari Devan.
“Cepat jelaskan! saya lelah, mau pulang” ucap Devan dengan pelan namun begitu dingin, tatapannya pun berubah menjadi sorot mata tajam yang seperti biasanya.
Aku yang masih belum mengerti situasi antara aku dan Devan akhirnya memutuskan untuk melihat kearah Dika, dan berusaha menyelesaikan semuanya.
“Maaf Dik, tapi saya memang ada hubungan sama kak Devan. Saya menjauhi kamu sejak tiga bulan yang lalu karena saya mau menjaga perasaan kak Devan”
“Tapi kan kalian mungkin aja putus setelah ini” ucap Dika penuh percaya diri.
Ternyata Dika masih saja belum menyerah.
Aku tersenyum lembut, mencoba memberi pengertian ke Dika tanpa menyakitinya “Saya akan melanjutkan pendidikan ke kampus Untirta setelah ini, dan kak Devan akan melanjutkan pendidikan S2 nya di kampus itu juga. Jadi ngga ada alasan untuk berhenti selagi masih saling mencintai” ucapku yang kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Devan dan semua orang di belakangku.
Apa ini benar hidupku, atau ini adalah opera atau drama yang tengah dimainkan? Mengapa hidupku se-drama ini? Aku di hadapkan oleh hal terburuk yang terjadi dalam satu waktu, dan ketika semua terasa lebih baik karena kehadiran Devan, tapi sayangnya itu semua hanya sebuah drama yang Devan perankan.
Aku berlari tak tentu arah sembari membawa air mataku kemanapun kakiku menuntunku.
“Akh!!” sepertinya kesialan tidak pernah meninggalkanku di hari ini, aku terjatuh karena high heels yang aku gunakan.
Aku memilih untuk tidak langsung berdiri, posisi seperti ini sangat mendukung perasaanku yang tengah hancur saat itu.
Dan ketika aku tengah meratapi nasibku, seseorang mengulurkan tangannya yang membuatku melihat kearahnya yang terlihat tidak begitu jelas karena mataku justru melihat kearah matahari di belakangnya.
“Jangan meratap di pinggir jalan” ucapnya sembari membantuku berdiri.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain