"Minggir kau, Kalandra! Jangan halangi jalanku!"
"Seenaknya saja kau menggendong Rosalina seperti itu--"
"Apa katamu? Rosalina?! Kau camkan kata-kataku. Dia Cornelia! Bukan Rosalina seperti yang kau katakan!"
Tuan Mahawira melanjutkan langkah. Sedangkan aku begitu nyaman ada di punggung bidang pria itu. Rasanya aku mau seperti ini selamanya dan tak mau beranjak sedetik pun.
"Jangan ikuti kami, Kalandra tengik!"
"Memangnya apa hakmu melarangku?"
"Kau ingat pernah menjelek-jelekkan Cornelia? Itulah kenapa kau tidak berhak mengikuti ke mana aku dan Cornelia pergi!"
"Baiklah, aku m-minta maaf."
"Aku tidak peduli permintaan maafmu. Segeralah enyah dari pandanganku."
"Bodoh! Aku tidak minta maaf denganmu, Mahawira! C-Cornelia ... m-maafkan aku."
Aku langsung menoleh ke arah Tuan Kalandra yang berjalan di sebelah kanan Tuan Mahawira.
"Hmm, iya. Hamba--"
"Sebentar. Mulai sekarang, jangan bicara terlalu formal denganku, C-Cornelia."
Kenapa juga Kalandra tengik ini terlihat malu-malu. Dia seperti perempuan saja. Menjijikkan sekali.
"Baik, Tuan. Aku sudah memaafkan Tuan."
"Yang benar?!" Tuan Kalandra tampak semringah.
"Hei, Cornelia! Kenapa kau memaafkannya secepat itu? Kau harusnya memberikan dia hukuman terlebih dulu."
"Diam kau, Mahawira tengik! Aku tidak ingin bicara denganmu."
Aku mengembuskan napas panjang. "Baiklah. Begini saja. Aku memaafkan Tuan Kalandra, tapi bagaimana kalau Tuan Kalandra membuktikan keseriusan Tuan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan Tuan?" tawarku.
Sebenarnya ide yang bagus juga untuk menghukum lelaki itu. Karenanya, aku punya ide untuk memanfaatkan keadaan.
Hihihi. Akan kukerjai kau, Tuan Sombong!
"Aku bersedia. Apa yang bisa kulakukan untukmu, Cornelia?"
"Yang mudah-mudah saja." Aku coba berpikir sambil meletakkan jari telunjuk di dagu runcingku. "Kau harus membantu Tuan Mahawira."
"Apa?!" Tuan Mahawira dan Kalandra serentak terkejut.
"Aku? M-membantu Mahawira? Untuk apa?! Seharusnya aku melakukan sesuatu untukmu, Cornelia. Bukan untuk si Mahawira tengik."
"Bukankah aku yang meminta Tuan? Artinya, Tuan membantuku mengabulkan keinginan agar Tuan membantu Tuan Mahawira."
Pangeran Kalandra mengernyitkan dahi, lalu mengembuskan napas panjang.
"Baiklah."
"Tapi aku tidak akan mau dia membantuku!" tegas tuanku.
"Tuan, ayolah. Tidak ada gunanya lagi Tuan bertengkar dengan Pangeran Kalandra. Lakukanlah sesuatu yang bisa membuat ikatan kalian bertambah erat," jelasku.
Aduh, kenapa aku jadi seperti orang tua mereka? Terserah sajalah. Lagi pula, aku tidak peduli dengan Pangeran Kalandra. Yang kupedulikan itu hanya--
"Hei, Cornelia!"
Tuan Mahawira menghamburkan khayalanku.
"Turun sejenak. Aku cukup lelah karena badanmu berat sekali."
Tanganku refleks melayang, lalu mendarat di bahu pria itu. "Aku tidak berat!" tegasku.
"Eh? Kau kenapa? Kenapa kau jadi marah seperti itu? Memangnya aku salah?" Tuan Mahawira mengerutkan dahi, seolah-olah tidak tahu kesalahannya. Atau memang karena dia tidak tahu? Entahlah, semua pria memang seperti itu.
"Tahu, ah." Aku melengos sambil mencebikkan bibirku.
Sementara itu, Tuan Kalandra mendekat. "Cornelia, kau denganku saja. Aku lebih kuat dari Mahawira," bisik sang pangeran tajam.
Dahiku mengerut.
Pria ini menjijikkan sekali.
"Ayo, Cornelia! Aku masih kuat. Naiklah ke punggungku."
"Tidak, Tuan. Maaf ...."
Segera aku menjauh dari Tuan Kalandra, lalu mendekat lagi ke tuanku yang sebenarnya. Kulihat Tuan Kalandra menampakkan ekspresi kekecewaan. Namun, aku tidak begitu peduli.
Sedari tadi, aku hanya melihat Tuan Mahawira menunduk sambil menumpu tangannya di sebuah pohon. Diriku tak tahu apa yang ia lakukan.
"Tuan?"
Segerapa kuintip wajah pria itu.
"Astaga! Tuan!" teriakku panik setelah melihat Tuan Mahawira ternyata muntah-muntah. Bahkan hal yang lebih membuatku khawatir, tuanku memuntahkan cairan kental berwarna merah.
"Kau kenapa, Tuan?" tanyaku sambil menahan tubuh tuanku. Terlihat jelas Tuan Mahawira semakin lemah. Tubuhku berkali-kali hampir saja roboh.
Kutempelkan telapak tangan di dahi Tuan Mahawira, begitu panas hingga membuatku semakin panik.
"Tidak perlu panik," katanya sempoyongan sambil memegang bahuku.
"T-tapi, Tuan. Bagaimana aku tidak khawatir dengan keadaan Tuan yang seperti ini?!"
"Sudah--"
Tuan Mahawira hampir saja terjatuh, tetapi segera aku tangkap dan jatuh ke pelukanku.
"Tuan Kalandra! Bantu aku!" panggilku berteriak karena sang pangeran berada cukup jauh dari tempatku berada.
Segera sang pengeran berlari dan membantuku membawa Tuan Mahawira.
----------------------
Setelah berhasil membawa Tuan Mahawira ke penginapan, aku ke sana kemari untuk mencarikan tuanku tanaman obat. Untung saja, di pasar banyak yang berjualan sehingga tidak membuatku terlalu panik.
Setelah selesai menumbuk tanaman-tanaman itu, kutempelkan di kening Tuan Mahawira dan meletakkan kain di atasnya yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat.
Kulihat Tuan Mahawira begitu kedinginan sehingga kuambilkan lagi sehelai selimut.
"Aduh, Tuan. Sebenarnya Tuan kenapa?" tanyaku sambil menelungkup pria itu dengan selimut tebal yang disediakan oleh penginapan.
"Gimana Mahawira?" tanya Pangeran Kalandra yang baru saja masuk.
"Badannya tambah panas, Tuan. Aku ... aku tidak tahu harus gimana." Serasa air mataku ingin tumpah. Adalah hal tersedih yang aku alami saat tuanku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Sepertinya dia terkena racun dari senjata musuh dari pertarungan sebelumnya. Kau sudah tempelkan obat di lukanya?"
"Sudah, Tuan. Di tangannya ada dua luka sabetan, aku sudah menutup dan mengikatnya dengan kain."
"Baguslah kalau begitu. Sekarang, tenanglah. Percaya saja dia akan baik-baik saja."
Aku mengangguk pelan meskipun sebenarnya hati tak akan pernah bisa tenang. Tidak akan pernah.
Pangeran Kalandra keluar dari penginapan, meninggalkan diriku menjaga Tuan Mahawira.
Kucoba lagi memastikan suhu tubuh tuanku, tapi nyatanya tidak ada perubahan. Ia terus menggigil kedinginan, bibirnya bergetar, pucat dan kering.
Ya, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Tolong, Tuhan. Sembuhkanlah Tuan Mahawira.
Tangisku akhirnya tumpah tanpa bisa ditahan oleh pelupuk. Menganak sungai, tersedu membayangkan pria itu mengalami hal seperti saat ini.
Setelah berpikir cukup lama, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh untuk kulakukan. Namun, demi kesehatan pria itu, aku rela melakukannya. Aku rela melakukan hal yang tidak pantas dan begitu lancang padanya.
Kulepaskan mantel, lalu membuka beberapa kain yang membalut tubuh satu per satu. Bersamaan dengan menitiknya air mata di lantai kayu, aku masuk ke selimut dan memeluk tuanku agar tidak lagi merasakan dingin yang menyiksa.
Tuan, bolehkah aku menjadi mentari untuk menghangatkanmu? Jika boleh, aku bersedia untuk selamanya menemani. Tuan, tolong, rasakan kehangatan yang aku berikan. Maafkan jika aku terlalu lancang.
Kupejamkan kedua mata, lalu memeluk Tuan Mahawira seerat-eratnya. Air mata masih berjatuhan seolah hujan yang merindukan bumi.
Tidurlah dalam buaian hangatnya kasihku, Tuan Mahawira ....
------------------
Membuka mata, kulihat ruangan sudah diterangi cahaya mentari yang menelusup dari jendela. Namun, tak kurasakan adanya Tuan Mahawira seperti bagaimana aku memeluknya tadi malam. Saat kuperiksa, pria itu lenyap dan hanya meninggalkan kain yang kugunakan untuk mengompresnya.
Aku beranjak. Kulihat mantel dan kimono milikku sudah terlipat rapi di atas kursi. Segera kukenakan, lalu keluar dari penginapan.
"Tuan! Tuan Mahawira!" teriakku sepanjang ruangan yang kulewati.
Sampai di luar penginapan pun aku tidak menemukan tuanku. Hal itu membuatku lagi-lagi dirundung kesedihan. Saat sedikit lagi air mata menitik, sebuah tangan menepuk pundakku.
Sambil membalik badan, aku semringah. "Tuan Maha--"
Ternyata hanya Tuan Kalandra. Aku sedikit kecewa.
Setelah cukup lama hening, Pangeran Kalandra mengisyaratkan dengan menggerakkan kepala ke kanan. Bola mataku beralih, lalu kulihat Tuan Mahawira dari kejauhan tengah membawa dua ekor kijang di pundaknya.
Senyumku mengembang, air mata haru menitik. Hanya sesaat hingga ekspresiku berubah.
Ya, ampun. Aku lupa! Kejadian semalam pasti akan dia tanyakan. Aku harus cepat-cepat pergi!
Saat akan mengangkat langkah, Tuan Mahawira menyerukan namaku sehingga urung.
"Kau kenapa, Cornelia? Apa semalam tidurmu nyenyak?" tanyanya seolah tidak pernah terjadi apa pun antara diriku dengannya.
Kenapa aku lebih kesal saat dia bertingkah seolah-olah tidak tahu apa-apa?! Menyebalkan! Menyebalkan! Aku ingin menjambak rambutnya, lalu membenturkan kepalanya ke dinding!
"Nye-nyenyak, T-Tuan," jawabku sembari mengangguk.
"Oh, baguslah."
Ketika kulirikkan bola mata, kulihat Tuan Kalandra jadi agak pendiam. Raut wajahnya pun tidak seperti sebelumnya.
"Maaf, aku ... mencari makanan dulu. Nanti akan kubawakan juga untuk kalian."
Dilangkahkan kaki oleh sang pangeran. Tuan Mahawira mengernyitkan dahi.
"Tumben si Kalandra tengik itu bersikap baik."
"Mungkin sedang lapar, Tuan."
"Oh, ya. Apa Birendra belum juga kembali dari tempat kemarin?"
"Aku tidak tahu. Sepertinya memang belum kembali."
"Aneh. Kalau begitu, ayo, kita berikan kijang-kijang ini ke pemilik penginapan."
Aku mengangguk dan mengikuti langkah Tuan Mahawira.
----------------------
Pada malamnya, saat akan tidur, pikiranku tak hentinya mengingat perbuatan memalukanku. Kelembutan tubuh Tuan Mahawira seolah-olah masih terasa di setiap inci kulitku. Tak dapat kuhilangkan sekuat apa pun aku berusaha melupakannya.
Aduh, kenapa aku jadi berpikir jorok seperti ini?! Cornelia! Ayolah, lupakan soal kejadian itu! Fokus, lalu tidur!
Kamarku dan kamar Tuan Mahawira berada di satu ruangan, hanya dibatasi oleh dinding kayu. Tentu, jika aku ingin ke kamar pria itu, aku bisa dengan mudah melakukannya. Hanya melewati pintu, maka aku akan bisa melihat wajah menggemaskan tuanku itu saat tidur.
Entahlah, keinginan untuk melihat wajah menggemaskan Tuan Mahawira tiba-tiba saja muncul di benakku. Pikiranku sudah mulai tidak waras semenjak aku memberikan ... kehangatan untuk tuanku itu.
Saat aku melangkah menuju pintu untuk menuruti kata hari melihat Tuan Mahawira tidur, tiba-tiba aku dipertemukan dengannya.
"T-Tuan," kataku lirih sambil malu-malu.
"Kau mau ke mana?" tanyanya penuh selidik..
"Kau juga mau ke mana?" Dia malah bertanya balik.
"Hmm ... anu ... anu ...."
Aku terkejut seketika Tuan Mahawira meraih tanganku dan memegangnya dengan dua tangan. Wajah masih kuhindarkan dari pandangannya.
"K-kenapa, Tuan?"
"Terima kasih karena sudah memberikanku kehangatan."
Degup jantung berontak tak menentu. Napasku menderu hebat. Aku memberanikan diri menatap matanya yang tajam seperti elang.
"Maukah kau ... melakukannya sekali lagi denganku?"
Seketika semua yang kulihat menggelap, yang ada hanya aku dan tuan tampanku di sebuah kehampaan.
-------------------
Perfect. Awalnya aku berpikir di chap dua Mahawira mengajak Cornelia kabur adalah dipaksakan dan janggal, tapi sepertinya tidak dan akan terjawab chap selanjutnya.
Comment on chapter BAB 3: Pelukan Hangat TuankuAku bukan fans cerita romance, dalam genre ini aku sangat pilih-pilih. Namun aku jadikan ini roman story pilihanku, ya :D
Serius, aku suka banget. Kasih tahu aku tiap kali up ya. Aku akan kasih rev kalau sudah jauh. Salam dan terus berkarya dengan luar biasa!