Lemah. Bukankah itu adalah sinonim dari wanita? Berkali-kali dikecewakan namun selalu memberi kesempatan walau tahu hasilnya akan sama. Tapi jika tidak begitu, bukankah tidak akan ada yang namanya kekuatan dari kesabaran seorang wanita?.
~
Detik berubah menjadi menit, dan berganti menjadi jam yang berakhir menjadi hari-hari penuh luka yang mengikis rasa bahagia.
Hari ini tepat 1 minggu semenjak peristiwa menyedihkan dimana suamiku lebih memilih mengantar kekasihnya yang sedang sedih, daripada menjagaku yang sedang sakit dan tak berdaya saat itu.
“Kamu ngga akan pulang Ta?” tanya Eca. Aku sudah menginap di rumah sahabat sekaligus teman sebangku ku itu selama seminggu belakangan ini. Aku baru berani jujur dan mengatakan semuanya hanya kepada Eca dan orangtuanya.
Aku menggeleng pelan “Ngga Ca, saya masih ngga mau lihat mukanya Devan”.
Eca meraih tanganku, mencoba menyalurkan bantuan kekuatan bagiku.
“Ngga baik kalau seorang istri pergi tanpa izin dari suaminya Ta”
Aku meneteskan air mata lagi ketika mengingat fakta bahwa Devan tak mencariku atau bahkan sekedar menghubungiku walau hanya sekali.
Eca merengkuh tubuh rapuhku ke dalam pelukannya.
“Kita kerumah Ricko aja gimana?” tanya Eca sembari melepas pelukannya.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat “Ngga ah, saya cewek kok nyamperin cowok duluan”
Eca menggeleng “Ricko yang minta kamu kesana, saya ceritain keadaan kamu ke dia. Biar bagaimanapun dia kan pacar kamu, jadi dia harus tahu. Trus dia chat saya katanya suruh anterin kamu ke rumahnya biar ketemu sama mama nya”
Aku membelalakan mataku karena terkejut dengan pernyataan Eca.
“Kamu kasih tahu Ricko kalau saya udah nikah?” tanyaku panik.
Eca terkekeh “Ya ngga lah! kalau saya ceritain yang bener, bukannya kamu dipanggil ke rumahnya, tapi pasti udah diajak Ricko ke jurang terdekat”
Aku bernafas lega setelah mendengar pernyataan Eca, terserah dunia mau bilang apa. Aku tahu ini salah, tapi Devan pun melakukan hal yang sama, Jadi aku tidak perduli.
“Yaudah, anterin saya yah” ucapku dengan manja.
Aku sudah pulih sepenuhnya, beruntungnya aku karena ibu Eca merawatku seperti anaknya sendiri. Sedangkan orangtuaku belum tahu bagaimana keadaan rumah tangga anak sulungnya yang satu ini.
“Deket juga kok, ngapain minta anter. Kamu tinggal jalan ke depan rumah, udah deh sampai di rumahnya Ricko”
Aku terkejut “Seriusan?!”
Eca menjawabku dengan anggukan kepala.
“Iya, udah sana pergi. Kerudungnya di benerin dulu, kan mau ketemu camer”
Tok! Tok!
“Itu Ricko kayak nya” ucap Eca, yang membuatku gelagapan sendiri. Sungguh, suara ketukan pintu itu membuat jantungku berdebar dengan cepat.
“Tunggu apa lagi? Sana bukain pintunya” titah Eca.
Aku berjalan dengan hati yang ragu, aku merasa ini salah untuk membangun chemistry dengan Ricko di saat aku memiliki Devan sebagai suamiku, meskipun hanya raganya.
Cklek!
Aku membuka pintu secara perlahan sambil menyiapkan hatiku untuk menerima kehadiran Ricko.
“Pulang”
Suara bariton yang sudah lama terlupakan itu kembali mengusik telingaku. Aku mengenal siapa itu, tentu saja dari rasa sakit yang tiba-tiba saja hadir di dadaku saat suara itu sampai di gendang telingaku.
Mataku yang sebelumnya buta sesaat karena efek suara itu, akhirnya mulai menjernih. Di sana aku melihat Devan berdiri dengan gaya angkuhnya, tidak ada yang berubah dari dia, justru dia terlihat semakin tampan. Mungkin hanya aku saja yang terlalu memikirkan peristiwa saat itu sampai hampir menjadi gila.
“Ngga” tolakku sembari berusaha mendorong pintu, guna menutupnya.
Sayangnya tenaga Devan lebih besar dariku, pintu itu kembali terbuka dan menampilkan wajah Devan yang sudah diliputi aura penuh amarah.
“Ngga usah kayak anak kecil! Kamu itu udah dewasa, bahkan saya bisa buat kamu punya anak kecil. Kalau sifat kamu masih kekanakkan gini, gimana kamu bisa jaga anak saya nantinya?” ucap Devan dengan menaikan sedikit nada bicaranya, mungkin dia tengah merasa emosi.
Aku berdecih “Cih! Siapa juga yang mau punya anak sama kamu. Kan bagi kamu cuma Luna yang pantes jadi ibu dari anak-anak kamu”
Entah mengapa aku jadi selemah ini, aku terus menerus meneteskan air mata saat nama Luna berada di topik pembicaraan kami. Padahal aku yang memancingnya.
Devan menghela nafas, dia mencoba meredam emosinya, namun tak perduli dengan air mataku “Kamu mau saya punya anak dari Luna?” tanyanya dengan pelan.
Aku terdiam, aku bingung harus jawab apa. Di satu sisi aku tidak rela, namun di sisi lain aku tak ingin jika Devan berfikir bahwa aku mengharapkan dia.
“Kenapa pembahasan kita jadi masalah anak sih?! Sekarang lebih baik kamu kasih tahu saya kenapa kamu jemput saya di sini” ucapku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Devan lagi-lagi menghela nafas. “Saya lebih tua dari kamu, jadi yang sopan sedikit!”
Sebenarnya aku merasa kesal, apa aku sebegitu menjengkelkannya sampai dia harus sering meredam emosinya?. Tapi aku tak ingin situasi semakin tak terkendali dan menyembabkan gangguan bagi keluarga Eca, jadi aku berusaha mengikuti permainan Devan.
“Ya saya ralat, kenapa kakak ke sini?”
“Kamu mau terus-terusan nyusahin orang? Punya rumah tapi numpang di tempat orang, ngga malu kamu?!” Devan mulai menyulut emosiku lagi.
“Ngga!! Disini lebih baik, setidaknya ada yang mengurus saya saat saya sakit. Ngga kayak di rumah yang cuma ada lelaki batu ngga bertanggungjawab. Untung aja Eca jemput saya dan bawa saya ke rumahnya. Kalau ngga, mungkin saya bisa mati di dekat sofa” sindirku dengan nafas yang memburu.
Wajah Devan menampilkan raut terkejutnya, setelah mendengar sindiran dariku. Mungkin memori tentang kejadian satu minggu yang lalu, kembali berputar di kepalanya.
“Pulang” ucap Devan dengan lebih pelan dan begitu lembut.
“Loh, kak Devan kan?” ucap seseroang yang mengintrupsi pertengkaran kami.
Aku dan Devan serempak menoleh kearah sumber suara yang berada di balik tubuh Devan .
“Ricko?” ucapku terkejut.
Ricko menghampiriku sembari tersenyum manis kearahku. Dia melewati Devan dan mulai mengusap kepalaku yang tertutup kerudung.
“Kamu lama banget sih, kan aku jadi khawatir”. Ricko memperlakukanku dengan lembut, sangat berbeda dengan Devan yang begitu kasar dan tak berperasaan.
Tanpa bisa kucegah aku tersenyum dan memeluk Ricko, untuk sejenak aku melupakan batasanku saat itu. Aku hanya ingin menyalurkan rasa sakitku dengan tangisan, tapi aku juga butuh penawar rasa sakit berupa pelukan saat itu juga. Dan Ricko lah yang tengah membuka tangannya dan menawarkan keamanan yang kubutuhkan.
Ricko terkejut dengan perlakuanku yang tiba-tiba, aku dapat merasakan detak jantung Ricko yang berdetak dengan sangat cepat. Aku menyukai detak itu, itu adalah bukti bahwa dia benar-benar menyukaiku. Detaknya sangat berbeda dari detak jantung Devan ketika kusandarkan kepalaku pada dada bidangnya, jantungnya sangat tenang seperti pemiliknya.
Entah mengapa aku jadi selalu membandingkan setiap hal dengan Devan.
"Ko, bawa saya ketemu ibu kamu. Katanya ibu lagi bikin kue yah? Saya suka banget bikin kue tahu” ucapku setelah melepas pelukan dari Ricko.
Ricko mengangguk, mukanya begitu berseri dengan dihiasi seulas senyuman lebar dan mata teduh. Aku yakin dia tengah bahagia saat ini, karena ekspresi yang baru saja aku lihat, sama sekali belum pernah Ricko tunjukan di kelas sebelumnya.
“Yuk” ajak Ricko sembari menarik lenganku yang tertutup jaket lepis panjang, untunglah dia tak melupakan batasannya.
Devan menahan lenganku yang bebas dari tangan Ricko. "Saya.Bilang.Pulang.Aulia.Renata” ucap Devan dengan pelan namun syarat akan penekanan.
Aku menoleh kebelakang, melihat wajah Devan yang tak menatapku namun masih menggenggam tanganku dengan erat.
“Lepas Van! Sakit” lirihku.
Devan tak menggubris ucapanku, dia menarik lenganku dengan kasar. Membuat tanganku terbebas dari genggaman Ricko yang begitu lembut. Setelah itu Devan menarikku menuju ke mobilnya. Tunggu, bukankah mobilnya berada di rumah mami dan papinya Devan, lalu darimana dia dapat mobil itu?.
“Nurut, kalau masih mau melindungi cowok lembek itu” ucapnya sembari menatapku dengan tajam, yang membuat nyaliku menciut seketika.
Devan melajukan mobilnya dan membawaku pulang ke tahanan, bukannya rumah. Karena rumah adalah tempatku untuk pulang, tapi yang seharusnya menjadi rumahku justru lebih memilih menjadi rumah bagi wanita lain, dan tanpa belas kasih dia menjadikanku sebagai tameng sekaligus tahanan nya.
Aku menoleh kearah Ricko yang masih berusaha menghampiriku. Aku menatap matanya yang juga menatap mata berkaca-kacaku, kuisyaratkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Dan setelah mendapatkan maksud dari isyaratku, Ricko berhenti mengejar mobil kami. Dan saat itu juga, Devan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Orangtua kita ada di rumah. Jadi bersikaplah seakan semuanya baik-baik saja” ucap Devan dengan tatapan yang terfokus pada jalanan di depannya.
“Kenapa ngga bilang dari awal? Kan ngga perlu narik-narik gini, sama aja kakak udah KDRT tahu!” protesku.
“Ya saya minta maaf, saya juga ngga tahu kenapa saya bisa sekesal itu sama kamu”.
Aku mencebik kesal mendengar alasan yang tidak masuk akal itu “Pokoknya kakak harus tanggungjawab!!”
Devan menoleh kearahku sekilas sembari terkekeh "Haha...Tadi saya baru wacana loh buat punya baby, apa langsung jadi cuma karena ucapan saya?”
“Devan!!!” ucapku sembari memukul lengan Devan.
Aku mengalihkan pandanganku ke samping, pemandangan di luar jendela mobil sangat baik untuk meredam semburat merah yang menguar disekitar pipiku. Devan kembali menghidupkan rasa bahagia itu, meskipun aku tahu jika itu hanya omong kosong darinya. Devan kembali membuatku berharap pada masa depan kami berdua.
Jika dunia kecewa akan sikapku yang sangat mudah luluh hanya karena perubahan sikap dia, maka aku jauh lebih kecewa dengan diriku sendiri yang begitu lemah. Tapi mau bagaimana lagi? Tuhan telah menciptakanku sebagai salah satu dari perempuan di muka bumi yang selalu menggunakan perasaan di setiap saat.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain