**)
Sunyi dan gelap sudah mengalir menjadi satu. Nyawa malam perlahan melahap keelokan perkasa siang yang lebih angkuh dari sang penciptanya. Mendadak panas, amat panas, lalu hilang tiba-tiba, dan itu membuat para santri yang tengah menjemur pakaian seakan terbodohi. Mereka akan merutuki bola api itu seharian. Mengharapkan dan menolaknya di waktu bersamaan.
Ah, lupakan, tak perlu mengunjing yang telah pergi. Nikmati saja saat ini. Malam menyelimut teramat romantis. Keanggunannya terlalu sayang untuk disiakan.
Jari bergetar, berkulit sawo matang menyibak kain menggantung becorak bunga. Mengintip keluar dari tepian kelambu. Lubang-lubang angin tak terlalu besar di atas jendela menghantarkan aroma keteduhan yang tercium bersama nyanyian riang hewan petang. Dingin di luar. Hangat di dalam. Air langit pun seolah enggan pergi jauh dari kota ini.
Sepasang suami istri yang sudah masuk bilangan orang tua senang tak terkira. Mereka memilih mendekam dalam rumah. Bu nyai yang sebelumnya bertugas membuka gorden jendela --sesuai permintaan Nasya, kembali ke tempat duduknya, bersebelahan dengan Kamila. Berhadapan langsung dengan Kiai Jamal yang menempati singgasananya. Kursi kayu berukir kepala garuda, dengan ukuran yang lumayan besar. Setelah menyantap hidangan makan malam, mereka bercengkrama di ruang tamu. Kiai Jamal menanyakan ini itu pada Kamila, anak sulungnya --pastinya tak jauh dari kondisi asrama putri di bawah kendalinya. Kamila memang putri yang digadang-gadang akan menggantikan dirinya --jika nyawa tak lagi bertempat dalam raga. Meski begitu, terbit keinginan untuk menikahkan Kamila dalam waktu dekat. Putrinya itu tak lagi muda. Usianya sudah matang untuk membina biduk rumah tangga. Tinggal mencarikan suami yang saleh. Syukur-syukur pintar managemen dan mampu mengolah pesantren dengan baik.
"Santri putri, bagaimana, Mila? Apa sudah dihimbau jangan keluar kamar?" tanya Kiai Jamal.
"Sudah, Abi ... kebetulan saya meminta pengurus serta seksi keamanan berkeliling barang satu jam sekali."
Kepala yang terhias rambut putih itu mengangguk lega. Macam tugas yang ia amanahkan pada Kamila, pastilah dikerjakan dengan baik.
"Lalu, putri Abi yang satu ini, bagaimana keadaannya?"
Geledek menyambar di luaran. Nasya terlalu asyik menikmati tingkah hujan beserta kawan-kawannya sampai tak mengindahkan pertanyaan sang Abi.
"Sya, Abi bertanya sama kamu," sentak Kamila, sembari mengguncang bahu sang adik. Ia memang duduk di samping Nasya --yang duduk paling pojok, tak jauh dari jendela.
"Apa-apa, Mbak?" Nasya tergeragap. Benik matanya menyasar Kamila sepintas, lalu beralih ke arah Kiai Jamal.
"Ada apa, Abi?" tanyanya.
Kiai Jamal melembutkan pandangan. Bibirnya yang tipis terhias jenggot di sepanjang dagu, mengembangkan senyum. Jemarinya mengetuk lengan kursi seirama-- menandakan bahwa ia tengah berada pada fase tenangnya.
"Bagaimana kondisi, Nasya? Sudah benar-benar enakan?"
"Nasya sudah tidak pusing lagi. Cuma badan sakit semua. Dan beberapa masih ada yang meninggalkan bekas kebiruan, Abi."
"Biar Ummi panggil, Mbok Paija, besok. Nasya perlu dipijat itu," tambah Ummi, sembari beranjak dari duduknya.
Nasya mengangguk sepakat. Ya, rasanya otot tubuhnya ini butuh sentuhan ajaib tangan seorang tukang urut.
"Pak, mau diganti kopinya? Sudah dingin," tawar bu nyai.
Kopi di atas meja bu nyai ambil. Dibawanya begitu saja cangkir keramik itu ke dapur, tanpa persetujuan Kiai Jamal.
"Jangan terlalu manis, Buk," pinta Kiai Jamal sedikit teriak. Sang istri sudah hilang tertelan pembatas ruangan.
Setelah itu, sorot pandangnya kembali pada Nasya dan Kamila yang tengah mengobrol. Seuntai senyum ia gelarkan, sebelum kemudian mengatakan sesuatu.
"Nduk, besok mulai mengajar di madrasah, ya?" Permintaan itu Kiai Jamal tujukan pada Nasya.
"Tsanawiyah, Abi?" jawab Nasya.
Kiai Jamal menggeleng.
"Aliyah, Nduk."
Sejujurnya Nasya keberatan. Sekaligus belum percaya diri. Tak pernah sekali pun ia mengajar siswa -siswi Madrasah Aliyah, yang usianya tak terpaut jauh darinya. Saat PPL dan KKN-pun, ia mendapat tugas mengajar siswa-siswi Madrasah Tsanawiyah.
Lalu, kediamannya itu memunculkan kecurigaan. Seakan tahu rundung yang memenuhi pikiran sang putri, Kiai Jamal berusaha meyakinkan.
"Kalau tidak dicoba tidak akan terbiasa. Jangan menyerah begitu saja pada tantangan. Tidak banyak, Nduk. Hanya kelas sepuluh keagamaan satu dan dua. Ustad Mahfut izin ke tanah suci untuk umroh. Mana mungkin, Abi membebankan semua kelas pada Ustad Amir."
"Sembari menunggu panggilan beasiswa di Australia, nggak ada salahnya bantu-bantu di sini, Sya," timpal Kamila. Ia mendukung permintaan Kiai Jamal.
Nasya memang tengah menunggu hasil test beasiswa S-2 dari Melbourn, Australia. Tak ada salahnya menerima tawaran mengajar di pesantren, selagi surat panggilan itu belum bertandang ke rumah. Tak perlu menimbang lagi, ini juga perintah langsung dari sang abi.
Lalu anggukan mantap itu membuat Kiai Jamal dan Kamila mengguratkan seuntai senyum. Gugur sudah gunda gulana yang ditanggung Kiai Jamal beberapa malam ini.
"Alhamdulillah, biar, Mbakmu yang membantu segala persiapannya. Bisa toh Mila?" Biji mata Kiai Jamal bergeser pada Kamila.
"In Sya Allah, Bisa, Abi."
"Nasya siap mulai mengajar besok?"
Nasya mengangguk.
"In Sya Allah Nasya siap, Abi."
"Ya, sudah kalau begitu. Abi ke dalam dulu. Kalian segera pergi tidur. Sudah malam."
Kiai Jamal hendak menyusul sang istri di dapur, saat suara Nasya yang memintanya menunggu, membuat urung. Ia lantas menoleh. Mendapati sang putri berjalan ke arahnya dengan amplop tanggung dalam genggaman tangan.
"Tadi sore saya bertemu Ustad Azan. Beliau menitipkan amplop ini pada Nasya, Abi."
Dahi Kiai Jamal berkerut dalam.
"Kenapa tidak Ustad Azan sendiri yang memberikannya pada, Abi?" tanyanya sembari menerima amplop tersebut.
"Ustad Azan bilang susah menemukan, Abi."
Kiai Jamal manggut-manggut.
"Ya, sudah. Nasya segera naik ke atas. Jangan lupa ambil air wudhu sebelum tidur."
"Siap, Abi." Sembari memberi hormat.
***
Kedua kakinya terasa berat melewati pintu. Tadi, sebelum bel jam pertama berbunyi, dan ketika ia masih di ruang guru, Kamila telah menjelaskan kelas mana saja yang harus ia isi, serta materi apa saja yang Ustad Mahfut ajarkan terakhir kali. Selebihnya, ia dibebaskan menggunakan metode atau media sesuka hati.
Bukan karena tak menguasai materi ajar, tapi lebih pada bagaimana ia mengondisikan kelas nantinya. Tiba-tiba saja, ucapan teman-teman seangkatannya muncul dan memenuhi kepala. Keluhan mereka saat mengajar di sekolah menengah atas selama PPL bermunculan. Tak dihiraukan lah, dianggap remeh lah, bahkan digoda murid putra. Sungguh, Nasya tak ingin berakhir seperti itu.
"Astagfirullah," lantun Nasya, sembari memejamkan mata dan mengusap dadanya naik turun.
"Nggak ... di sini beda. Ini kan pondok pesantren," gumamnya, lebih untuk menyakinkan diri sendiri. Lagi pula, ia hanya mengajar kelas putri. Pasti lebih penurut dan bisa dikendalikan.
"Bismillah, Nasya bisa," yakinnya, lalu benar-benar masuk ke dalam kelas sembari menguncap salam.
Para santri yang sebelumnya ramai, langsung menempati kursi masing-masing. Diam, dengan sorot asing menguliti Nasya tanpa tanggung-tanggung.
Tak perlu bertanya, dari seluruh pasang mata di ruangan ini, Nasya tahu betul apa yang tengah mereka pikirkan. Asing. Tak suka. Bahkan, beberapa santri jelas menolak kehadirannya.
Nasya mendesah. Kembali berjalan menghampiri meja guru. Langkahnya ia buat sewibawah mungkin. Ia tak ingin tampak kikuk di depan mereka.
"Assalamualaikum," ulang Nasya. Dan, kali ini mereka serempak menjawab.
Bahan ajar serta sepucuk surat ia letakkan di atas meja. Tak mungkin ia memulai pelajaran dengan kondisi seperti ini. Memetik simpati merekalah yang mesti ia lakukan pertama kali.
"Good morning," sapa Nasya.
Segelintir murid menjawab. Sisanya ogah-ogahan, bahkan bungkam tanpa suara.
Tantangan berat, pikir Nasya. Benar yang dikatakan Kamila. Kelas keagamaan memang tak mudah ditaklukan. Selain terkenal cuek dengan materi yang tak berhubungan dengan keislaman, mereka tebiasa kritis pada guru yang tak disukai.
"Saya akan mengisi kelas bahasa inggris, menggantikan Ustad Mahfut selama beliau berada di tanah suci. Perkenalkan nama saya Nasya Hanum ...," ujar Nasya dalam bahasa inggris yang fasih.
"Sebelum memulai pelajaran, ada yang ingin ditanyakan?"
Salah satu santri mengacungkan tangan.
"Ya, apa yang ingin kamu tanyakan. Siapa namamu?"
"Rina, Ustadzah."
"Ya, Rina. Silahkan ...."
"Begini, Ustadzah. Kita, kan ada di kelas keagamaan, kenapa harus belajar bahasa Inggris? Nanti kalau di alam kubur, nggak ditanyain pakai bahasa inggris, juga."
Setelahnya, riuh tawa memenuhi seisi kelas. Nasya tersenyum lebar. Pertanyaan ini, pernah ia tanyakan pada Abi dulu --saat ia masih duduk di bangku kelas XII SMA.
Nasya berjalan di antara deret bangku pertama dan kedua.
"Memangnya di alam kubur memakai bahasa apa?" tanyanya.
Salah satu santri menjawab lantang.
"Bahasa Arab, Ustadzah."
Nasya memandangi santri bertubuh kurus tersebut, lantas bertanya, "Dari mana kamu tahu kalau di dalam kubur ditanya menggunakan Bahasa Arab?"
"Man Rabbuka. Man Nabiuka," timpal santri tersebut yakin.
"Itu talkin yang di baca ketika mayyid selesai di kebumikan (hutbah qubur)," terang Nasya. Sembari kembali ke depan kelas.
"Secara struktur, tak ada korelasi atas kemampuan berbahasa seseorang dengan pertanyaan di dalam kubur. Meskipun selama di alam dunia dia fasih berbahasa arab, tapi perbuatannya tak sesuai dengan syariat agama, maka habislah dia di alam kubur."
Mendadak seluruh santri menatapnya antusias.
"Namun, secara guna, kemampuan berbahasa Arab sangat mungkin membantu kita ketika menghadapi pertanyaan kubur."
Nasya mendekati salah satu santri, lalu menanyakan namanya.
"Whats your name?"
"Ismi, Ustadzah."
"Thank you." Nasya mengumbar senyum. Kemudian perhatiannya tertuju kembali pada seluruh santri.
"Misal, Ismi ini mahir berbahasa Arab, dan kemahirannya itu dia gunakan untuk mengajar. Di gunakan pula untuk memahami nash keagamaan, kemudian diamalkan ... tentu ini akan menjadi bekal baginya untuk menghadapi pertanyaan di alam kubur kelak."
"Kesimpulannya, amalan kita di dunialah yang akan membantu kita di alam kubur. Bukan karena bahasa apa yang kita pelajari selama di dunia. Tidak jadi masalah, kalian mempelajari berbagai bahasa ... selama ilmu yang kalian miliki digunakan sesuai syariat agama," pungkas Nasya.
Ah, jawaban Abi menolongnya kali ini. Ya, secara tak langsung Abi telah membantunya mendapatkan hati para santri.
"Masih ada yang ingin bertanya?"
Mereka sepakat menggeleng. Nasya meneguk kemenangan itu kali ini. Dan, rasanya sungguh menyenangkan.
"Oke, saya tidak akan memulai pertemuan pertama kita ini, dengan pelajaran yang menjemukan."
Nasya menyomot amplop surat dari atas meja, lantas mengangkatnya sejajar dengan mata.
"Kalian tahu ini, apa?"
"Surat, Ustadzah ...," jawab santri yang duduk paling depan.
Nasya membuka amplop dan mengeluarkan isinya.
"Ini surat cinta yang dikirimkan salah satu junior saya di kampus sebelum hari kelulusan."
Suasana kelas berubah riuh. Para santri memberi sorakan meriah.
"Bukan siapa, tapi bagaimana isi surat ini. Setiap bait katanya dia tulis dengan indah."
"Bisa dibacakan Ustadzah?"
"Oke, akan saya bacakan."
Nasya berdeham beberapa kali. Sebelum kemudian membacakan isi surat itu perlahan.
hai gadis cantik
Kau membuat malam seakan berlalu dengan lambat.
Pagi kunanti dengan rindu berkecamuk.
Terdiam kau di bawah teduh kehijaun. Berteman buku, yang membuatmu tampak lebih cantik dari biasanya.
Hai, gadis bermata cokelat. Bisakah kau menungguku hari ini di bawah keteduhan itu.
"Terus gimana? Ustadzah menunggu? Atau menerima cintanya?" tanya salah satu santri.
"Tentu saja tidak. Agama kita tidak membenarkan itu."
"Yah, nggak seru, Ustadzah" timpal yang lain.
"Kalau mau yang seru, sekarang kalian yang buat."
"Kami tidak punya pacar, Miss," sergap santri berbadan kurus tadi.
Nasya terkekeh.
"Surat cinta tidak melulu untuk pacar. Saya minta kalian menulis surat itu untuk orang terkasih. Bisa Ayah, Ibu, Kakak atau pun adik. Bisa dimengerti?"
"Bisa, Ustadzah," jawab mereka serempak.
Suara berisik setelahnya berasal dari resleting tas, buku yang diletakkan di atas meja, dan gumaman mereka sembari menulis.
Nasya menunggu di mejanya. Mengamati mereka dengan perasaan lega. Lega karena hari pertamanya mengajar berjalan dengan lancar.
***
@Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang
Comment on chapter ***