Setiap temu pasti akan menemui kata pisah, dan beberapa dari temu akan berakhir pada kata menghilang. Itu semua hanya perkara tenggat waktu yang sudah ditetapkan. Siap atau tidak, kita semua akan mengalaminya saat waktu telah berada di titik nol terendah. Dan saat itu terjadi, hanya air mata yang sibuk menetralisir rasa sakit, saat sebuah temu dinyatakan berakhir.
~
Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu oleh seluruh siswa dan siswi SMK Bangtan. Setelah melewati masa ujian yang begitu panjang dengan segala sesi untuk memperbaiki nilai dan pada akhirnya dinyatakan lulus, pagi ini sekolah kami mengadakan acara perpisahan sekaligus kelulusan. Tentu saja hari ini adalah hari dimana aku memperoleh kebebasanku dari masa hukuman yang kakek Devan berikan.
Ini sudah genap 6 hari semenjak kejadian dimana aku menolak Devan yang ingin menuntaskan kewajibannya sebagai suami di malam itu. Devan berubah menjadi sangat dingin semenjak kejadian itu, bahkan sampai detik ini pun dia masih tak ingin berbicara atau bahkan sekedar melirik kearahku. Dan lebih parahnya lagi, dia bahkan tak sudi sekedar duduk di sebelahku saat sedang di meja makan.
“Ta, nanti selesai sarapan mami anter ke salonnya temen mami yah” ucap mami dengan mata yang sibuk menyoroti aku dan Devan yang duduk bersebrangan.
Aku mengangguk sembari tersenyum “Iya mi, terserah mami”.
Davin menarik kursi di sebelahku yang benar-benar berhadapan dengan Devan, seperti hari-hari sebelumnya.
“Ini gue di sini lagi nih?” tanya Davin yang hanya mendapat respon tatapan mata jengah dari Devan.
Davin menghela nafas “Ini ngga salah mi? Jangan-jangan yang menjabat tangan ayah terus minta Tata jadi istri itu, Davin yah mi?” sindir Davin, kali ini Devan tak merespon apapun.
Davin tak kehilangan akal, dia mencoba cara lain untuk menggoda kakaknya yang telah lancang mengambil kursi kesayangannya itu. Davin menaruh tangannya di puncak kepalaku yang tertutup hijab, dia mengelusnya secara perlahan sembari memiringkan wajahnya kearahku. Aku terheran karena senyumannya yang terlihat aneh, jadi aku hanya terdiam dan terpaku bermaksud mencari makna dari senyuman itu.
“Kalo memang bener ketuker, beruntung banget deh Davin dapet istri nan cantik juga solehah” ucap Davin, masih mengelus lembut kepalaku.
Brak!!
Devan membanting piring yang tengah ia pegang keatas meja, yang membuat seluruh keluarga terkejut namun tak berniat untuk ikut campur dalam situasi itu.
“Bisa ngga sih jadi orang itu yang normal dikit!” sentak Devan.
“Malu gue ngakuin lo sebagai adek gue” sambung Devan yang terdengar seperti sebuah gumaman.
Seluruh anggota keluarga yang berada di meja makan kini serempak menoleh ke arah Devan sembari mengerutkan keningnya, pasalnya baru kali itu seorang Devan menanggapi celoteh tak berfaedahnya seorang Davin Azzura Pratama.
“Santai kali, barbar banget kayak seminggu ngga dikasih jatah aja” ucap Davin asal, sembari mengenyahkan tangannya dari kepalaku.
Devan terlihat menatap tajam ke arah Davin yang duduk dihadapannya, membuat suasana sarapan kali itu terasa begitu menegangkan.
“Davin, udah” ucapku pelan, setelah mengerti situasi saat ini.
Davin menoleh kearahku “Gue ngga salah kok” protes Davin.
Drrrk!!
Devan mendorong kursinya dan memilih menyudahi acara sarapannya.
“Jadi adek ngga guna banget, mulut kayak lambe turah. Unfaedah!!” nyinyir Devan sebelum pergi meninggalkan kami semua yang masih mematung tak percaya.
“Lo ngga kasih jatah yah Ta?” tanya Davin cukup kencang, yang membuat semua mata tertuju padaku.
Aku yang ditatap oleh seluruh anggota keluarga pun menjadi salah tingkah, dan memilih untuk meninggalkan meja makan dengan langkah terburu.
****
“Siapa nih yang akan dateng jadi prom king kamu Ta?” Tanya seorang perempuan manis yang mengenakan setelan kebaya berwarna senada denganku. Hubunganku dengan Ricko memang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Aku, Ricko, Dewa dan Eca.
“Ngga ada kali Ra” ucapku, berusaha menekan rasa kecewa yang memaksa keluar melalui ekspresiku. Ini tidak bohong, entah mengapa aku ingin Devan hadir disini untuk memberikanku se-bouquet bunga, meskipun aku tahu bahwa itu adalah ketidakmungkinan karena selepas sarapan tadi Devan pergi entah kemana.
Mataku berpendar mengelilingi seluruh ruangan bernuansa putih yang telah di hias sedemikian rupa hanya untuk merayakan kelulusan angkatan kami. Hatiku mulai gelisah ketika satu per satu keluarga sahabatku sudah datang dan duduk di samping anaknya, dimana mama serta ayahku?
“Ricko mana Ca?” tanyaku akhirnya, kali ini hanya Ricko yang kubutuhkan untuk menenangkanku.
Eca menggeleng “Ngga tau, tadi pagi rumahnya udah sepi aja. Kirain dia udah berangkat duluan”.
“Oh, yaudah saya kesana dulu yah mau ngambil kue” ucapku sembari menunjuk ke booth makanan yang tersedia di gedung itu.
Eca mengangguk lalu kembali memfokuskan pandangannya kepada orangtuanya yang tengah mengajaknya berbicara.
Aku pergi dengan perasaan sedih dan kecewa. Acara kelulusan apa ini? Aku bahkan sama sekali tidak bahagia, aku seperti sebatang kara yang tersesat di tengah pesta yang terdapat di perkotaan.
Brukkk!!
“Eh maaf” ucapku sembari mengelus keningku yang sakit karena menabrak punggung kokoh seseorang.
Seorang laki-laki dengan tubuh proporsional itu berbalik dan menatap kearahku dengan tatapan teduh yang begitu menyejukan, yang membuatku terhanyut dalam manik mata saphire milik pria itu.
Laki-laki itu tersenyum lalu menyentuh keningku sembari mengelusnya perlahan, membuatku kehilangan kemampuan motorikku secara tiba-tiba. Sensasi ini sepertinya pernah aku rasakan, tapi dimana?
“Aulia Renata yah?” tanya laki-laki itu. Suaranya tidak seberat dan seseksi suara Devan, tapi suaranya cukup lembut seperti sebuah symphony yang mengalun dengan teratur.
“Ya?” tanyaku setelah berhasil lolos dari manik mata yang begitu menyesatkan, serta suara lembut yang perlahan menenggelamkan.
Laki-laki itu terkekeh sejenak, menampilkan sederet gigi putih kecil yang membuatnya terlihat begitu imut.
Laki-laki itu menyodorkan tangannya, memberi kode agar aku segera meraihnya dan berjabat tangan dengannya “Gue Kenzo Kalandra, yang artinya anak periang pembawa keceriaan yang kreatif dan pintar” ucapnya, setelah mendapatkan tanganku.
Aku masih belum mengerti situasi ini, tiba-tiba saja otakku kehilangan fungsinya.
“Aulia Renata kan? gue udah tahu kok” ucapnya setelah tak mendapatkan respon apapun dariku.
“Woy!! Diem-diem bae” teriak seseorang sembari menepuk pundakku, membuatku tersadar dari pesona laki-laki di depanku ini.
Aku memukul bahu orang yang menepuk pundakku tadi “Dewa!!”
Dengan wajah polosnya Dewa menoleh kearahku “Iya?”
Aku mengatur nafasku yang memburu karena rasa kesalku pada Dewa.
“Kamu kenal abang saya Ta?” tanya Dewa yang menghentikan nafas memburuku.
“Abang?” cicitku.
Laki-laki tampan itu tersenyum “Iya gue kakaknya Dewa Kalandra, nama gue Kenzo kalau lo lupa”
Aku tersenyum kikuk “Salam kenal, saya Aulia Renata biasa di panggil Tata”
Kenzo dan Dewa saling memandang satu sama lain sebelum terkekeh bersama.
“Kenalan lagi nih ceritanya?” sindir Dewa, setelah tawanya mereda.
Aku yang tak mengerti keadaan pun hanya bisa mengerutkan keningku “Loh emang tadi udah kenalan yah?” tanyaku, yang membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
“Lo kayaknya terpesona sama abang gue deh” tebak Dewa yang membuatku tersipu malu.
“Kok bisa beda hasil padahal satu cetakan sih, Wa?” tanyaku, penasaran.
Dewa terkekeh “Satu cetakan, tapi beda adonan Ta”
Aku dan Dewa tertawa karena membayangkannya, kami memang memiliki pemikiran yang sama, jadi tidak sulit bagi kami untuk saling terhubung dalam suatu percakapan.
Kenzo yang tidak ikut masuk ke dalam perbincangan absurd kami pun mulai menghampiriku dan mendekatkan bibirnya ke telingaku “Boleh bicara sebentar” bisiknya.
Aku yang seperti terhipnotis oleh pesonanya hanya bisa mengangguk dan mematuhi kata-katanya. Dia mengandeng tanganku dan menuntunku menuju ke halaman luar.
“Kak Kenzo mau ngomong apa?” tanyaku setelah Kenzo melepas genggamannya.
Kenzo lagi-lagi memberikan senyuman yang menebarkan sejuta pesonanya.
“Aulia mau masuk ke kampus Untirta kan?” tanya Kenzo.
Aku berfikir sejenak, entah siapa itu Aulia
“Tata ngga tau kak, ngga kenal juga sama Aulia”
Kenzo lagi-lagi terkekeh “Nama lo Aulia Renata kan? Itu panggilan dari gue buat lo, karena gue ngga suka suatu hal yang sama”
“Oh, iya Tata, eh Aulia mau ke kampus Untirta. Emang kenapa kak?”
"Bagus deh, gue ketua BEM di kampus itu”
Aku mengernyit bingung “Loh, bukannya ketua BEM nya itu kak Devan yah?”
Kenzo mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyalakan pemantik apinya. Tubuhku secara otomatis mengukir jarak dengannya yang mulai di kerumuni oleh asap rokok.
“Devan udah lulus, sekarang gue yang baru. Lo kenapa minggir gitu, ngga suka cowok ngerokok?” Kenzo mulai menunjukan perubahan, suaranya kini terdengar datar, dan tatapannya juga terkesan dingin.
Aku menggeleng dengan cepat karena merasa tidak enak, takut menyinggung perasaan Kenzo.
“Bukan gitu kak, cuma ngga terlalu suka sama asap rokoknya, bukan orangnya”.
Kenzo membuang sebatang rokok yang baru dia hisap dua kali itu ke sembarang arah “Sebenernya gue ngajak lo kesini itu buat minta maaf karena waktu itu gue udah lancang cium pipi lo di bawah pengaruh alkohol” akunya.
Uhuk!
Aku tersedak oleh salivaku sendiri, karena belum siap menerima pengakuan mengejutkan itu. Pantas saja dia tampak tidak asing bagiku.
“Eh, lo baik-baik aja?” ucapnya sembari memegang kedua bahuku dan memperhatikan wajahku secara teliti.
Aku mengenyahkan tangannya dari kedua bahuku “Jangan berlebihan kak”
Kenzo mundur beberapa langkah, ada sedikit raut kekecewaan di wajah putihnya.
“Gue tau gue brengsek karena minum alkohol, tapi gue ngga seberengsek itu buat nyentuh batasan perempuan di saat sadar”
Dengan segenap keberanian, aku tatap mata teduh itu dengan tatapan tajam yang kuyakini mampu mengusik ketenangan di hatinya.
“Mungkin bagi anda itu masalah sepele yang bisa di biarkan berlalu begitu saja, tapi apa anda tahu bagaimana pengaruhnya terhadap diri saya?’’ ucapku menggebu-gebu.
Kenzo terdiam di tempat.
Aku berdecih dan tersenyum sinis “Saya rasa anda tidak tahu” ucapku sebelum melenggang pergi meninggalkan Kenzo yang masih membatu disana.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain