Jangan memberi perhatian, jika belum sanggup mengindahkan sebuah harapan.
~
Saat senja mulai menampakkan keindahan nya ke mata dunia, aku baru saja sampai di depan rumahku. Rumah yang cukup sederhana, namun terasa begitu hangat. Ricko mengantarku pulang dengan menggunakan mobil Kenzo. Entahlah, sebenarnya aku tidak mengenal betul siapa itu Kenzo Kalandra. Tapi satu hal yang ku tahu pasti, bahwa Kenzo adalah salah satu dari kakaknya Dewa yang mengenyam pendidikan di kampus Untirta.
“Makasih udah nganterin saya Ko” ucapku yang diakhiri oleh seulas senyuman tipis.
Ricko melepaskan seatbelt nya, begitu pun denganku. Dia turun lebih dulu, membukakkan pintu mobil untukku seperti menyambut seorang ratu. Begitu pintu mobil terbuka, aku bergegas keluar karena tak ingin berlama-lama berada di luar rumah. Sebab, merindukan kehangatan rumah sudah menjadi kebiasaan ku saat aku sedang merasa tidak enak badan.
Aku bukan orang yang dapat pulih dalam waktu cepat, butuh waktu satu minggu untuk pemulihan dari setiap penyakit yang menyerangku. Aku hanya berusaha terlihat baik-baik saja di depan Ricko, aku tidak ingin dia merasa khawatir dan bertahan di sini lebih lama. Ayolah, aku ingin segera masuk ke dalam rumah.
“Kamu baik-baik aja Ta?” tanya Ricko sembari menangkup wajahku dan menelitinya. Tuh kan! Tak butuh waktu lama, dia sudah mulai menyadari perubahan pada wajahku.
Aku melepaskan tangan Ricko dari wajahku, entah mengapa aku merasa sangat risih dengan sentuhan dan juga kehadiran nya. Ini aneh, padahal biasanya aku lebih senang di manja ketika sedang sakit.
“Aku baik-baik aja kok, ngga usah khawatir yah” ucapku dengan lembut, berusaha meyakinkan Ricko agar segera pergi.
“Yaudah aku pergi yah” pamit Ricko.
Aku menganggukkan kepala dengan cepat, sebagai pertanda sangat menyetujui permintaan Ricko. Dan sepertinya Ricko menangkap sinyal pengusiran dariku, buktinya tanpa menoleh ke belakang dia langsung kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya entah kemana.
Setelah melihat mobil Ricko benar-benar menghilang dari pandanganku, akhirnya aku menggiring langkahku dengan tertatih-tatih memasuki rumah. Perutku sangat sakit kali ini, aku kehilangan tenaga saat itu juga. Dan hal terakhir yang bisa ku lakukan saat itu adalah, berjalan sembari bertumpu pada kekokohan tembok rumahku.
“Darimana aja?”
Ah, suara menyebalkan itu lagi.
Aku menoleh sekilas ke arah Devan yang tengah berdiri di anak tangga dengan tangan bersidekap di depan dada, sungguh menampilkan visual yang begitu tegas dan menyeramkan.
“Baru selesai tadi” ucapku acuh. Aku tak perduli dengan kehadirannya saat ini, karena tujuanku sekarang hanyalah merebahkan diri di kamarku.
Kulirik tatapannya menajam dan begitu mengintimidasi.
“Saya panitianya aja udah pulang dari 2 jam yang lalu, trus situ kemana aja?” ucapnya dengan suara datar namun terdengar begitu tegas.
Aku mendesis ketika sakit perut itu tiba-tiba menyerang. “Ssss,,,tadi di suruh ke sekolah lagi buat nyerahin formulir”
“Situ kan penerima beasiswa, kenapa harus isi formulir juga?”
Seperti yang kuduga, dia bahkan tak menangkap kode yang tuhan berikan. Padahal tuhan sudah membuatku terpaksa mendesis di waktu yang tepat tadi.
“Yah ngga tahu! formalitas doang kali” ucapku, antara kesal dan juga menahan rasa sakit.
“Bukannya pacaran?” selidik Devan.
Huekkk!!
Akhirnya aku mengeluarkan semua makananku tadi siang ke lantai, tepat sebelum aku mencapai anak tangga di mana Devan tengah berdiri mengintrogasi. Tubuhku hampir saja ambruk, jika saja tangan kokoh Devan tidak sigap menopang tubuhku.
“Kamu sakit?” tanya Devan.
Aku senang karena ini pertamakalinya Devan memanggilku dengan sebutan kamu, tapi aku terlalu lemah untuk sekedar menjawab pertanyaan yang dia ajukan.
Keringat mulai membasahi wajahku, suhu tubuhku juga semakin meningkat yang membuatku mengeluarkan air mata.
“Ayo ke kamar aja, kuat jalan ngga?” tanya Devan yang ku jawab dengan gelengan kepala. Ini bukan modus, tapi tulang kakiku benar-benar melunak saat ini.
Tanpa aba-aba Devan menggendongku ala bridal style, aku juga refleks mengalungkan tanganku pada lehernya sebagai antisipasi takut saja dia berubah fikiran dan menjatuhkanku dengan tiba-tiba.
Entah keberanian darimana, aku mengistirahatkan kepala peningku pada dada bidang Devan yang menawarkan kenyamanan. Dari posisi ini aku bisa mendengar detak jantung Devan yang berpacu dengan cukup teratur, bahkan aku juga bisa merasakan kehangatan yang menguar dari tubuh Devan.
Setelah menaiki belasan anak tangga, Devan menurunkanku sejenak untuk membuka pintu kamar. Setelah itu dia kembali mengangkatku dan membawaku ke kamar mandi di kamar kami. Dia mendudukanku di wastafel dan membersihkan wajahku dengan telaten. Aku salut padanya yang membersihkan sisa muntahan disekitar wajahku, tanpa ada rasa jijik sedikitpun.
Setelah selesai membersihkan wajahku, dia pergi keluar kamar mandi, meninggalkan aku yang masih setia terduduk di westafel dengan kebingungan yang haqiqi.
Tak lama kemudian dia kembali masuk ke dalam kamar mandi, dengan membawa handuk putih kecil yang dia sampirkan di tangan kirinya. Dengan sigap dia membasahi handuk itu dengan air, dia mengelapi leher juga tanganku dengan telaten. Aku tak melepaskan kalungan tanganku pada lehernya, jadi wajah kami selalu sejajar setiap kali dia membersihkan leher juga tanganku.
“Mau semuanya?” tanyanya sembari membalas tatapanku. Dan hal itu tentu saja membuatku bergidik ngeri.
“Ngga” tolak ku dengan cepat.
Dia terkekeh “Kamu kok bisa mual sih? Kita aja belum ngapa-ngapain loh”
Aku membelalakan kedua mataku saat menyadari maksud dari ucapan Devan. Dan tanpa fikir panjang aku langsung melempar handuk putih itu tepat ke wajah mulus Devan “Astagfirullah fikirannya!! Saya mual itu gara-gara magh saya kambuh”
“Oh. tadi ngga makan?”
Aku menggeleng pelan “Lupa”
“Harusnya tadi pulangnya sama saya, pasti ngg-”
Sebelum Devan menyelesaikan ucapan nya, dengan sigap aku menutup kupingku menggunakan kedua tanganku, aku tak ingin mendengar ceramah nya saat ini “Iya saya salah, saya lemes banget nih pengen rebahan”.
"Yaudah, ganti baju dulu nih” ucapnya sembari memberikan kaos oversize lengan pendek dan juga celana bahan pendek milik ku.
"Kenapa ngga piyama aja sih?” protesku.
Mata nya mulai terlihat gusar, entah apa yang ada di fikirannya saat itu.
“Ini kan longgar, biar nyaman” ucap Devan pada akhirnya.
Dengan cemberut aku mengambil satu set pakaian yang sudah Devan siapkan itu.
"Yaudah, sana keluar” titahku.
"Hmm, nanti kalo udah selesai panggil aja”.
Aku mengernyit bingung "Dih, buat apaan?”
“Kasih penilaian!” ucap Devan dengan wajah datar nya.
Aku memukul manja bahu Devan. "Yang bener kak!”
Devan menghembuskan nafas kasar, mungkin dia sudah lelah meladeni tingkah kekanakkan ku “Kamu emang udah bisa jalan?”
Aku tersenyum menampilkan deretan gigi putihku sembari menggelengkan kepala
“Gendong”.
"Manja” gumam nya sebelum pergi ke luar kamar mandi, membiarkanku untuk mengganti pakaianku sendiri.
***
Setelah 15 menit berselang aku memanggil Devan, dan dengan sigapnya dia menggendongku dan merebahkanku di ranjang kami.
Setelah memastikan posisiku cukup nyaman, Devan hendak beranjak pergi jika saja aku tak menahan lengannya sebelum benar-benar meninggalkan tubuhku.
“Mau kemana?”
Devan menoleh kebelakang. "Mau bersihin makanan yang belum tercerna sama kamu di bawah”
Dengan cepat aku melepas genggamanku dari lengan nya "Oh”
Devan mengangkat sebelah alisnya "Mau bantuin?”
Aku yang membayangkan hal itu pun langsung bergidik ngeri
“Ngga deh, jijik” tolak ku.
Devan terkekeh sejenak dan mengacak rambutku yang sudah tak tertutup kerudung "Hehe...Itu kan sampah kamu loh, masa ngga mau bersihin”
Aku menampilkan cengiran bodohku "Kakak aja deh”
“Yaudah, baik-baik disini yah. Nanti sekalian saya bawain makanan sama obatnya kesini” ucapnya dengan lembut.
Aku mengangguk "Siapa yang masak? Kan kita ngga ada asisten rumah tangga”
"Saya” jawab Devan, singkat, padat dan jelas
“Ikut dong! kapan lagi bisa wujudin mimpi” ucapku dengan penuh keantusiasan
“Mimpi apa?”
“Mimpi ngeliat cowok ganteng masak pake apron”.
Entah bagaimana kata-kata rahasia itu lolos begitu saja dari bibir ku.
"Jadi saya ganteng, hmm?” tanya nya sembari memainkan alisnya.
Aku jadi salah tingkah sendiri karena ulah Devan "Ngga tahu lah”
Devan tersenyum tipis "Yaudah, tapi bantuin beresin sampah kamu dulu kalau mau lihat saya masak”
Aku menautkan kedua alisku, sedangkan bibirku ku tekuk cemberut "Yah...Nanti ngga nafsu makan dong kak” rengekku.
Devan lagi lagi terkekeh dengan gurih nya "Yaudah disini aja, kalo mau lihat saya live masak nanti kalo udah sehat saya masakin lagi”
Keantusiasan terbit lagi di jiwaku “janji yah?”
"Hmm” ucapnya sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu kamar.
***
Setelah setengah jam menunggu, Devan kembali ke kamar kami dengan membawa nampan besar berisi 2 piring nasi goreng dan 2 gelas air putih. Devan membantuku untuk bangun dan duduk bersandar dengan bantal sebagai ganjalan.
“Nih makan” ucapnya sembari menaruh nampan itu di atas pangkuanku.
Devan naik ke atas ranjang dan duduk menghadap kearahku. Kami makan dalam keadaan hikmat dengan kakiku yang di selonjorkan sebagai mejanya.
“Kak” aku memutuskan untuk membuka suara.
"hmm?”
Aku menatapnya yang juga menatapku “Kita itu dosa yah kak? Kita udah punya pasangan yang sah tapi malah sibuk sama pasangan yang lain”
Devan berhenti menatapku, tangan nya sibuk memainkan nasi yang ada di piring nya.
"Iya sih” ucapnya setelah sekian lama.
Aku meneguk air putih, sebelum memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang mungkin saja jawaban nya akan menyakiti hatiku lagi
"Gimana kalau kita udahin aja kayak gininya”
Devan menatapku lagi, namun raut kebingungan tercetak jelas pada wajah tampan nya "Maksudnya?”
“Ya kita coba untuk saling menerima, mungkin pelan-pelan juga akan terbiasa” jelasku.
Devan kembali berhenti menatapku, dia mengalihkan pandangan pada piringnya yang sudah bersih tak tersisa “Kan emang saya lagi proses tentang masalah itu”
Aku menaruh sendok dan garpu ku, bermaksud untuk menyudahi acara makan ku dan berusaha hanya terfokus pada obrolan saat ini
"Kalo omongan doang tanpa bukti nyata percuma juga kak” ucapku tanpa berani menatap Devan, dari suara yang ku hasilkan memang orang awam pun akan mengerti bahwa aku tengah kecewa pada hasil nya.
"Terus kamu maunya gimana?” ucap Devan sebelum menenggak segelas air putih milik nya.
"Kita tinggalin pasangan masing-masing” ucapku dengan cepat, tanpa perlu berfikir lama-lama.
Uhuk!
Devan tersedak oleh air yang sebenarnya tidak memiliki alasan kuat untuk tersangkut di tenggorokan nya.
"Kamu serius?” tanya Devan setelah batuknya mereda.
"Iya” jawabku tanpa fikir panjang lagi.
Mata Devan menerawang ke depan, dia terlihat bingung dan tengah berfikir dengan keras.
"Kita omongin lagi nanti yah” ucapnya sembari menatapku dengan lembut, mencoba memeberiku pengertian.
"Kakak kan sekarang udah manggil saya dengan sebutan kamu. Itu kan suatu progres yang bagus kak, berarti udah ada kemajuan kan?” ucapku mendesak, aku tak ingin kehilangan setiap kesempatan untuk meyakinkan Devan.
Devan berdehem sejenak "Itu karena saya panik tadi, kamu pucet banget gitu” sanggah Devan.
Rasa kecewa yang tak dapat ku tekan saat mendapat sanggahan dari Devan, membuatku meluapkannya menjadi emosi yang tak terkendali "Ya saya ngga perduli alasannya apa, intinya kakak mau nyoba atau ngga?! Udah itu aja” ucapku dengan sedikit meninggikan suaraku.
Tok tok!!
"Ada tamu di luar, saya bukain pintu dulu” ucap Devan yang mengambil langkah seribu untuk meninggalkanku sendiri di kamar kami.
Hatiku sedikit sakit, sudah jelas terlihat jika Devan menghindar untuk menjawab pertanyaan yang ku lontarkan tadi. Padahal itu adalah pertanyaan yang mudah, jika saja aku memiliki sedikit tempat di hatinya.
Ini sudah 20 menit berselang, tapi Devan tak kunjung kembali ke kamar kami. Aku penasaran dan memutuskan untuk menyusulnya dan melihat siapakah yang bertamu semalam ini.
Langkah kakiku terhenti di ruang tamu, tepat sebelum aku menghampiri Devan yang tengah berdiri diantara pintu masuk dan halaman luar. Air mataku lagi-lagi menetes, tangan mungil yang memeluk erat tubuh Devan membuatku memundurkan langkah secara perlahan.
"Kenapa sesakit ini?” batinku.
Tunggu, ini bukan salah Devan. Ini salahku, yang salah mengartikan perhatian Devan. Ini juga salahku, yang terlalu berharap lebih pada hati yang tak mau berpindah.
Aku berjalan mundur dengan hati-hati agar Devan tidak melihatku, namun sialnya dewi fortuna tidak berpihak padaku saat ini. Aku terjatuh ke lantai karena terselandung ujung sofa.
Devan dan Luna kompak menoleh kearahku sebentar, sebelum mereka melanjutkan pembicaraan mereka yang sempat tertunda karena kegaduhan yang kubuat. Sungguh miris bukan? jika saja kakiku tidak lemas, sudah kupastikan aku akan berlari ke kamar dan mengunci pintu dengan rapat.
Selang lima menit, Devan akhirnya berjalan kearahku yang masih setia terduduk di lantai. Devan berjongkok di depanku.
“Saya mau nganter Luna pulang dulu, kasihan dia lagi sedih. Situ tidur aja, ngga usah tungguin saya pulang. Soalnya saya juga ngga tahu akan pulang atau ngga”.
Aku menatap nanar kearah Devan. Rasa sedih, marah, kecewa, dan tidak terima bercampur aduk menjadi satu di hatiku.
“Terserah, saya ngga perduli”
Devan tak menggubris ucapanku, dia hanya menatapku sejenak lalu memutuskan untuk meninggalkanku sendirian.
Sekarang, ini semua salah Devan. Salah dia yang telah membuatku jatuh cinta dan berharap lebih pada nya. Tapi sekarang, mozaik itu sudah tertutup rapat karena rasa kecewa yang terus menerus dia berikan. Aku menyerah, aku tak ingin mencintai Devan lagi. Tak akan ada lagi harap serta do'aku untuknya, aku telah membekukan rasaku padanya.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain