Semakin lama waktu yang kita habiskan bersama, maka semakin banyak kenangan yang kita ukir berdua.
~
Disinilah aku, di posisi super sulit dan begitu menakutkan. Aku selalu menduga-duga dan berprasangka buruk mengenai situasi saat ini. Jika saja aku mempunyai keberanian dalam menghadapi kenyataan, pasti aku tidak akan setegang ini.
Aku dan Devan tengah duduk di sofa bersama dengan kedua keluarga kami di rumah orangtua Devan. Mereka menatap kami seolah tengah berperan dalam persidangan, dengan aku dan Devan sebagai tersangka utamanya. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, mamaku dan maminya Devan berperan sebagai pengacara kami yang berusaha menenangkan semuanya, ayahku dan papinya Devan menjadi jaksa yang menuntut dengan seluruh bukti-bukti, sedangkan yang menjadi hakim adalah para kakek dan nenek kami.
Ayahku menghembuskan nafas pelan, mencoba menstabilkan jantungnya yang sebelumnya berpacu dengan cepat karena mengetahui sebuah fakta yang membuatnya terkejut.
“Kami sudah dengar apa yang terjadi di hubungan kalian” ucapnya sangat pelan, berusaha menekan kekecewaannya.
Aku hanya menunduk, tak berani menatap mereka satu per satu. Aku hanya sesekali melirik kearah Devan yang juga tengah menunduk sembari memainkan jarinya. Kupikir dia lebih berani daripada aku, tapi ternyata dia sama gugupnya.
“Kami tahu kalian punya pasangan masing-masing” kini Papinya Devan yang berbicara dengan suara tegasnya.
Aku dan Devan sempat tersentak karena terkejut, tapi kami tidak ada yang berani menatap mata papi maupun ayah.
“Maafin Devan sama Tata pih” saat Devan membuka suara, aku memberanikan diri melihat keluarga kami satu persatu. Hatiku terasa begitu sakit saat melihat air mata kekecewaan yang mengalir dari mata kedua orangtua kami.
Brak!!
Papi membanting sebuah map berwarna cokelat yang membuat isinya berantakan keluar. Di sana kulihat beberapa foto Devan dan Luna yang tengah berjalan bergandengan tangan di kampus, dan hanya ada 1 fotoku yang bersama Ricko ketika kami sedang belajar bersama hari itu.
“Ini bukan salah Tata, ini murni salah kamu Devan!!” bentak papi, dengan mengarahkan pandangannya kearah Devan.
Devan memberanikan diri menatap papinya yang tengah diselimuti aura kemarahan.
"Devan sama Tata sama-sama salah pih. Dia juga selingkuhin Devan” ucap Devan tak terima.
Plak!
Papi menampar pipi Devan dengan sangat keras, sampai meninggalkan bekas di pipi mulus Devan. Nafasnya memburu, sepertinya emosi papi semakin meningkat setelah mendapat pemberontakan dari Devan.
“Kamu yang selingkuh lebih dulu!!” bentak papi Devan.
Devan menatap papi tanpa rasa takut, dia menunjukan tatapan yang berapi-api guna menyampaikan ada sesuatu yang salah.
“Bukan Devan selingkuh, tapi kalian yang memaksa Tata hadir di hidup Devan padahal kalian tahu hati Devan sudah penuh dengan Luna” ucap Devan yang kini sudah meninggikan suaranya.
Tanpa bisa kucegah, aku meneteskan air mata ketika Devan melirikku dengan tatapan bengisnya. Jelas Devan telah menolak kehadiranku, tapi kenapa aku masih berharap padanya dan pada akhirnya aku sendiri yang kecewa dan terluka lagi.
“Tata juga butuh seseorang untuk dijadikan tempat bersandarnya,nak Devan. Dan saat ayah ngga bisa lagi jadi tempat bersandar Tata, kamu sebagai suaminya malah memberikan bahu kamu untuk wanita lain bersandar” lirih ayahku, mungkin ayahku begitu sedih melihat nasib putri kesayangannya yang diacuhkan oleh suaminya sendiri.
Devan tertawa hambar “Jadi maksud ayah, Tata ngga salah karena selingkuh? Dan kalian semua setuju kalau semua ini salah Devan yang begitu mencintai Luna”.
Semua orang memandang Devan dengan tatapan tidak menyangka. Bagaimana bisa seorang penurut begitu memberontak saat di hadapkan dengan cinta.
“Salahkan Tata yang hadir terlambat” sambung Devan, menyudahi tatapan penuh emosinya.
Aku yang merasa terus dipojokan oleh Devan, akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara. Kutatap Devan lamat-lamat, matanya yang menunjukan betapa angkuhnya dia pun perlahan mulai gentar saat kupandang dia dengan seluruh aku dan kehancuranku.
“Cinta bukan tentang siapa yang datang lebih dulu, tapi tentang siapa yang bertahan lebih lama”
Aku menyeka air mataku sebelum melanjutkan perkataanku, ini cukup menyakitkan untuk mengatakan hal pahit yang terjadi dalam hidupku.
“Saat kak Devan menatap mata kak Luna dengan lembut tapi menatap Tata dengan tatapan setajam pisau, Tata masih bertahan walaupun dengan air mata”
“Tapi itukan hanya sebuah tatapan, apa jadi masalah yang besar buat kamu?” Sela Devan.
Aku tidak memperdulikan pertanyaan Devan, saat ini aku hanya fokus untuk menyuarakan isi hatiku.
“Saat kak Devan memanggil kak Luna dengan sebutan kamu tapi memanggil Tata dengan sebutan situ seperti Tata ini orang asing, Tata masih bertahan” sambungku.
Devan berdecak kesal “Ck! Apa lagi ini, cuma masalah panggilan doang kan?” sela Devan, melakukan pembelaan diri.
Aku tersenyum lirih dengan air mata yang tak kunjung mengering
“Kak Devan memperlakukan Luna dengan sangat lembut tapi memperlakukan Tata dengan sikap dingin, Tata masih bertahan”
"Itu hak saya!” sentak Devan.
Keluarga kami yang awalnya hanya terdiam mengamati tanpa berniat masuk ke dalam percakapan kami akhirnya mulai waspada dan berancang-ancang untuk menyerang Devan setelah bentakan yang Devan layangkan untukku.
“Saat Tata sakit kak Devan malah memilih meninggalkan Tata yang masih terkulai lemas di lantai demi mengantar kak Luna yang katanya lagi sedih, Tata...” aku menghentikan perkataanku, karena nyatanya aku malah melarikan diri saat itu.
Devan tertawa sinis “Dan kamu tidak bertahan”
Kali ini aku tidak bisa menganggap sanggahan Devan sebagai angin lalu, sudah jelas ini harus di luruskan.
“Tata bukan tidak bertahan. Terkadang Tata butuh istirahat sejenak untuk meredam rasa sakit yang teramat sakit” ucapku yang diakhiri dengan senyuman, senyuman yang membuat Devan tak bisa berkutik ataupun menatapku dengan tatapan tajam lagi.
Papi tertawa, hanya saja tawanya kali itu membuat semua keluarga khawatir dan bergidik ngeri.
“Kamu yakin Luna akan tetap bertahan kalau di hadapkan dengan uang? Mari kita lihat bagaimana gilanya dia” tantang papinya Devan.
“Luna sama sekali ngga salah disini. Devan akui ini sepenuhnya salah Devan, kalau papi mau hukum Devan push up atau hukuman militer lainnya Devan siap” ucap Devan. Fakta ini cukup menyakitkan bagiku, Devan mengakui kesalahannya setelah papi membawa nama Luna.
Latar belakang papi Devan memang seorang TNI angkatan darat, maka dari itu Devan sudah terbiasa mendapat hukuman fisik seperti latihan militer. Keluarga Devan terbilang dari kalangan orang berada meskipun papi hanya seorang TNI, itu semua karena papi Devan tidak ingin meneruskan perusahaan kakek Devan. Untungnya kakek Devan masih kuat dan terbilang cukup muda dibanding dengan kakek-kakek yang lain, dalam menangani masalah perusahaannya.
“Berani kamu menantang papi hanya demi perempuan ngga jelas itu?!” emosi papi kembali tersulut, karena mengetahui alasan dibalik pengakuan Devan hanya untuk melindungi Luna.
Mami berjalan menghampiri papi yang tengah duduk di sofa. Mami bersimpuh di depan papi dengan air mata yang masih setia singgah dipipinya.
“Sabar Pi, Devan cuma khilaf. Mami pastikan Devan dan Luna ngga akan bisa berhubungan lagi, jadi bebasin Devan dari hukuman yah pi” kali ini mami memohon belas kasih dari papi.
Aku tidak tega melihat mami yang memohon pengampunan atas kesalahanku dan Devan. Aku ikut bersimpuh disebelah mami sembari memegang tangan papi guna meredamkan emosinya.
“Udah pi, Tata ngga masalah kok. Tata juga salah karena pacaran sama orang lain padahal Tata punya suami” ucapku.
“Kamu masih membela si idiot ini Ta?” tanya Papi, sembari menunjuk kearah Devan.
“Cukup!!” kali ini giliran sang hakim, yang tidak lain adalah kakeknya Devan angkat bicara.
Semua mata tertuju pada lelaki lanjut usia yang masih terlihat begitu gagah itu. Ketegangan serta keheningan melanda kami semua di ruangan itu, bahkan tatapan emosi papi pun berubah menjadi tatapan gentar yang syarat akan ketakutan.
“Biar saya yang hukum cucu kurangajar ini” ucap Kakek Azzura Pratama, yang membuat kami semua otomatis menahan nafas sembari menunggu kelanjutan dari ucapannya.
Tiba-tiba kakek terkekeh yang membuat semuanya tercekat oleh salivanya masing-masing. Kami semua ragu, apakah itu tawa sesungguhnya atau tawa yang menandakan maksud menyeramkan lainnya. Tapi tidak ada yang lucu kan?
“Hukuman untuk kalian berdua adalah, putuskan hubungan dengan pacar masing-masing” sambung kakek, yang membuat kami semua bernafas lega.
“Tapi kalian berdua harus tinggal dirumah ini dalam pengawasan kami dan tidak boleh keluar rumah selama satu bulan” lanjut kakek.
“What?!” ucapku dan Devan bersamaan. Jelas saja kami terkejut, bagaimana bisa kami dikurung dan diawasi.
“Kenapa,ngga terima? Atau mau satu tahun”
Aku menggeleng dengan cepat "Bukan gitu kek, tapi gimana kalo Tata mau sekolah? Kan seminggu lagi Tata mau perpisahan sama kelulusan”
“Devan juga harus ke kampus” ucap Devan.
“Kamu ke kampus mau ngapain,Ketemu Luna? Kamu kan tinggal nunggu Wisuda S1. Tata juga tinggal nunggu perpisahan, udah anteng aja dirumah kenapa. Nanti kalian boleh keluar cuma saat hari H saja” putus kakek pada akhirnya.
Seriously?! Pernyataan Devan justru memberatkan kami pada akhirnya.
"Tapi kek, kan kita harus mutusin Luna juga Ricko” ucap Devan.
“Untuk Luna besok kakek undang dia kesini, dia sudah cukup dewasa untuk mengalami patah hati. Dan untuk Ricko biar Tata yang putusin langsung saat perpisahan seminggu lagi dari sekarang, kasihan Ricko masih SMA tapi di tinggal pas lagi sayang-sayangnya”.
Devan mendelik “Apa kabar Luna? Dia juga di tinggal pas lagi sayang-sayangnya”
“Luna itu wanita dewasa, sedangkan Ricko itu masih remaja, sama seperti istri kamu” putus kakek sebelum meninggalkan kami di ruang tamu.
****
Setelah perdebatan selesai, aku dan Devan memutuskan untuk pergi ke kamar yang dulunya adalah kamar Devan. Ini pertamakalinya aku menginjakan kaki di kamar yang dominan bergaya klasik dan begitu maskulin dengan warna abu-abu dan putih sebagai tema kamarnya. Aku tidak menyangka jika kamar Devan sangat rapih dan begitu nyaman.
“Kamu duluan atau saya dulu yang mandi?” tanya Devan.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal “Saya ngga bawa baju”.
“Di lemari ada beberapa baju saya yang sengaja saya sisakan di sini, jadi pakai baju saya aja. Mungkin akan sedikit kebesaran, tapi yang penting pakai baju” ucap Devan yang berjalan ke arah lemari.
"Mau kaos pendek atau kemeja?" tanya Devan tanpa menoleh kearahku yang tengah duduk manis diatas ranjang Devan.
"Kaos aja” ucapku malu-malu. Entah kenapa aku bersikap begini, padahal tadi aku begitu sakit hati terhadap ucapan manusia batu satu ini.
“Nih, bawahannya cuma ada celana boxer saya. Atau mau lepis panjang aja?”
Aku menggeleng pelan sembari menerima satu set pakaian yang telah Devan ambil tadi.
“Tenang aja, boxer itu bersih kok. Saya ngga pernah melakukan hal kotor seperti yang ada di fikiran kamu, walaupun saya laki-laki normal” ucap Devan yang membuatku mengerutkan dahi karena bingung.
“Memangnya apa yang ada di fikiran saya?” gumamku, sembari berjalan ke kamar mandi.
Setelah mandi selama 20 menit, aku keluar dengan tidak percaya diri. Pakaian Devan begitu kebesaran dengan tubuhku yang sedikit kurus, tapi tetap saja ini terlalu pendek bagiku yang mempunyai tinggi badan 167 cm.
"Kak, saya udah selesai” ucapku yang membuat Devan menoleh dan menghentikan aktifitasnya memandangi layar ponsel.
Aku berjalan menghampiri Devan dengan kikuk, kulambaikan tangan di depan wajah Devan yang menatapku dengan tatapan tak biasa.
"Kak?”
Devan tersentak dengan panggilanku, dia terlihat sulit untuk menelan salivanya.
“Ekhem” Devan berusaha menghilangkan sesuatu yang mengganggu tenggorokannya.
“Cepet masuk ke dalem selimut” titah Devan sembari mendorong tubuhku ke ranjang dan menidurkanku. Dia sibuk menyelimutiku dengan telaten sampai batas leherku.
"Jauh-jauh fikiran kotor” setidaknya gumaman itu yang kudengar terus-menerus selama dia berusaha membungkusku dengan selimut.
Aku yang merasa kebingungan dengan sifat Devan pun menahan lengannya yang hendak pergi. "Kakak kenapa?”
“Haissssh” Devan mendesis, sembari mengacak rambutnya frustasi.
"Saya ini laki-laki normal, gara-gara kamu saya jadi terpancing. Akh! Saya bisa gila kalau begini, lain kali jangan pakai yang sependek ini” ucapnya yang terdengar sangat frustasi.
Akhirnya aku mulai mengerti dengan arah pembicaraan Devan, sebagai seorang Kpopers hal ini bukanlah hal tabu meskipun banyak yang bilang bahwa aku seorang gadis polos.
“Bukannya kakak biasa disuguhkan pemandangan kayak gini sama Luna yah?. Saya kadang mikir, kok bisa yah seorang kak Devan yang alim suka sama kak Luna yang berpakaian minim” Ceplosku.
"Saya juga ngga ngerti. But it's true that she never makes me turn on like yo do now” gumam Devan yang dengan secepat kilat pergi ke kamar mandi.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain