*)
πππ
Ruang matanya menangkap penampakan kamar tak terlalu luas dengan perabot seadanya. Sisi di mana ia biasa tidur tetap terjaga. Perkakas pembeda antara teritorialnya dan Kamila masih pada tempatnya; sebentuk ranjang bersprei merah muda, bersanding dengan lemari laci tiga yang berseberangan dengan meja belajar tak berpenghuni. Buku-bukunya memang tak sebanyak Kamila. Menginjak dewasa, buku-buku yang didominasi komik Sinchan dan Doraemon itu harus dihibahkan.
"Apa yang sudah kita lakukan tadi, itu nggak baik, Sya. Mencuri dengar pembicaraan orang lain bukan hal yang bisa dibenarkan. Untung Ummi nggak lihat kita."
Nasya terkekeh. Tas yang setia melingkari bahunya, ia letakan di atas ranjang. Kemudian ia naik dan merebahkan diri.
"Hidup Mbak Kamila itu, terlalu monoton. Stuck pada aturan. Selama itu nggak berdosa, kan, nggak masalah, Mbak?!"
Kamila yang sesaat lalu berdiri di depan ranjang sang adik, kini menempati tepiannya. Napasnya terembus berat. Pola pikir macam apa yang Nasya terapkan dalam hidupnya?
"Kata siapa nggak berdosa. Menurut Hadits Riwayat Bukhari, siapa saja mendengarkan pembicaraan suatu kaum, sedang mereka membenci hal itu niscaya dituangkan kedua telinganya timah mendidih pada hari kiamat."
Padahal Nasya bersiap akan memulai prosesi tidurnya tadi, namun saat mendengar ucapan Kamila, seketika ia terbangun. Raut wajahnya pun mendadak masam.
"Ah, ya, ya, Bu Ustadzah. Maaf ... nggak lagi-lagi, deh. Capek Nasya dinasehati mulu. Nggak Ummi, nggak Mbak Mila."
Perempuan bergamis hijau itu tersenyum penuh kemenangan. Sedang Nasya, sembari mendumal, ia mengambil tas di sebelahnya. Mengeluarkan isinya satu persatu. Tak ada gairah lagi untuk tidur. Kamila berhasil memukul kesadarannya kembali.
"Masih baca beginian?" Kamila mengambil novel roman yang baru saja Nasya keluarkan.
"Hanya untuk melepas penat, Mbak. Itu pun novel religi." Bola mata Nasya melihat Kamila sepintas, lalu kembali pada isi tasnya.
Kamila membolak-balik halaman novel. Sesekali perhatiannya tertambat pada salah satu bab -- membaca isinya sekilas.
"Punya siapa, ini?"
Kepala Kamila tertegak. Wajah bingung Nasyalah yang ia dapati.
"Ada apa, Sya?"
"Ini, loh, Mbak. Ada Al-Quran, tapi Nasya nggak merasa punya Al-Quran seperti ini?" Sembari membolak balik sampul depan dan belakang.
"Mungkin kamu lupa."
"Nggak, Mbak," Dahi Nasya berkerut dalam. Ia mencoba keras untuk mengingat, "Iya, Nasya nggak merasa punya Al-Quran ini."
Kamila meletakkan novel, kemudian mengulurkan telapak tangan kanannya. "Sini, biar Mbak lihat."
Musfah itu Nasya berikan pada Kamila.
Al-Quran bersampul merah, berukuran A3. Tak ada yang aneh dengan Al-Quran ini. Hanya saja ketika membuka halaman terakhir, Kamila dibuat terpukau dengan catatan yang tertempel di setiap surat.
"Masya Allah, lihat ini, Sya?"
"Ada apa, Mbak?"
Nasya menggeser duduknya, menempelkan bahunya pada bahu Kamila. Biji matanya tertahan pada post-it warna-warni yang tertempel. Curahan hati pemiliknya tercatat di sana.
"Alhamdulillah, suami hamba berhasil menghafalkan surat Al-Falaq dalam waktu lima hari."
"Ya, Allah, beri kemudahan pada suami hamba dalam menghafal ayat-ayat-Mu."
"Meski sempat menyerah, Alhamdulillah, suami hamba berhasil menghafal surat Asy-Syams kurang dari satu bulan."
Kamila membalik halaman, tapi tak mendapati catatan apa pun setelahnya.
"Sudah habis, Mbak. Hafalan suaminya baru sampai Asy-Syams."
Anggukan Kamila lemah. Netranya pun mulai mengandungkan air mata.
"Masya Allah, romantis sekali pemilik Al-Quran ini. Begitu istiqomahnya beliau membimbing sang suami."
"Iya, Mbak. Siapa pemiliknya, ya? Kenapa malah ada di tas, Nasya?"
Kamila dan Nasya saling bersirobok pandang.
"Apa mungkin milik salah satu penumpang bus, ya, Sya?"
"Entahlah, Mbak ... tapi bisa jadi milik penumpang yang duduk di sebelah Nasya."
"Kamu nggak ingat apa-apa?"
"Nggak, Mbak. Nasya nggak ingat apa pun tentang kecelakaan waktu itu."
Kamila kembali memandangi mushaf di pangkuan kedua telapak tangannya.
"Bagaimana cara kita mengembalikannya?"
Apa yang mendasari? Entahlah. Namun saat mendengar ucapan Kamila, terbit rasa tak rela di hatinya. Ia kadung tertarik dengan musfah itu. "Nggak usah dibalikin, Mbak. Sekarang ini jadi milik Nasya, pintanya setelah menyambar mushaf dari tangan Kamila, lantas mendekapnya amat erat.
"Jangan gitu. Pemiliknya bisa saja sedang kebingungan mencarinya."
"Mau dikembalikan ke mana? Kita saja nggak tahu siapa pemiliknya. Anggap saja ini hadiah untuk Nasya. Lagian, hafalan Nasya juga baru sampai Asy-Syams, dan kebetulan juga Al-Quran Nasya ada di dalam tas yang hilang. Jadi, Al-Quran ini mau Nasya pakai untuk memperbanyak hafalan."
Tabiat keras kepala sang adik timbul kembali. Sejak kecil, Nasya memang keras. Segala sesuatu yang dia inginkan tak pernah bisa terbantahkan.
***
Azan pengingat salat Ashar membangunkan Nasya dari tidur yang tak seberapa. Hanya satu jam, Itu pun sekadar melepas pedas di mata. Kamar sudah kosong. Kamila pun sepertinya telah bangun lebih dulu. Dan suara gemericik air dari dalam kamar mandi, menjadi pembenar akan asumsinya.
Nasya merenggangkan tulang tubuh, lantas menggelantungkan kedua kakinya di tepian ranjang. Jendela di belakang punggungnya yang memang terbuka, mempersilahkan angin terembus masuk. Menerbangkan kelambu putih, menerbangkan pula jilbab yang masih menyelubung mahkota panjang dan hitam legam miliknya.
"Allah," untai Nasya. Sembari melengkungkan tubuh ke belakang, dan kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi.
Kini, kedua telapak kakinya telah bertemu ubin dingin. Diam sejenak di sana. Mengumpulkan nyawa yang terserap mimpi. Setelah mata sudah sepenuhnya terbuka, Nasya berjalan beberapa langkah. Berhenti di depan lemari susun. Menarik gagang laci pertama untuk mengambil pakaian ganti dan handuk baru.
Lalu, sembari menunggu Kamila selesai mandi, ia menyempatkan diri mengecek ponsel yang tergeletak di atas lemari. Barangkali ada pesan balasan dari sahabat baiknya. Dea. Dan, benar saja, pesan balasan dari Dea masuk beberapa saat lalu.
Dea_
27 Oktober 2005
14:02
Senang kamu kembali. Aku sedang nggak baik-baik saja.
Balasan yang sukses mematik rasa cemas di hatinya.
Nasya_
27 Oktober 2005
14:35
Apa yang terjadi, Dea. Bisakah aku tahu masalahmu?
Setelahnya, gadis bermata cokelat muda itu, kembali meletakkan ponselnya --menunggu jawaban.
Pintu kamar mandi terbuka. Kamila melangkah keluar diiringi aroma segar menguar ke seluruh ruangan. Wewangian bunga. Gamis keemasan yang membalut tubuhnya, terpadu pas dengan paras cantiknya yang sederhana.
Sembari menggosok rambutnya yang basah, Kamila mendekati lemari pakaian, mengambil khimar dan menggelarnya di atas ranjang.
"Cepat Mandi, Sya ... keburu ketinggalan salat jamaah."
Nasya mengangguk. Berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah menunaikan salat Ashar, perempuan yang sore itu, mengenakan tunik putih dengan celana kain warna cream, menyempatkan diri menyetor hafalan pada ummi. Dibandingkan dengan Kamila yang hafal hampir tiga puluh juz, ia tak ada apa-apanya. Juz tiga puluh saja, sulit ia pindahkan ke dalam otak.
Kondisi mushola sepi. Tinggal Nasya dan ummi, serta Kamila yang sedang menghafal wazan dalam Kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyya. (1) Santriwati lain telah menyetor hafalan lebih dulu. Nasya sengaja menjadikan dirinya penyetor terakhir. Malu rasanya jika sampai orang lain tahu, hafalannya setara dengan anak sekolah dasar.
Meski terbatah-batah Nasya mampu mengulang surat Asy-Syam yang telah ia hafal dengan cukup baik. Ummi yang menyimaknya seksama, menghadiahkan usapan lembut di puncak kepalanya, saat ayat terakhir terlantunkan.
"Nasya harus lebih istiqomah lagi. Allah menjanjikan mahkota dan pakaian kemuliaan bagi para penghafal Al-Quran. Tidak ada satu pun umat Rasullah yang tidak menginginkannya. Termasuk, Nasya. Ummi yakin Nasya pun, bisa seperti Mbak Kamila atau sepupu Nasya yang lain."
Nasya tertunduk sedih. Mulutnya menanggapi lemah. Selama di Surabaya, ia sering kali tak memiliki waktu untuk menambah hafalannya. Jangankan menghafal, waktu salat pun sering kali terundur-undur.
"Sekarang Nasya kembali ke kamar. Nanti, setelah makan malam, Abi ingin bicara."
Nasya mengangguk. Mengecup tangan sang ummi, kemudian bangun dari duduknya.
"Mbak, nggak ikut balik?" tanya Nasya.
Kamila yang duduk di pojok mushola --bersandar pada jendela --menjeda hafalannya. Ia mendongak, lantas memandang Nasya dibarengi gelengan kepala.
"Aku balik dulu, ya?"
Kamila mengiyakan dengan anggukan kepala. Setelah itu, kelopak matanya terpejam. Mulutnya kembali berkomat-kamit melanjutkan hafalan.
Langkahnya cepat menuruni batas suci mushola. Jarak dari mushola ke rumah, kira-kira lima puluh meter. Jalan berpaving dengan taman bunga, berpagar kayu di kanan kiri menjadi santapan netranya. Udara berembus beku. Aroma hujan samar tertangkap cuping hidungnya. Ia mendongak, bertemu langit yang mulai keabuan.
Kemudian, Nasya berhenti di pertigaan jalan. Jalan menuju rumah berada di sisi kiri, sedang sisi sebelah kanan merupakan jalan menuju asrama putra. Hanya terbatas pagar besi. Tepat di balik pagar, sedikit ke kiri, berdiri kantor pengurus pesantren putra. Nasya tahu itu, karena dulu ia sering kali mencuri waktu untuk mengintip Amir dari balik pagar. Sayangnya, ia tak pernah mujur. Sering kali kepergok pengurus lain, bahkan pernah sekali Abi mendapatinya hampir melompat pagar --kejadian itu terjadi ketika Nasya masih duduk di bangku kelas dua SMA.
Setan pembisik mulai mempengaruhi. Rasa rindunya pada Amir, menjadi ladang subur bagi setan untuk menumbuhkan benih-benih syahwat. Kali ini pun, Nasya nekat melarikan kakinya ke sana. Melongok dari balik pagar hijau setinggi hidung. Rela membiarkan ujung jari-jari kedua kakinya manahan sakit karena terus menjinjit. Pagar itu memang tak memilik akses mengintip. Setiap celahnya tertutupi fiber hijau gelap.
"Kok nggak ada, sih?" keluh Nasya.
Tak didapatinya lalu-lalang para pengurus. Hanya beberapa santri yang kebetulan melintas. Dan, setiap kali mereka kebetulan menoleh ke arah pagar, Nasya langsung merendahkan tubuhnya.
"Sepertinya, Ustad Amir masih di masjid, deh? Apa aku balik saja, ya?" Nasya berdiskusi dengan dirinya sendiri.
"Ngintip sekali lagi, deh," putusnya kemudian.
Namun, ketika ia hendak melancarkan aksinya kembali, pagar itu tiba-tiba terdorong dari arah berlawanan. Nasya yang berancang-ancang berdiri, sukses kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Pekikannya terdengar bersamaan dengan lantunan istigfar yang terucap keras. Nasya mendapati bayangan hitam semakin mendekat, bayangkan yang akhirnya menjadi sosok Azan. Kini, laki-laki itu telah berdiri di hadapannya --dengan sorot mata yang menancap heran.
"Neng Nasya, sedang apa?"
Nasya buru-buru bangun. Menepuk kedua telapak tangannya yang kotor. Senyumnya tersungging kecut. Pastilah ia tampak bodoh sekarang.
"Ah, bertemu, Abi ... tadi, ngintip apa ada Abi?"
Dahi Azan berkerut dalam. Jawaban Nasya, tak sama sekali mengobati rasa penasarannya.
"Bukannya Pak Kiai ada di ndalem, ya? Saya sejak tadi mencari beliau."
"Nggak ada. Abi nggak ada di rumah, makanya Nasya mau cari Abi di asrama putra." Nasya merutuki kebohongannya sendiri.
Lagi-lagi jawaban Nasya mencetak kerutan di kening laki-laki dua puluh satu tahun itu.
"Neng Nasya nggak boleh masuk ke sana?" Azan menoleh ke belakang. Menunjuk teritorial putra dengan gesture tubuhnya. "Pak Kiai sepertinya juga sudah pulang. Coba Neng Nasya cek lagi di rumah."
Nasya mengangguk lanjak. Ya, semakin cepat pergi dari sini, semakin baik. Ia kepalang malu pada Azan karena ketahuan melakukan hal yang seharusnya tak ia lakukan. Terlebih-lebih bagi putri pendiri pesantren.
"Kalau gitu, Nasya pergi dulu, ya, Ustad. Assalamualaikum." Buru-buru Nasya memutar tubuhnya. Kaki-kakinya sudah berancang-ancang hendak melarikan diri.
"Tunggu dulu, Neng Nasya."
Nasya tersentak kaget. Tak menyangka Azan mencegah dirinya yang sudah berjalan beberapa langkah. Ia menoleh dengan kedua alis terangkat tinggi. Ada apakah gerangan?
"Kebetulan bertemu Neng Nasya, bisa menitipkan ini untuk Pak Kiai. Bilang saja dari saya."
Azan menyodorkan amplop cokelat bertepi merah dan biru, tak terlalu besar itu pada Nasya.
Nasya yang awalnya enggan, akhirnya menerima juga amplop tersebut. Tak lagi bertanya apa isi di dalamnya. Dilihat dari bentuknya, Nasya dapat menyimpulkan ini surat lamaran kerja, atau surat penting lainnya.
"Nanti saya sampaikan, Abi."
Wajah Azan yang terlukis indah, tampak sempurna dengan lengkungan semanis kue sabit. Andai Nasya tak sedang menata kepingan cintanya untuk Amir, tak akan ada alasan baginya menolak pesona laki-laki di hadapannya ini.
Azan mendongak, beberapa saat, kemudian kembali menatap Nasya dengan binar yang sama. Cemerlang nan lembut.
"Terima kasih, Neng Nasya. Sebaiknya Ustadzah segera kembali ke rumah. Sepertinya hujan sebentar lagi, akan turun. Neng Nasya, kan, baru sembuh dari sakit."
Laki-laki kedua yang mengkhawatirkan keadaannya setelah Abi.
***
1. Kitab Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah adalah sebuah kitab shorof populer yang diajarkan hampir di semua lembaga pendidikan yang mana diajarkan bahasa Arab di dalamnya, baik di pondok atau sekolah salaf atau pun modern.
***
@Ardhio_Prantoko wah makasi banyak ya bang
Comment on chapter ***