Mati. Bukankah seharusnya seseorang di sebut mati, jika tidak mempunyai hati? Tapi mengapa dia masih bisa menyakiti, padahal tidak mempunyai hati.
~
Mobil kami menerobos derasnya air hujan yang berjatuhan menimpa bumi, melewati aspal yang berair, dan perlahan meninggalkan bangunan-bangunan kokoh yang mulai melembab itu.
Butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumah kami, jadi aku memutuskan untuk memutar musik dari ponselku, mencoba mencari ketenangan disana. Alunan musik mulai terdengar indah dan sesuai dengan suasana saat ini, nyaman dan begitu menenangkan.
'Tuhan tolonglah...
Hapus dia dari hatiku
Kini semua percuma
Takkan mungkin terjadi
Kisah cinta yang selalu aku banggakan'
Deg!
Jantungku tiba-tiba saja seperti berhenti sejenak lalu berdebar lagi setelahnya. Jika lagu dari Pasto ini dilanjutkan, aku akan mengingat semuanya dan berujung sakit hati lagi nanti. Tapi dilain sisi aku ingin Devan tahu isi hatiku, setidaknya lagu ini dapat mewakili ungkapan perasaanku pada Devan.
Devan menoleh kearahku sekilas, mata kami bertatapan selama beberapa detik sebelum kami memutuskan untuk saling membuang muka.
“Kamu kenapa? Pucet gitu” tanya Devan yang sudah kembali fokus pada jalanan di depannya.
“Mual sedikit, masuk angin mungkin” setidaknya hanya itu saja alibi yang terlintas dalam fikiranku.
Devan mengangkat tangan kirinya dan menaruhnya dikeningku, bermaksud untuk memeriksa suhu tubuhku. Dia menepikan mobilnya sejenak karena tidak dapat merasakan suhu tubuhku dengan benar, mungkin.
"Ngapain berhenti?” tanyaku memastikan.
Devan tak menggubris pertanyaanku, dia membenarkan posisi duduknya menjadi menghadapku. Dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya, dan dari posisiku aku dapat melihat dengan jelas raut kekhawatiran yang tercetak di wajah tampannya. Dia mulai meneliti wajahku dengan seksama, hatiku berdebar saat Devan perlahan mendekatkan wajahnya kearahku sampai hidung kami bersentuhan. Tentu saja hidung mancung Devan yang menyentuh hidungku lebih dulu, karena hidungku terbilang cukup minimalis.
Ctak!
“Awhssss” aku meringis sembari mengelus keningku yang Devan sentil.
“Kalo bohong itu yang pinteran dikit” ucap Devan yang mulai melajukan mobilnya kembali ke jalan raya.
“Kasar banget jadi laki!” protesku, yang diabaikan begitu saja oleh Devan.
'Oh mengapa tak bisa dirimu
Yang mencintaiku
Tulus dan apa adanya
Aku memang bukan manusia sempurna
Tapi ku layak di cinta
Karna ketulusan
Kini biarlah waktu yang jawab semua
Tanya hati ku'
Tepat sekali! Lirik itu di putar saat kami sedang dalam keadaan yang cukup tenang, walau sebenarnya kami tengah sibuk dengan fikiran masing-masing.
"Maksudnya apa muter lagu itu?” suara Devan melemah, matanya perlahan meneduh dan tak ada kilatan kekesalan di mata cokelat terangnya.
Seketika aku menoleh kearah Devan karena rasa terkejutku. Sekarang mataku mulai bergerak kesana kemari, aku gugup sekaligus ragu untuk menjawabnya.
“Itu...kan saya muternya secara acak. Emang kenapa?”
Kini Devan yang sesekali melihat ke wajahku lalu menatap jalanan lagi. Tapi berbeda denganku, matanya tampak tenang dan tak ada kegusaran disana.
Devan berdehem sejenak, guna memastikan suara yang keluar dari rongga mulutnya akan terdengar jelas olehku.
"Dari awal saya pahamin betul pesan apa yang pencipta ingin sampaikan di dalam lirik lagu itu, dan sekarang saya mengerti setelah sampai di bagian Reff nya. Dan...” Devan menjeda perkataannya sejenak dengan menghela nafas pelan.
Aku memperhatikan wajahnya yang terlihat begitu serius.
“Kalau maksud kamu muter lagu itu untuk menyampaikan apa yang kamu rasakan ke saya. Maka maaf saya ucapkan, karena saya akan memilih untuk tidak mengerti dan memahami setiap kata bermakna yang mengalir dari setiap liriknya”.
Jderrrr!!!
Bak tersambar petir di siang bolong, hatiku mencelos mendengar penolakan secara langsung dari Devan. Mengapa dia sejujur itu sih?! kan akan lebih baik kalau dia berpura-pura tidak tahu.
Aku memalingkan wajahku ke pepohonan yang terlihat di jendela mobil sampingku. Frekuensi air hujannya sama seperti air mataku yang mulai berbondong-bondong menetes membasahi pipi chubby ku.
“Kenapa kakak ngga pura-pura ngga peka aja sih?” lirihku, tanpa menatap Devan.
"Hubungan kita belum di mulai, jadi lebih baik tidak ada pura-pura di antara kita, supaya lebih terbiasa saat kita benar-benar membangun sebuah hubungan”
Seorang Devan Azzura Pratama memang tidak memiliki hati sedikitpun. Bagaimana bisa dia mengatakan hal semenyakitkan itu dengan wajah dan suaranya yang tenang.
Aku tertawa miris "Benar-benar membangun hubungan? Ck! Omong kosong” ucapku dengan nafas yang memburu, sementara air mataku kubiarkan mengering dengan sendirinya.
Lumayan untuk masker gratis, tak perlu lagi memakai air garam untuk melembutkan wajah. Ini sudah biasa, semenjak menikah dengan Devan aku lebih sering memakai masker air mata.
"Saya cuma butuh waktu untuk belajar menerima kamu dan melepas Luna. Menceraikan kamu lalu menikahi Luna tidak pernah ada dalam daftar tujuan hidup saya, jika itu yang kamu khawatirkan. Jadi kamu tenang aja” ucapnya sembari menatapku dengan tatapan berusaha meyakinkan.
Aku berusaha menolak tatapan itu, aku tidak ingin luluh lalu tersakiti lagi dan lagi.
“Waktu? Ini udah hampir tiga bulan kita hidup satu rumah, saya juga udah mau lulus SMK. Tapi ngga ada kemajuan apapun kan? padahal saya aja bisa menyukai kakak karena terbiasa bareng, tapi kebersamaan kita kayaknya ngga berpengaruh sama sekali buat kakak” lirihku, tanpa menatap Devan.
“Itu beda! Saat ini kamu belum mencintai siapapun, hati kamu masih kosong, dan masih mudah untuk menyukai seseorang karena terbiasa bersama” Devan meninggikan suaranya, dapat disimpulkan bahwa dia begitu tidak terima dengan presepsiku.
Devan menjeda ucapannya sejenak, dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan mencari sesuatu disana. Layar ponsel Devan diarahkan kepadaku saat dia berhasil menemukan apa yang ingin dia tunjukkan padaku. Mataku secara otomatis langsung melihat ke layar ponsel itu, dan disana aku dapat melihat foto Luna dan Devan dengan senyuman yang menunjukkan betapa bahagianya mereka di moment itu.
“Saya sudah mempunyai orang yang saya cintai selama hampir empat tahun, hati saya penuh dengan semua tentangnya. Saya terbiasa dengan Luna selama hampir empat tahun, sedangkan waktu bersama kamu baru berjalan hampir tiga bulan. Ini berbeda jauh antara tahun dan bulan”
Devan kembali menjeda perkataannya ketika melihatku menangis di depannya.
Devan menghembuskan nafas kasar pada akhirnya “Hah...Sebenernya saya juga ngga mau ngomong kayak gini ke kamu, karena saya tahu udah terlalu banyak air mata yang kamu jatuhkan untuk saya. Saya hargai itu, tapi saya juga butuh waktu untuk menerima semuanya. Dan saya ingin kamu mengerti” Ucap Devan tanpa menoleh kearahku sedikitpun.
Tahukah dia bahwa dia sudah menorehkan luka pada hatiku dari setiap perkataan yang ke luar dari mulutnya? Hatiku sakit, sangat sakit. Sekarang dia tidak hanya menolakku secara terang-terangan,tapi dia juga baru saja memberitahu bagaimana posisiku dan apa arti diriku baginya.
“Kakak membutuhkan waktu untuk belajar menyukai saya dan melupakan Luna, tapi bagaimana kalau dalam proses itu justru saya jadi meragu dan mulai nyaman dengan orang lain?” ucapku dengan tatapan kosong kearah depan, jiwaku telah melarikan diri karena tak sanggup menahan perih yang kurasa.
Dari ekor mataku, aku dapat melihat Devan yang menoleh kearahku. Dia memandangku dengan tatapan sendu, mungkin dia merasa kasihan kepadaku yang terlihat begitu kacau saat itu.
“Saat saya sudah mencintai kamu kelak, maka itu sudah cukup. Biarkan saya yang berjuang saat itu, dan membuat kamu kembali mencintai saya” ucap Devan yang membuatku terdiam seribu bahasa, kata-kata Devan sungguh menenangkan dan membuat harapan itu kembali muncul dalam hatiku.
'Kau hempas semua
Rasa yang tercipta untuk ku
Tanpa pernah melihat
Betapa ku mencoba
Jadi yang terbaik
Untuk dirimu'
"Lagu apa sih ini!!” gumamku kesal, sembari menekan tombol off pada ponselku, yang otomatis membuat lagu itu terhenti seketika.
Lagu itu sangat menyidirku, jelas saja aku sangat kesal. Tapi aku juga tidak bisa berbohong, hatiku menunjukan reaksi yang cukup hebat saat mendengar ucapan yang baru saja Devan katakan. Kekesalanku hanyalah sebuah alibi yang kubuat untuk menutupi perasaanku yang sesungguhnya. Aku bahagia.
Devan terkekeh dan mengusap kepalaku seperti anak kecil “Lagunya ngga salah, itu cuma lagu yang diputar di saat yang tepat”.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain