“Kalian pada tahu nggak kelas si cowok kulkas itu di mana?” tanya Melani pada dua sahabatnya saat berada di kantin sambil menikmati cilok lezat buatan Bi Suti.
“Kalau nggak salah, sih, dia itu di kelas XI A. Iya, deh. Emang mau ngapain?”
“Pasti mau gangguin anak orang lagi, kan?” celetuk Rahma yang sedari tadi fokus menelan habis kuah Bakso miliknya.
“Gue balik dulu.” Melani beranjak bangkit dan melangkah pergi.
“Eh, Mel! Lo mau ke mana?! Ini siapa yang bayar? Lo, kan, udah janji tadi mau traktir kita.”
Meski berteriak keras, Melani tak menggubris Neha sambil terus berlalu pergi menuju kelas XI A, yaitu kelas Arga berada.
Dari balik-balik kaca jendela kelas XI A, Melani menerawang sosok tubuh yang dikenalnya. Setelah ia temukan, Melani semringah dan segera masuk tanpa permisi menuju kelas tersebut meskipun sedang ramai.
Arga terlihat sedang membaringkan kepalanya di atas meja sambil mendengar lagu dengan earphone berwarna merah yang tak pernah lupa ia bawa ke sekolah.
“WOI!” Melani berteriak seraya menepuk punggung Arga, membuat lelaki tersebut terhenyak seketika duduk tegak.
Yang ia lihat adalah Melani, seorang gadis yang sangat menyebalkan baginya. Mulai sudah, ketika gadis itu terlihat di matanya, Arga selalu saja mengerutkan dahi, menatap tidak suka, atau kesal lebih tepatnya. Arga melepas earphone dari telinganya.
“Apa-apaan, sih?!” tanya Arga ketus. Seperti biasa tanpa menatap ke arah Melani sembari mendengkus gusar.
“Nggak ada. Gue kangen sama lo. Sana geser, gue mau duduk.”
Padahal, Melani tahu kursi yang diduduki oleh Arga hanya satu, tetapi gadis itu sepertinya tidak peduli dan bersikeras mendorong tubuh Arga untuk sedikit menggeser pantatnya. Arga tidak punya pilihan selain menuruti kemauan gadis itu hingga akhirnya Melani terduduk berdempetan dengannya.
Arga merasa sangat canggung, tetapi tidak dengan Melani.
“Eh, dengerin musik apa, sih?” tanya Melani.
“Bukan musik apa-apa,” jawab Arga. Ia tampak gemetar, bahkan Melani menyadari hal tersebut.
“Kenapa gemetar?” Melani bertanya, justru membuat Arga semakin kesal karena gadis itu sama sekali tidak peka dengan suasana yang berlangsung.
“Ng-nggak. Gue nggak gemetar.”
“Sini pinjem earphone lo.”
Melani mengambil alih earphone yang menggantung di leher Arga, lalu memasang di telinganya.
“Oh, jadi lo suka musik-musik klasik kayak gini, ya?” Melani menukas, tak sadar suaranya begitu keras dan membuat teman-teman sekelas Arga menatap aneh ke arahnya.
“Iya,” jawab Arga singkat.
“Lo kenapa, sih? Jutek banget, deh.” Melani melepaskan earphone dan mengembalikannya pada Arga.
“Gue nggak jutek.”
“Nggak jutek gimana? Jelas-jelas lo kalau gue tanya, jawabnya singkat mulu. Ketus mulu.” Melani memiringkan senyumnya sambil menatap Arga yang sama sekali tertunduk.
Arga terdiam, senyap.
“Nanti pulang sekolah, gue mau ke rumah lo. Boleh, ya?” pinta Melani serius.
“Mau ngapain ke rumah gue?”
“Gue mau paksa elo buat main gitar di depan gue.” Gadis itu tersenyum lebar kemudian.
“Kalau gitu gue males!” Arga mendelik tajam.
“Pokoknya gue mau ke rumah lo. Titik!” Melani bangkit dari duduk. “Nanti gue cariin elo pulang sekolah.”
Tanpa menunggu Arga merespons, Melani melangkah pergi, kembali ke kelasnya.
-------
Arga mengendap-endap sambil memperhatikan ke arah gerbang sekolah. Sesekali ia edarkan matanya ke sekeliling. Memastikan bahwa semua aman terkendali. Setelah cukup yakin bahwa Melani ternyata tidak ada di gerbang keluar sekolah, Arga merasa lega dan mulai melanjutkan langkahnya. Sambil berjalan, ia memasang earphone, lalu memutar lagu dari Ipod putih kesayangannya.
Arga memang berharap lebih cepat keluar daripada Melani karena tidak setuju gadis itu untuk berkunjung ke rumahnya.
Beberapa menit berjalan kaki, Arga sampai di jalan komplek perumahannya. Namun, tak disangka-sangka bahwa di depan gerbang rumahnya, Melani ternyata sudah menunggu sambil bersedekap tangan, bersandar pada gerbang.
Arga melangkah dengan cepat, menghampiri Melani yang sudah menyadari dirinya.
“Lo pikir bisa lolos dari gue?” Melani menampilkan seringai di wajah.
Di dalam hati, Arga menggerutu kesal karena ternyata Melani sudah lebih dulu menyadari bahwa Arga pasti akan mencoba melarikan diri darinya.
“Tidak semudah itu, Ferguso!” Melani akhirnya tercengir senang sambil cekikikan melihat ekspresi wajah Arga yang begitu kesal.
“Minggir!” tegas Arga. Melani segera menjauh dari gerbang, membiarkan Arga membuka pintu gerbang tersebut.
Setelah berhasil membuka gerbang, Arga masuk yang kemudian diikuti oleh Melani di belakang.
Arga terhenti setelah sampai di pintu masuk rumahnya. Ia berbalik badan dan menatap Melani.
“Ngapain?” tanyanya dengan sinis.
“Mau masuk ngikut elo.” Melani menjawab yakin.
“Emang gue izinin masuk?”
“Nggak. Tapi terserah gue, dong, mau masuk atau nggak.”
“Loh, tapi ini, kan, rumah gue. Lo nggak bisalah seenaknya—“
“Gue ngikut elo masuk! Titik! Nggak pakai koma! Udah, cepetan buka pintu rumah lo!”
Arga mengembuskan napas pasrah. Tanpa menyuarakan protes lagi, ia membuka pintu rumah dengan sebuah kunci. Kemudian, keduanya masuk.
Setelah itu, Melani tak langsung menunggu di sofa. Ia tetap mengikuti langkah Arga yang masuk ke kamarnya. Jelas, hal ini membuat Arga heran dan kembali menghentikan jejaknya di depan pintu kamar.
“Kok, lo ikut? Lo tunggu aja di sofa,” tandas Arga.
“Nggak! Gue maunya ke kamar lo!”
“Ngeselin banget, sih, lo! Semena-mena banget di rumah gue.”
“Biarin! Pokoknya gue mau masuk ke kamar elo! Cepet buka!”
Setelah Arga membalikkan tubuhnya dengan perasaan kesal, Melani tercengir di belakang, lalu mengikuti Arga masuk.
Di dalam kamar lelaki itu, Melani mengedarkan pandangannya. Melihat-lihat isi kamar Arga yang luas dan bersih. Di dinding-dinding kamar itu, tertempel poster-poster dari musisi terkenal dunia. Ada gitaris andal, yaitu Steve Vai, Jimmi Hendrix, dan lainnya.
Arga duduk di ranjang, kemudian memandangi Melani yang tengah mengedarkan mata ke sekeliling. Saat Melani melihat sebuah gitar Fender di sudut kamar dan ingin mengambilnya, Arga segera melangkah mendekat dan menghentikan tangan gadis tersebut. Arga meraih tangan kanan Melani, saling bersentuhan. Seketika itu, Melani tersentak, lalu perlahan saling bersitatap.
Tak berselang lama, Arga sadar tangannya sedang menggenggam tangan Melani. Ia pun segera melepaskan tangan mungil gadis itu.
“M-maaf,” ucap Arga dengan gugup.
“Iya.” Melani mengangguk pelan.
Aduh, sialan! Kok, gue tiba-tiba gugup gini, ya! batin Melani sambil memejamkan kedua matanya. Beberapa menit kemudian, gadis itu berusaha mengusir perasaan canggung itu dari dirinya.
“Eh, lo mainin gitarnya!” Melani kembali menjadi dirinya yang semula, yaitu menjadi gadis yang begitu ceria, bahkan ia memaksa Arga untuk memainkan gitar miliknya itu.
“Males!” Arga melangkah ke ranjang, langsung membanting tubuhnya di atas tempat tidur.
“Mainin!”
Melani bersikeras, ia menarik-narik tangan Arga dengan keras. “Ayo, mainin! Gue mau dengar suara gitar elo!”
Arga terpaksa bangun dari posisi berbaring. “Eh, lo kenapa, sih, ngotot gitu pengin gue mainin gitarnya?”
“Karena gue suka. Gue itu suka dengar suara gitar lo! Pokoknya elo harus mainin gitar elo sekarang juga!” tegas Melani sambil menatap tajam lelaki di hadapannya.
Arga mendengkus kasar pada akhirnya. Ia pun melangkah, lalu mengambil gitar Fender yang dulu sering ia mainkan. Lelaki tersebut duduk, lalu mencolokkan jack gitar ke amplifier agar suaranya sedikit kencang.
Melani memperhatikan Arga dengan lamat. Ia menanti, lalu duduk bersebelahan dengan Arga.
Sementara, lelaki tersebut masih mengambil napas agar teratur. Ditatapnya senar-senar yang terpasang pada alat musik tersebut. Kemudian, Arga mulai menatap tangan kanannya yang memegang sebuah pick.
“Kenapa?” tanya Melani sambil mengerutkan dahi menatap Arga.
“Gue … nggak bisa. Maaf ….” Arga kembali menundukkan pandangan dengan sedih. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Cukup lama Arga terdiam, tiba-tiba Melani menampar pipi kirinya. Arga terhenyak karenanya, lalu menatap Melani yang ternyata telah ada di hadapannya.
“Elo harus percaya sama diri lo sendiri! Kalau sama diri sendiri aja elo nggak percaya, gimana caranya elo bisa percaya sama orang lain?” Melani masih menatap Arga dengan lamat. “Sekarang, tunjukkin ke gue apa yang lo bisa mainkan. Tunjukkin ke gue kalau irama gitar elo itu bisa membuat gue merasa terbang.”
Jantung Arga terasa berontak, berdegup dua kali lebih cepat. Lidahnya terasa kelu, ia menelannya berat.
Setelah cukup lama terdiam, ada rasa yakin yang tumbuh di benak Arga. Entah mengapa, tetapi dirinya merasa bahwa Melani menularkan semangatnya.
Arga mulai memetik gitar dengan pelan. Pelan, dipetiknya dengan syahdu. Tangan kirinya yang memegang chord, ia mainkan ke sana kemari. Ya, hanya dirinya yang mengerti nada apa yang ia mainkan. Meski begitu, alunan syahdu itu tiba-tiba berubah menjadi ritme yang penuh emosi. Emosional dan dramatic, mampu membuat Melani melayang-layang di udara.
Melani memejamkan matanya. Gadis itu merasa seperti berada di atas cakrawala, terbang. Terbayang-bayang Arga di sana memegang tangannya dengan erat, lalu membawanya ke tempat-tempat indah, terbang, tersenyum, merasakan angin yang begitu sejuk.
Melani hingga tak sadar dirinya sedang tersenyum sambil memejamkan mata di hadapan Arga. Lelaki itu pun terus memetik gitar, tangannya beradu dengan stang gitar, menarikan jari-jemarinya dengan penuh emosi.
Lima menit berlalu, alunan gitar itu ia tuntaskan dengan penutup yang syahdu, perlahan, perlahan, perlahan, suaranya tak lagi terdengar.
Arga membelalak, ia tak percaya dirinya ternyata bisa lagi memainkan gitar. Ketika ia menghadap depan, dilihatnya Melani memejamkan mata.
Setelah Melani membuka matanya, ia sambut tatapan Arga dengan senyum merekah. “Lo bisa.”
“Lo nangis?” Arga bertanya dengan heran karena melihat air mata bersimbah di wajah gadis tersebut.
------