Read More >>"> Senja di Tanah Senja (Senja Terakhir) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja di Tanah Senja
MENU 0
About Us  

            “Dengarkan aku, Ana. Dengarlah.”

            “Saya mendengarkan, Bung,” ujarnya, tersenyum.

            “Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, aku harus menceritakan padamu apa yang terjadi. Aku harus melakukannya sebelum harus melupakannya.”

            “Silakan, Bung.Ceritakan seluruhnya, tumpahkan pada saya.”

            Ana menopang dagu, matanya menatap lurus ke dalam mataku seperti yang selalu dilakukannya bila tengah mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian. Dia tidak merokok. Mana sigaretnya? Telah habis, barangkali. Ana tanpa sigaretnya tanpa berbeda, seperti ada sesuatu yang hilang pada dirinya.Akan tetapi, benarkah itu Ana? Apakah yang duduk di hadapanku sambil menopang dagu itu Ana? Ana, benarkah itu kau? Kau ada di sini?

            “Tentu saja ini saya, Bung. Saya di sini dan akan selalu di sini menemani Bung.”

            “Apakah kau sedang memperhatikanku?”

            “Saya memperhatikan Bung.”

            Kami sampai di kota pagi hari, aku dan pamanku Kolonel Sudarto.

 

            Kami sampai di kota pagi hari. Paman menyewa sebuah kamar untukku dan memberi sejumlah uang sebelum pergi. Dia berjanji akan mengunjungiku jika mendapat cuti juga mengirimi uang setiap bulannya, tapi aku tak peduli. Sikap dermawan pamanku itu bagiku tidak lebih dari terjemahan rasa bersalahnya terhadap kematian ayahku, sehingga aku tidak perlu berterimakasih padanya.

 

            Saat itu pagi hari, pagi hari di musim kemarau yang terik. Matahari membakar kota. Debu dan asap kendaraan menyesakan dada. Aku berdiri di tepi jalan, di teras toko kelontong. Menatap mata orang-orang yang melewatiku satu persatu: apakah ada yang kukenali? Seorang teman lama, seorang musuh? Tentu saja tidak. Aku tak pernah melihat mereka sebelumnya. Mereka orang asing. Tapi tiba-tiba rasa takut melandaku: bagaimana jika mereka tahu siapa aku? Bagaimana jika mereka mencurigaiku? Kakiku bergerak di luar perintah otakku. Aku berbalik dan berlari melawan arus pejalan kaki.

 

            Ana mengunjungiku malam harinya. Dia membawakanku beberapa buah buku tipis yang kertasnya sudah kekuningan dan berbercak-bercak kecokelatan. Setelah duduk bersila di lantai dan menyalakan sigaretnya, Ana pun mulai berceloteh tentang buku-buku yang dibawanya itu.

            “Saya membawakan yang terbaik,” katanya. “Bung bacalah jika ada waktu.”

            Aku mengangguk tanpa minat. “Akan kubaca nanti. Omong-omong, Ana, apa menurutmu orang-orang di kota ini sudah tahu siapa diriku?” tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan.

            “Saya rasa itu tidak mungkin. Bung, kan, baru tadi pagi tiba di kota ini.”

            “Kuharap kau benar, Ana. Tapi mata-mata itu terus menggangguku.”

            Ana menoleh. “Mata?”

            “Benar. Mata yang polos dalam arti sesunguhnya: sesuatu yang berada di tengah-tengah, tidak memihak, dengan sendirinya menjadi tidak dapat disalahkan. Kau tahu persis maksudku, kan, Ana?”

            Ana mengembuskan asap sigaretnya seraya mendongak. “Kadang-kadang tanpa kita sadari seringkali kita melakukannya. Segala sesuatu dalam hidup mengandung resiko dan lebih banyak orang tak berani mengambilnya. Karena itulah mereka saling mengabaikan satu sama lain, saling tidak peduli dan pura-pura tidak tahu-menahu. Semua orang mendambakan ketenangan, Bung. Meskipun itu berarti keegoisan.”

            “Memuakan!”

            “Hidup memang memuakan, Bung tahu itu lebih baik daripada saya. Tetapi, yang lebih memuakan lagi adalah kita tidak bisa berbuat apa pun sehubungan itu.”

 

            Kami bercakap-cakap banyak hal sampai larut malam. Ana menceritakan kisah lucu juga lelucon tak masuk akal yang membuatku terpingkal-pingkal. Sesekali aku pun menanggapi leluconnya. Pada pukul dua dini hari Ana berpamitan. “Saya ada janji dengan teman lain,” kata Ana. Aku tidak mencegah Ana ataupun bertanya siapakah temannya yang lebih dia pentingkan daripada aku itu. Aku kembali ke kamarku dan mencoba tidur. Tapi sia-sia. Kepalaku dipenuhi kenangan akan ayahku dan kematiannya yang menyedihkan. Inilah yang selalu membuatku sulit tidur dan terkadang dihantui mimpi buruk.

 

            Hari-hari pertama dari masa kebebasanku kugunakan untuk mengenali gedung-gedung, menghapalkan setiap sudut jalan, menikmati warna langit yang biru kejihauan, dan berusaha tidak menarik perhatian orang. Entah bagaimana Ana benar tentang mata-mata orang itu—hanya mata yang memandang tanpa kepedulian. Di sini tak ada yang mengenaliku, aku orang asing dan selamanya akan begitu. Tiba-tiba aku teringat Promedya dan Tan Djiman. Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka telah dibebaskan dari pulu busuk itu? Apakah mereka juga berada di kota ini?

 

            Ana mengunjungiku secara teratur di malam hari. Kami bercakap-cakap hingga fajar menjelang, dan setelah Ana pamit pulang aku tidak akan dapat tidur hingga pagi. Aku menceritakan masalahku ini Pada Ana.

            “Bung hanya belum bisa menerima kenyataan bahwa ayah Bung telah tiada untuk selamanya,” kata Ana. “Cobalah untuk Bung menumpahkan segala yang mengganjal hati, cobalah menangis, tumpahkan segalanya dan enyahkan penderitaan itu. Tidak apa-apa. Ketika sesorang ingin tertawa dia hanya bisa menentang derai tawa. Tapi tidak begitu dengan menangis. Bung tidak perlu menentangnya. Lepaskan semua perasaan bersalah Bung terhadap ayah Bung, lepaskan semua itu, biarkan angin menerbangkannya. Menangislah, Bung. Menangislah. Tidak apa-apa.”

            “Entahlah, Ana. Aku rasa sumur air mataku telah mengering. Aku ingin menangis tapi aku tak bisa. Itulah yang membuatku tersiksa. Aku mencintai ayahku melebihi hidupku dan aku tak bisa menangis untuknya.”

            “Menangis juga anugerah Tuhan, Bung,” sahut Ana sambil menyalakan sigaretnya. “Memang, kadang-kadang ketika kita terluka begitu dalam, kita lebih senang menyimpan air mata untuk diri kita sendiri. Akan tetapi, terkadang kita juga harus membuat pembenaran untuk membela diri. Membiarkan rasa sesal mengubah bayangan yang telah dengan kuat terpatri di dalam ingatan kita adalah sebuah kesalahan besar. Saya tahu Bung begitu mencintai ayah Bung, namun begitu, cinta yang tidak begitu saja, yang tidak karena apa-apa, justru menghancurkan hidup Bung.”

            Kelopak mataku bergetar mendengar kata-kata Ana; aku menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Aku memeluk Ana erat-erat; aku ingin membagi perasaanku.

            “Tidak apa-apa, Bung. Menangislah. Tumpahkan semuanya. Menangislah dan Bung akan baik-baik saja” Ana menepuk-nepuk bahuku layaknya aku seorang anak kecil.

 

            Baru satu jam kemudian aku berhenti menangis dan melepaskan tubuh Ana. Sesuatu yang gelap di dalam hatiku terkuak. Ana tersenyum sambil menganggukan kepala.

            “Tak ada beban yang terlalu berat untuk seorang manusia jika dia mau membaginya dengan sesama,” ujar Ana. “Percayalah, sekuat apa pun diri Bung, setangguh apa pun, tak akan pernah cukup kuat dan tangguh untuk menanggung beban kesendirian. Kesendirian adalah ketakutan yang tidak manusiawi. Jalan terang menuju kegilaan.” Ana kembali tersenyum padaku.

            “Kau benar, Ana. Aku menyadari betapa aku telah berada di ambang kegilaan untuk yang kedua kalinya. Aku hampir saja terjun bebas ke dalamnya dan menyerahkan diriku dengan suka rela.” Aku tertawa mengakui kebodohanku; tapi lebih dari itu, aku tertawa karena aku tahu aku tak sendirian, karena aku tahu memiliki ikatan dengan seseorang, seseorang yang hidup di dalamku dan hidup di luar diriku. Ana. “Omong-omong,” kataku kemudian, “menurut bagaimana, Ana, kalau hukuman mati untuk para pengkhianat negara itu ditiadakan dan diganti dengan kemar isolasi—benar-benar isolasi—yang gelap dan kedap suara, seperti sumur sempit yang cukup dalam dan gelap yang ditutup dengan rapat? Aku rasa itu hukuman yang jauh lebih manusiawi daripada hukuman mati, tetapi lebih efektif dan memberikan efek jera. Kenapa? Karena ketika seseorang sendirian dan kesepian dia akan gila cepat atau lambat. Bagaimana, Ana? Apa kau setuju dengan pendapatku?”

            Ana bertepuk tangan dan berseru senang. “Saya setuju, Bung! Saya sangat setuju. Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa melepaskan diri dari cengkeraman kesendirian. Siapa pun mereka, Entah laki-laki atau perempuan, baik yang muda maupun yang tua, tidak akan sanggup bertahan hidup dalam kesendirian dan kesepian. Dia akan hancur, kesadaran dan kewarasannya perlahan-lahan memudar. Kemudian tubuhnya akan kehilangan kebersatuan. Kaki, tangan, lidah, tidak akan lagi saling berkomunikasi: masing-masing bertindak sendiri untuk membunuh si empunya tubuh. Sungguh mengerikan. Akan tetapi saya menyukainya; itu membangkitkan Tuhan dan iblis; meninggalkan ketakutan dan pelajaran penting untuk kita semua.”

            Kali ini aku yang bertepuk tangan dan bersorak kegirangan. “Luar biasa, Ana! Luar biasa! Ah, aku baru ingat. Tak jauh dari hutan Pada Suka ada sebuah sumur tua peninggalan zaman Jepang yang sudah tidak terpakai. Sumur itu tidak memiliki sumber mata air. Sumur itu dahulunya digunakan penduduk pribumi untuk menyembunyikan padi meraka jarahan tentara Jepang. Sumur itu cukup dalam dan gelap. Menurutku, sumur itu cocok dijadikan penjara yang kita bicarakan. Kapan-kapan aku akan mengajakmu melihat-lihat sumur itu. Agar kau bisa menilai sendiri bagaimana.”

            “Saya tidak sabar menunggu hari itu,” sahut Ana. “Ah, seandainya memang hukuman isolasi itulah yang berlaku! Sungguh, Bung, saya sangat ingin melihat bagaimana seseorang menjadi gila dalam kesendirian dan kesepian. Saya ingin melihatnya mencabik-cabik dirinya sendiri, menghancurkan jati dirinya, menyapu kebanggaannya, dan melenyapkan gambaran akan sosok manusia sebagai mahluk yang sempurna dengan akal juga budi pekertinya, saya ingin melihat semua itu dengan mata kepala saya untuk kemudian saya tertawakan.”

 

            Tapi hari itu tidak pernah tiba. Beberapa orang tetangga mendatangiku dengan kemarahan. Aku telah meresahkan banyak orang kata mereka. Tawaku di malam buta, tangisanku, dan teriakanku mengganggu tidur mereka. Aku memhon maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.

            “Baiklah, kami memberi Bung satu kesempatan lagi. Tapi, jika Bung kembali membuat keributan, kami akan mengusir Bung atau mengirim Bung ke rumah sakit jiwa,” kata salah satu dari mereka.

            Mendengar ancaman itu, Ana yang bertolak pinggang di sampingku merah padam. “Tidak, Ana. Jangan lakukan itu,” aku segera menghentikan Ana yang telah bersiap memuntahkan caci-makinya. Tapi aneh, mereka sepertinya tidak melihat Ana. Mereka saling melempar pandang satu sama lain sambil mengerutkan kening.

            “Bung bicara dengan siapa?” tanya seorang dari mereka.

            “Temanku, Ana,” jawabku.

            Mereka tampak bertambah bingung. “Bung baik-baik saja? Bung tidak sedang mabuk, kan?”

            “Saya tidak sedang mabuk dan saya baik-baik saja,” aku jadi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Apakah mereka tidak melihat Ana yang berdiri di sampingku? Atau barangkali mereka hanya berpura-pura?

            “Sungguh, Bung tidak sedang mabuk?” mereka sepertinya sama sekali tidak percaya padaku.

            “Demi apa pun di dunia ini saya tidak sedang mabuk. Saya sepenuhnya sadar,” jawabku yang mulai agak kesal.

            “Tapi tidak ada siapa pun di samping Bung, Bung tinggal seorang diri dan tak pernah ada yang mengunjungi Bung,” sangkal mereka.

            Aku menoleh ke Ana kemudian ke orang-orang itu. Bagaimana mungkin mereka tidak melihat Ana, sedangkan Ana bertolak pinggang tepat di hadapan mereka siap mencaci-maki? “Ini sungguh tidak lucu!” kataku sambil terbahak-bahak. “Aku tahu kalian semua bersekongkol untuk mempermainkanku, tapi ini sangat tidak lucu. Enyah kalian dari pintuku jangan pernah kembali lagi!” aku membanting pintu sambil mengumpat. Dan semenjak kejadian malam itu, aku menarik diri dari kehidupan, menenggelamkan diriku sepenuhnya dalam duniaku sendiri bersama Ana. Untuk memenuhi janjiku tidak membuat keributan, kami memanfaatkan ruang bawah tanah sebagai tempat pertemuan rahasia kami.

 

            Aku tiba di kota ini sebagai pemuda yang baru beranjak dewasa dan di sinilah aka menjelma menjadi lelaki berkat Ana. Dia mengunjungiku lebih sering dari biasanya dan kadang-kadang menginap. Dari Analah aku belajar semua hal yang bisa diketahui oleh siapa pun tentang manusia dan sifat-sifat sejati mereka yang disembunyikan.

            “Dunia sekarang ini, Bung, tak bisa lagi diselamatkan oleh kepala dan hati,” kata Ana. “Kita semua tahu itu, saya, dan Bung, dan kita semuanya. Tapi begitu, tak seorang pun dari kita bisa mengubahnya. Setiap generasi memiliki juru selamat yang tepat untuk masanya. Generasi terdahulu kita mendapatkan kepala dan hati. Namun di masa kini kepala dan hati sudah tidak berguna lagi, sudah tercemar, sudah rusak, sudah tidak ada artinya. Yang kita butuhkan adalah kepalan tangan dan sepasang kaki; keberanian untuk mengubah hidup serta kerja nyata. Dan mungkin saja generasi berikutnya, generasi setelah kita, akan diselamatkan oleh cacing atau semut atau anjing, siapa tahu?”

            “Kau membuatku takut, Ana. Kau mengingatkanku pada kematian.”

            Ana tertawa sambil bertepuk tangan. Waktu itu siang hari dan aku tak punya alasan mencegah Ana membuat keributan dengan tawanya dan tepuk tangannya. “Saya tidak menyangka Bung takut pada kematian,” ejeknya. Entah darimana dia belajar mengejek begitu kejam. “Apa yang Bung takutkan? Kematian adalah sesuatu yang lain, Bung, sesuatu yang lebih dari sekadar perginya detak jantung dan desah napas—sekadar ketiadaan kehidupan. Sama seperti ayah Bung, kehidupan memang telah meninggalkan tubuhnya, tapi kematian tidak serta merta mengikutinya. Ayah Bung masih hidup di dalam diri Bung meski dalam bentuk kehidupan yang lain sama sekali.”

            “Seandainya saja yang kau katakan itu benar, Ana. Seandainya saja.”

            Ana mencondongkan tubuhnya, mengamati air wajahku, mataku. Aku mengamatinya dengan lebih saksama: dia lebih kurus, wajahnya lebih cekung, kulitnya menjadi lebih pucat, rambutnya telah berganti abu-abu. Namun, matanya yang gelap tidak kehilangan sedikit pun pijar apinya, kekuataannya yang mempesona. “Seharusnya Bung sudah mampu jujur dengan diri Bung sendiri,” ujar Ana lama kemudian. “Saya tahu Bung membenarkan apa yang saya katakan itu, mata Bung mengatakannya dengan sangat jelas sekali. Terimalah kebenaran itu, Bung. Jujurlah pada diri sendiri. Memang, jujur pada diri sendiri adalah perkara sepele yang tidak bisa semua orang lakukan. Itu ironi yang memalukan untuk seorang mahluk yang mengaku dirinya lebih sempurna di banding yang lain.”

            Aku tersipu malu. “Yang kau katakan itu semuanya benar, Ana. Aku memang belum bisa menerima diriku atau hanya sekadar jujur padanya. Aku tidak bisa menyangkal itu.” Kami pun tertawa bersama dan semakin dalam tenggelam dalam pembicaraan yang tak pernah ada habisnya.

 

            Aku terbangun dan membuka jendela di pagi hari bulan Desember 1977. Langit suram, angin berembus kencang. Ana tidak ada di sisiku, buku-bukunya pun tidak ada. Mungkin dia pulang sewaktu aku terlelap. Aku mencondongkan tubuh ke luar jendela. Seorang perempuan tua menggendong bayinya melintas di jalan: ke mana kau akan pergi? Dia menjinjing bungkusan: Apakah itu susu? Di seberang jalan seorang gadis menoleh ke kanan dan ke kiri: siapa yang sedang kau nantikan? Seorang loper memarkirkan sepedanya di depan sebuah rumah mewah, dia membawa koran pagi keranjangnya: berita apa yang kau bawa pagi ini?

 

            Aku sudah berdiri terlalu lama di tepi jendela. Ketika pada akhirnya aku membalikan tubuh, kudapati radio tuaku bergemeresak lirih di atas meja. Aku menghampirinya dan menarik ke atas antenanya dan mengeraskan sedikit suaranya. Dari tempat yang entah di mana disiarkan bahwa Pulau Buru yang terkutuk itu akan dikosongkan. Semua manusia kelas dua yang dibuang di sana akan dikembalikan ke tempat masing-masing secara bertahap. Bayang-bayang masa lalu kembali mengusik brenakku. Pramoedya yang memiliki kekejaman yang tersembunyi … Tan Djiman yang selalu menggugat Tuhan, bahkan sosok Darkam dengan pelacurnya yang telanjang memenuhi kepalaku. Tiba-tiba suara siaran radio berubah menjadi ribuan suara yang berdengung samar. Lalu ada suara-suara lain: Parta, paman Kardi, si gila Karman, paman Sudarto. Aku menutup telinga, namun kepekaanku justru menajam. Semua bunyi serta gema tanah dan laut dan bunyi mahluk-mahluk tertentu, dan takdir tertentu, berduyun-duyun datang padaku. Napasku sesak, kepalaku pening. Seisi kamar menari-nari, aku kehilangan keseimbangan lalu jatuh terantuk meja. Kurasai sesuatu yang hangat mengalir dari dahiku, menyadarkanku sesaat. Pandanganku mengabur, segalanya menjadi gelap, hanya membran gelap yang siap meledak. Dan mereka semua datang.

 

            Segerombol orang menerebos dinding kamarku. Mereka tak tersentuh lantai, tak tersentuh angin, tak tersentuh waktu. Mereka putih—teramat sangat putih—dan tembus pandang. Matanya nyalang menatapku, mecurahkan sebentuk caci maki yang tak terkata. Air mukanya menampilkan ekspresi seperti orang yang mengusir anak-anak dari sesok mayat yang membusuk. Aku gemetar di tempatku. Jantungku berdebar kencang tak terkendali. Mereka semakin dekat dan bertambah dekat di setiap langkahnya. Aku ingin lari tapi tak mampu bergerak. Kakiku berubah menjadi dua batang balok kayu. Aku mencoba teriak. Sia-sia. Aku hanya bisa mengeluarkan bunyi-bunyian seperti orang mengorok yang pasti tak akan terdengar siapa pun. Apakah ini akhir dari hidupku? Apakah aku akan mati dicekik segerombolan hantu yang muncul dari ke dalaman sejarah di kamarku sendiri? Aku memejamkan mata erat-erat, tak ingin melihat bagaimana tangan-tangan itu terulur dan mengambil kehangatan napasku. Aku membayangkan sesuatu yang lain dari kematian untuk menghilangkan rasa takutku. Namun sia-sia. Aroma daun busuk dan minyak hewani yang semakin menyengat hidungku dan mengacaukan sistim kerja imajinasiku.

 

 

            Aku benar-benar takut, Ana. Kau tak ada di sisiku dan mereka menerkamku. Aku tak bisa melawannya selain dengan memejamkan mataku dan berusaha meraihmu dalam ingatan. Mereka benar-benar tangguh dan tak kenal menyerah. Tangan mereka yang sedingin es mancabik-cabik tubuhku dari segala sisi dan penjuru. Aku tidak tahu berapa lama aku sanggup bertahan. Kebuasan mereka melebihi binatang liar. Kekuatan mereka seperti beruang madu. Sedang aku tak punya senjata apa pun untuk melawan selain berpegang pada ingatan akan dirimu.

            “Setiap orang yang hidup harus mengupayakan hidupnya sendiri, Bung,” sahut Ana. “Kita memang membutuhkan bayangan sebagai teman, akan tetapi, ketika di malam hari bayangan itu pergi, kita harus mampu berjalan sendirian dalam gelap.”

 

 

            Aku tidak tahu entah telah berapa lama terkapar di dekat kaki meja tak sadarkan diri. Mungkin sehari penuh sebab kamarku gelap dan aku merasakan desir angin lebih dingin. Aku tertatih-tatih berdiri untuk menyalakan lampu lalu menutup jendela. Kepalaku terasa nyeri dan aneh. Seperti telah terjadi sesuatu yang tak kuingat yang telah mengngkat sebagian isi kepalaku dan meninggalkan bekas rasa sakit. Hanya rasa sakit, itu saja.

 

            Sejak kejadian pagi itu Ana tak lagi mengunjungiku. Aku bertanya-tanya ke mana dia dan menduga-duga banyak hal. Mungkin Ana telah menemukan teman baru di tempat lain, di belahan dunia lain, dan melupakanku. Atau mungkin dia marah padaku untuk sesuatu hal yang telah kulakukan terhadapnya.Aku memikirkan kemungkinan yang kedua ini, kugali ingatanku, tapi aku tidak melihat apa pun yang salah sejauh yang kuingat dalam sadarku.

 

            Aku melewati malam-malam berikutnya dengan gelisah, di sela oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan. Aku terjaga dengan dada dan kepala sakit luar biasa. napasku terengah-engah sekujur tubuhku basah oleh keringat. Aku terbangun sebelum fajar dan berjalan mondar-mandir mengelilingi kamar sambil memijit-mijit kepala. Untuk pertama kali dalam hidupku aku merasa diburu, dituduh, di awasi. Aku selalu merasa ada sesuatu di balik pintu dan jendela kamarku. Mata seseorang yang berusaha mengintip ke dalam. Mencariku. Tiba-tiba kamarku berubah menjadi perangkap. Aku tidak bisa meloloskan diri dari sini karena hanya ada satu pintu di depan. Aku dilanda rasa takut luar biasa yang tak terjelaskan dan begitu kelam: memejamkan mata! Apa yang akan aku lakukan jika mereka datang? Tidur bukan lagi tempat untuk sembunyi.

 

            Berminggu-minggu kemudian aku mengisolasi diri. Seluruh jendela dan pintu dan gerbang aku kunci, tirai kuturunkan dan lampu diseluruh ruangan tak pernah kupadamkan. Kelaparan bukan lagi menjadi masalah serius untukku, aku terbiasa menahan lapar dan dahagaku sewaktu di Pulau buru, perutku terlatih untuk itu. Segelas air putih dan sepotong roti kering di dapur cukup untuk membuatku hidup selama berhari-hari. Ketika malam menimpakan kedamain air hujan, apalagi yang dapat diimpikan buronan sepertiku selain tidur dengan nyaman dan makan dan membersihkan diri? Apalagi yang dapat kulihat di tengah kabut pagi saat satu-satunya suara yang terdengar di seluruh jagad raya ini hanya desau angin, kalau bukan dedaunan kering yang bergulung-gulung lalu dihukum masuk ke dalam tempat pembakaran?

 

            Aku telah melupakan kepergian Ana. Rasa takut yang tidak manusiawi membuatku melupakannya. Tetapi nasib buruk tidak memberiku ampun. Pada suatu pagi yang cerah, saat tak ada lagi sepotong roti kering bahkan remahnya di dapurku, aku dipaksanya keluar kamar. Aku pernah mendengar cerita tentang penguntit dari Pramodya, namun menurutnya dia tak nyata. Hanya ada dalam karangan bebas semata. Aku ingin mempercayainya, tapi aku terlalu takut. Cukup lama aku mempertimbangkan apakah aku akan membawa pisau dapur atau pisau cukur untuk mempersenjati diri, sampai akhirnya aku tidak membawa keduanya dan membawa sebatang lidi yang ujungnya telah kuruncingkan. Sebuah senjata yang tak masuk akal tapi sangat berguna jika digunakan dengan benar.

 

            Di luar matahari sedang beranjak naik mengikuti para hambanya yang berperan sebagai manusia di bawah sini. Perlahan-lahan, dengan enggan, jalanan mulai dipenuhi manusia yang lalu-lalang. Aku menyembunyikan senjataku di balik saku celana. Orang-orang melewatiku tanpa menoleh. Aku tak peduli. Aku terus berjalan menuju toko roti. Berusaha tidak menarik perhatian siapa pun dan tidak melarikan diri. Di sudut jalan dekat pertigaan, kulihat toko roti langgannku sudah buka. Beberapa orang perempuan masuk ke dalam diikuti dua orang laki-laki. Sejenak lamanya aku berdiri tak bergerak, terdorong oleh orang-orang yang lalu-lalang, dengan mata terkunci ke toko roti. Darah berpacu kencang dalam urat nadiku. Bagaimana jika toko roti itu sudah dikuasai musuh? Bagaimana jika mereka bersembunyi di dalam untuk menyergapku? Kepalaku mendadak terasa seperti genderang: seribu satu pukulan bergema.

 

 

            Ingatkah engkau, Ana, saat dulu kau berkata padaku bahwa jika kita ingin mengatakan sesuatu, akan lebih mudah mengatakannya dengan merengkuhteman. Satu orang teman, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk memberi kesempurnaan di dalam suara kita. Aku menyadari kepedihan hidup, menemui kesendirian, mengalami rasa sakit, putus asa, dan ketakutan, saat kau tak ada lagi di sampingku, saat suaramu hilang dari telingaku. Sebab segenap diriku terangkum di dalam suaramu.

            Ana menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Percakapan atau pertengkaran antara manusia tidak berakhir dengan ketiadaan, Bung. Manusia mungkin tidak memiliki kata terakhir, tapi dia memiliki kenangan terakhir.”

            “Dan persahabatan?” ujarku.

            “Persahabatan adalah seni mencintai.”

            Aku tidak berkata apa-apa. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sementara langit berubah gelap dan malam hadir di dalam diriku.

 

 

            Pertemuanku dengan teman masa kecilku, Parta, telah mengalihkan segenap perhatianku dari rasa takut akan diburu, yang belakangan kusadari semata-mata hanya perasaanku—aku terlalu takut orang tahu masa laluku. Kami tak sengaja bertemu di pasar pada suatu pagi yang mendung. Dia terpaku menatapku, mengamatiku, meyakinkan dirinya sendiri bahwa lelaki yang berdiri di hadapanya itu aku, teman masa kecilnya yang dia hianati dan hancurkan hidupnya.

            “Mardian, kaukah itu? Benarkah kau Mardian temanku?” tanyanya lama kemudian.

            Aku tidak menyahut. Rasa benciku yang melebihi apa pun mencegahku. Aku memalikan wajah, berbalik pergi meninggalkan Parta. Di belakangku Parta terpincang-pincang mengejar sambil memanggil-manggil namaku. Aku mempercepat langkahku, kemudian berlari melawan arus pejalan kaki, sembunyi di balik tembok, lalu menyelinap ke gang sempit menuju rumahku dari arah yang lain dari jalan utama. Pertemuan tak sengajaku dengan Parta membangkitkan kebencian dan dendam yang telah lama tidur di dalam diriku. Hidupku dicemari kepahitan. Sebentuk kenangan keji memunculkan kenangan keji lainnya, dan jurang kebencian menganga semakin lebar setiap kali muncul satu kenangan keji lain di kepalaku. Aku ingin membunuh Parta, mencabik-cabik tubuhnya, melemparnya ke selokan, dan menimbunnya dengan kotoran. Bahkan itu semua belumlah cukup untuk menebus kesalahannya di masa lalu, atau lebih tepatnya mengembalikan masa kanak-kanakku dan nyawa ayahku yang telah dirampasnya waktu itu. Ya, Partalah yang bertanggungjawab atas segala kebusukan hidup yang bertubi-tubi menimpakuini, penderitaan berkepanjangan, dan ketakutan-ketakutan akan masa lalu yang terus menghantuiku.

 

            Semakin hari kebencianku terhadap Parta berkembang menjadi ambisi untuk membalas dendam. Bermalam-malam aku tak tidur. Aku menghabiskan hampir seluruh waktuku untuk menyusun rencana di atas kertas yang kemudian kurobek-robek. Aku tidak bisa menghabisi Parta seperti menghabisi Darkam. Jika aku melakukan itu aku akan ditangkap polisi dan dilempar ke penjara. Tidak, aku tidak mau hal itu terjadi. Aku telah kalah dalam segala pertempuran dengan nasib buruk dan kebusukan sejarah. Kali ini aku tak sudi kalah lagi.

 

 

            “Apakah Bung sungguh-sungguh menginginkan Parta mati?”

            “Entahlah, Ana. Aku tidak tahu. Kadang-kadang aku memang menginginkan Parta mati meski bukan di tanganku, tapi terkadang pula aku bicara baik-baik denganny. Maksudku dalam arti yang sebenarnya,” jawabku.

            “Bung masih menganggap Parta teman Bung meski apa yang telah dilakukannya terhadap diri Bung, itulah kebenarannya.”

            “Mungkin kau benar, Ana. Parta temanku, dan itu tidak mudah dilupakan begitu saja. Aku sudah belajar berlari begitu kencang. Lebih kencang daripada orang gila di jalanan. Tapi, aku tak ingin meninggalkannya, Ana. Aku tak bisa meninggalkan Parta.”

            Ana tersenyum sekilas. “Itulah yang membuat saya menyukai Bung. Bung memiliki cinta dan kebencian yang sama besar. Bung menyaingi Tuhan dengan kegilaan dan kejujuran.”

 

 

            Parta menemukan tepat tinggalku. Dia mengetuk pintu dan melakukan segala cara agar aku keluar dari persembunyian. Beberapa kali aku berpikir ini kesempatan yang baik untuk menyelesaikan urusanku dengannya, dia yang datang kepadaku, ke sarangku. Namun demikian, aku tidak punya cukup keberanian untuk membuka pintu bahkan sekadar mendekatinya.

            “Pergilah dari sini, Parta. Aku tak ingin menemuimu!”

            “Mengapa kau mengusirku? Apakah kau begitu benci padaku hingga tak sudi menemuiku?”

            “Ya, aku benci padamu. Kau menghancurkan hidupku, menghancurkan segala-galanya. Sekarang pergilah, enyahlah dari pintuku!”

            “Kau salah paham, ini tidak seburuk yang kau pikirkan.”

            “Ya, mungkin saja. Tapi aku tidak peduli.”

            “Aku bisa menjelaskan semuanya. Kita perlu bicara, kumohon.”

            “Tidak, Parta. Pergilah, aku tidak ingin menemuimu. Tak akan!”

            Aku tidak membuka pintu. Hening. Jeda. Apakah Parta masih ada di sana? Ya. Dia masih di sana, menungguku keluar. Dia takkan beranjak dari pintuku, takkan menyerah begitu mudah.Aku temannya, aku tahu persis bagaimana dia.

 

            Dari apa yang kudengar, setelah peristiwa hari itu Parta berhasil melarikan diri ke Kalimantan. Sedangkan pamanku Kardi tertangkap saat hendak menyebrang ke Sumatera dan dihukum mati tanpa pernah diadili. Parta terus berpindah-pindah tempat bersama teman-teman komunisnya yang lain untuk menghindari pengejaran. Terkadang bahkan dia menyamar sebagai gembel kotor atau pengemis atau orang gila. Di saat yang lain dia menjadi seorang guru sekolah rendah atau petugas loket jawatan kereta api.

            “Buka pintunya, Mardian. Kumohon. Bukankah kita ini selamanya teman? Kau sendiri yang bilang begitu.” Parta kembali mengganggu pintuku.

            “Ya. Tapi itu dulu. Sekarang kau bukan lagi temanku.”

            “Kenapa, Mardian? Apa kau takut padaku?”

            “Ya. Aku memang takut padamu. Aku ingin membunuhmu, tapi aku tahu sebagian diriku adalah dirimu.”

            “Kalau begitu, bukankanlah aku pintu. Aku akan mengenyahkan rasa takutmu dan mengembalikan sebagain dirimu yang berada di dalamku.”

            Parta benar-benar keras kepala. Aku tidak tahu sampai kapan pintuku sanggup bertahan darinya. Saat ini pasti tak hanya ada satu Parta di luar, melainkan seribu, bahkan sepuluh ribu Parta. Jika dia merasa lelah memintaku membuka pintu, mereka akan membulatkan tekad untuk mendobraknya dan mengoyak-oyak tubuhku dan aku tak akan sanggup lari darinya.

            “Aku tahu aku bersalah padamu, tapi kau harus mendengarkan alasanku. Ini menyangkut ayah ibumu, Mardian. Bukankah kau sangat menyayangi ayah ibumu?”

 

 

            Itulah awal mula hidupku dicemari kepahitan. Aku kecewa dan aku hancur. Rasa takut itu tidak asing. Aku ingat: suatu kali aku ketakutan setengah mati saat mendengar berita pembebasan tahanan politik Pulau Buru. Tapi semua itu pada akhirnya berlalu, aku dapat melupakannya. Kita hanya membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatian, dan itu sudah cukup untuk menghilangkan rasa takut. Tapi kekecewaan jauh lebih kuat, dia berakar dan tumbuh dengan cepat. Dia melumat kenangan, dia tidak memberi ampun, dia menghancurkan. Sungguh, kekecewaan meski kecil sekalipun, sangat berbahaya.

            Ana tersenyum: dia teringat sesuatu.

            “Kau tersenyum, Ana, dan aku menjadi gila. Aku tidak memiliki sesuatupun yang dapat diharapkan. Aku sendirian dan aku tak tahan lagi. Aku telah sampai di ujung batas. Jiwaku sendiri digelapkan kegilaan dan kelam malam. Untuk mempertahankan kewarasanku aku harus memiliki harapan. Juga teman. Kalau tidak, benakku akan lapuk dan membusuku, lalu bengkok seperti besi tua karatan dan hancur.”

            Ana tetap tersenyum, “Itulah tepatnya yang saya ingin Bung lakukan: mencari harapan, mencari teman, dan menciptakan kembali alam semesta. Tetap menjadi manusia—terlepas dari segala kepahitan hidup—itulah satu-satunya perlawanan yang bernilai di bumi kemanusiaan yang tak pasti.”

            “Apakah dapat dikatakan satu bentuk perlawanan bernilai dengan aku menjadi teman Parta dan bergabung ke dalam partai komunis? Katakan padaku, Ana. Buat aku mengerti, kumohon!”

            Ana masih tersenyum,“Manusia menjadi manusia jika dia berada di tengah manusia lainnya. Lebih sulit untuk tetap menjadi manusia daripada melompat melampaui kemanusiaan itu sendiri, Bung. Sebab menjadi manusia berarti mengakui yang baik dan yang buruk, sedangkan kemanusian hanya mengenal hak dan kebebasan. Pejamkanlah mata Bung. Dengarkan kehidupan yang berdetak di dalam darah, di dalam tanah, di udara, di angkasa, di lautan. Dengarkan desau angin yang menggetarkan pepohonan, dengarkan debur ombak menerjang karang, dengarkan rintihan hujan. Lalu berjalanlah Bung. Pergilah ke puncak gunung tertinggi. Tataplah langit, bacalah setiap kisah yang disuguhkannya. Di sana, pada langit yang tak terbatas itu, Bung akan menemukan kebaikan yang tersembunyi di bawah bintang-bintang yang membusuk. Juga matahari yang mati.”

            “Aku mengerti, Ana. Tapi, salahkah jika menganggap kebebasan hanya ada dalam kegilaan?”

            “Pembebasan, ya, Bung. Tapi kebebasaan, tidak. Kebebasaan hanya ada di dalam kemanusiaan; dengan menjadi manusia seutuhnya.”

 

 

            Pada akhirnya aku menerima Parta, membukakan pintu, dan mengikat kembali tali persahabatan yang terputus di masa lalu setelah dia berhasil meyakinkanku dan menceritakan satu kebenaran yang menyakitkan tentang kedua orangtuaku. Awalnya aku memang sempat tidak percaya apa yang keluar dari mulut Parta, akan tetapi, setelah dia menyajikan begitu banyak bukti dan penjelasan, aku pun percaya.

            “Kau harus menerima kebenaran yang menyakitkan itu, kawan. Bagaimanapun kau mengingkarinya, sekeras apa pun kau menyangkal, kebenaran tidak akan pernah berubah sampai kapan pun juga. Terimalah kenyatan ini dan bangkitlah. Berkhianatlah, karena kau masih manusia. Siksalah kekasihmu, tetanggamu, saudaramu, kau pun masih manusia. Kejahatan itu manusiawi, Kawan. Tetapi tidak menerima kenyatan, tidak menerima kebenaran, itu bukan sifat manusia,” kata Parta pada suatu hari saat dia mengunjungiku.

            “Aku tahu, Parta. Tapi ini semua sulit dipercaya. Maksudku, bagaimana mungkin ayahku tidak berbuat apa pun selama bertahun-tahun sedangkan dia tahu ibu komunis?”

            Parta tertawa. “Karena begitulah cara seorang laki-laki mencintai, Bung.”

            “Apa maksudmu?”

            Parta menenggak habis kopinya, menyalakan rokoknya, baru berkata, “Ketika seorang lelaki jatuh cinta, Kawan, dia akan menjadi seorang yang tolol. Dia berusaha menyerupai Tuhan dan bersikap seperti dia: berteman dengan keburukan, dan menerima segala hal yang tak manusiawi. Hanya cinta seperti itulah yang pantas bagi kehidupan menurut kami. Cinta yang utuh, cinta sebatang kayu terhadap api.”

            Aku diam beberapa lama. memikirkan kata-kata yang luar biasa itu.

            “Nah, Kawan. Sekarang, tidakkah kau berpikir untuk melakukan sesuatu sebagai bukti bahwa kau benar-benar mencintai ayah-ibumu?” sambung Parta.

            “Ralat, Parta. Ayahku. Aku kehilangan cintaku pada ibuku sejak aku mampu membaca matanya malam itu. Aku tidak lagi mencintai ibuku, aku tak peduli dengannya bahkan meskipun itu berarti aku anak durhaka,” sahutku.

            “Baiklah, ayahmu. Jadi bagaimana?”

            “Apa?”

            “Kau tidak berpikir untuk melakukan sesuatub demi ayahmu? Maksudku untuk membuktikan rasa cintamu pada ayahmu dan membalas semua ketidakadilan yang kalian alami.”

            “Bicaralah yang jelas, Parta. Aku tidak mengerti yang kau bicarakan.”

            Parta mengembuskan asap kelabu dari kedua lubang hidungnya. “Wah, Kawan. Kau sama sekali tidak berubah. Kau masihlah anak lugu yang berpikiran lurus.” Parta mencondongkan tubuh ke depan, berbisik penuh rahasia, “Begini, Kawan. Aku dan teman-temanku sedang mencoba membangun kekuatan kembali untuk mengobarkan makar. Bergabunglah denganku, buktikan kau mencintai ayahmu, tuntutlah ketidakadilan dan hak-hakmu.”

            “Entahlah, Parta. Sepertinya itu berbahaya. Aku tidak sekuat dirimu, dan aku tidak tahu apa-apa soal makar. Apalagi komunis,” jawabku.

            “Ssst. Pelankan suaramu. Dinding-dinding di sini punya telinga. Jangan sebut-sebut soal komunis, atau kita akan mendapat masalah serius. Begini saja, kau pikirkan dulu tawaranku ini. Kalau kau ingin bergabung denganku, kau tahu di mana harus menemuiku.”

            “Aku mengerti. Beri aku waktu untuk berpikir.” Meskipun begitu, aku tidak pernah pergi menemui Parta bahkan tidak berencana menemuinya.

 

            Tiga hari berselang Parta kembali mengetuk pintuku. Aku belum punya jawaban untuk diberikan, atau lebih tepatnya tidak pernah memikirkannya sama sekali. Sudah cukup aku memberontak terhadap Tuhan dan diriku sendiri, terhadap negaraku tidak. Namun, segalanya berubah setelah sore itu dia mengajaku berjalan-jalan dan memperkenalkanku kepada kekasihnya, Marni.

 

 

            “Benarkah itu, Bung?”

            Aku terkejut dan hampir terlompat mendengar pertanyaan Ana itu. “Apa maksudmu, Ana? Mengapa kau menayakan itu padaku?”

            “Bung mungkin bisa mengatakan kepada orang lain bahwa Bung menjadi komunis untuk membalas dendam atas kebohongan ayah Bung dan penghianatan ibu Bung. Atau lebih dalam lagi untuk membalas kebiadaban sejarah yang telah memperlakukan Bung dengan sangat tidak adil. Tapi yang sebenarnya adalah, Bung menjadi komunis demi mengejar gairah hidup baru yang bergejolak pada seorang waita muda. Marni. Bung mencintai Marni di atas segalanya, di atas ayah Bung, di atas diri Bung, bahkan di atas kewarasan Bung sendiri.”

            “Bagaimana kau tahu semua itu, Ana?”

            “Mengapa Bung heran? Saya tahu semua tentang Bung seperti saya tahu tentang diri saya. Bung memang tidak menceritakan banyak hal pada saya, tetapi,dalam setiap percakapan sederhana antara kita, dalam tatapan yang sarat dengan keberadaan dan pengakuan, saya bisa membaca segalanya tentang Bung. Karena saya mendengarkan dan memahami Bung.”

            “Aku menggila, Ana. Aku ingin menjadi lelaki dewasa dan menyelamatkan sisa kewarasanku. Aku ingin mempertahankan diriku dari yang lain, bagaimanapun caranya itu. Aku tahu yang aku lakukan ini bodoh, dan—di atas segalanya—dipenuhi pengharapan tanpa batas. Aku ingin dicintai dan mencintai.”

            Ana menangis. Belum pernah aku melihatnya menangis selama ini. Dengan susah payah aku berusaha menenangkan Ana. “Jangan menangis, Ana. Kumohon. Berhentilah, jangan menangis lagi.”

            “Ini adalah airmata bahagia, Bung,” sahut Ana. “Apa yang baru saja Bung katakan membuat saya iri sekaligus bangga pada Bung. Bung tidak pernah mencoba mencapai ketinggian dengan memaksan diri terbang di atasnya. Bung berani mengambil resiko kehilangan segalanya demi mempertahankansesuatu yang berharga bagi Bung. Bung telah melebihi ayah Bung. Bung telahmenjadi seorang manusia.”

            “Kau yang mengajarkannya padaku, Ana; kau yang mengajarkanku cara menjadi manusia.”

 

 

            Kami—aku dan Parta—berangkat ke Pada Suka naik kereta api. Hanya ada kami berdua dalam gerbong itu. Parta tampak penuh gairah, bersinar-sinar, seakan-akan dia sedang dalam perjalanan liburan. Kali ini, untuk yang pertama kalinya setelah aku bertemu kembali dengan Parta, aku memperhatikan wajahnya dengan seksama.Tenang, tiada tanda-tanda kegugupan di wajahnya, tiada gerak tubuh yang menyiratkan kegelisahan. Alangkah berubahnya dia malam ini dari saat pertama kali kami bertemu. Parta saat itu adalah manusia setengah gila. Tak bercukur, kotor, bungkuk, pincang dan bermata kuyu. Ada sesuatu yang menyerupai sosok pengemis dalam dirinya yang putus asa dan lapar. Meskipun kepadaku dijelaskan bahwa dia waktu itu sedang menyamar.

            “Setelah sekian lama akhirnya kita pulang juga, Parta,” ujarku.

            “Ya. Tiada yang lebih menyenangkan daripada pulang ke kampung halaman bukan, Kawan?”

            Aku mengangguk sekilas. “Seorang temanku pernah berkata: jika kau bisa melihat bayangan temanmu sendiri di ambang pintu, kau baru akan percaya pada kekayaan keberadaan. Dan dia benar, Parta. Maksudku, lihat, kita akan pulang ke Pada Suka.”

            “Ya. Dan bersama kita akan menang. Ketika dua orang tertindas bersatu, kepalan tangan mereka jauh lebih kuat, pukulannya lebih mematikan, dan mereka lebih kuat daripada dunia. Lebih tangguh. Lebih nyata. Lebih menjanjikan.”

 

            Kereta api bergerak ke Utara. Pemandangan alam yang temaram di bawah sinar bulan berlarian di jendela. Kilatan-kilatan cahaya lampu di tempat yang jauh susul menyusul tanpa putus. Seperti kunang-kunang yang sedang bermain kejar-kejaran. Parta terus mengoceh. Dia menjelaskan ini dan itu terkait rencananya menjadikan Pada Suka markas petinggi makar mereka.

            “Kawan Kasim sudah menunggu kita di Pada Suka. Beberapa kawan yang lain juga telah sampai di sana,” kata Parta.

            “Tapi, bagaimana dengan penduduk di sana? Bagaimana jika mereka tahu siapa kita?” aku menyela.

            “Kau tidak perlu cemas soal itu, Kawan. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa. Orang-orang Pada Suka tidak akan curiga, bahkan tidak akan pernah sampai berpikir yang tidak-tidak. Kau kan tahu sikap pasif mereka bagaimana?”

            “Tapi, bagaimana jika perhitungan kita meleset? Aku tidak mau kembali ke penjara lagi, Parta. Tak sudi.”

            “Jika tidak ada pengkhianat dari dalam, misi ini pasti berjalan mulus. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.” Parta menyalakan rokoknya. “Tenanglah, Kawan. Kau tidak perlu cemas memikirkan ini dan itu. Nikmati saja perjalanan ini,” sambungnya sambil mengembuskan asap kelabu dari kedua lubang hidungnya.

            Aku mengusir gumpalan yang menari-nari di depan wajahku dengan tanganku. “Entahlah, Parta. Aku hanya tiba-tiba merasa takut. Aku merasa ini salah. Aku salah. Kepulanganku ini salah. Semuanya salah.”

            Parta terbahak-bahak mendengar pengakuanku. “Kawan, kau hanya tegang. Itu hal yang biasa. Wajar. Yang perlu kau lakukan hanya meyakinkan dirimu sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahkan lebih baik dari sebelumnya.” Parta tersenyum padaku dan mengangguk kecil penuh arti.

 

            Kami tiba di Pada Suka saat fajar menyingsing. Parta memanduku ke markas rahasia mereka yang terletak di sebelah timur dekat hutan. Jalan yang kami lalui berlumpur dan gelap. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari senter kecil yang sudah mulai meredup kehabisan batrai di tangan Parta. Beberapa kali aku hampir terjatuh terpeleset.

            “Perhatikan langkahmu, Kawan. Berhati-hatilah. Jangan sampai kau jatuh terpeleset.”

            “Hutan ini sudah lain sama sekali dari dulu,” kataku. “Dia lebih kejam, dan lebih gelap.”

            Parta tertawa. “Dunia, manusia, zaman, hutan, bahkan binatang sekalipun semuanya bergerak, berubah. Mengapa kau heran?”

            Parta benar. Kehidupan memang terus berbenah memperbaharui dirinya. Begitu juga dengan hutan ini. Bertahun-tahun lalu aku mengenalnya sebagai hutan biasa dengan kerimbunan dan kehijauannya yang biasa. Namun malam ini hutan itu telah menjadi lain, jauh lebih rimbun, lebih hijau, lebih liar, dan asing. Bahkan aromanya bukan lagi kesegaran rumput pagi, melainkan daun-daun busuk dan akar dan lumpur dan air kotor. Aku pulang ke kampung halamanku, ke hutan tempatku bermain dulu, tapi aku seperti orang asing di masa yang berbeda. Mendadak rasa takut menjalari tubuhku dari kaki hingga kepala.

 

 

            “Jadi, itukah alasan Bung kembali ke Pada Suka? Untuk menjadikannya markas mengobarkan makar komunis?”

            “Itu rencana Parta dan partainya, Ana. Aku mempunyai tjuan yang lain sama sekali. Tujuan pribadi. Aku berjanji akan memberitahumu, tapi sekarang, kumohon jangan menyelaku. Aku harus menyelesaikan ceritaku, Ana.”

 

 

            Tawaku hampir meledak saat aku tahu yang dimaksudkan markas oleh Parta adalah lubang perlindungan dari tentara Belanda penduduk di Pada Suka di masa lalu. Kawan Kasim menjemput kami di muka lubang perlindungan lalu mempersilakan kami masuk. Ada sekitar dua puluh orang anggota partai yang telah berada di dalam yang semuanya tidak kukenal dan tidak ingin aku kenal. Kawan Kasim selaku pimpinan tertinggi parta menjelaskan apa yang harus kami lakukan. Aku dan Parta bertugas mencari simpatisan di Pada Suka, sementara yang lainnya akan memainkan peran yang telah ditntukan untuk meyakinkan orang-orang di sana.

            “Ingat, apa pun yang terjadi, jangan sampai kalian memberitahukan tempat ini. Jika ada salah satu dari kalian yang merasa mulai dicurigai, segera tinggalkan Pada Suka dan pergi melalui jalan timur.”

            “Bagaimana dengan Marni? Apakah Marni juga akan bergabung dengan kita di sini?” tanyaku yang entah mengapa tiba-tiba bertanya demikian.

            Parta tertawa. “Kawanku yang sedang jatuh cinta,” sahutnya, “Marnimu tidak mungkin kami izinkan ikut dalam misi berbahaya ini. Kami tidak mau mengambil resiko bahaya untuknya.”

 

 

            “Ceritakanlah lebih banyak tentang kekasih Bung,” Ana menyelaku. “Saya ingin mendengar semuanya.”

            Ada nada yang aneh dalam suaranya, suatu nada rahasia yang sengaja dia sembunyikan dariku. Aku ingin menguji dugaanku, tapi aku tahu aku tak punya cukup waktu untuk itu. Maka, “Apa yang ingin kau ketahui tentang Marni, Ana?”

            “Semuanya, Bung. Misalnya, mengapa begitu mencintai Marni?”

            “Entahlah. Aku mencintainya begitu saja. Mungkin karena dia menganggapku ada.”

            “Bagaimana dengan Marni sendiri, apakah Bung yakin Marni benar-benar mencintai Bung?”

            Untuk sesaat aku tersentak. Pertanyaan Ana tepat memukul dadaku. Apakah Marni benar-benar mencintaiku? Meskipun dia telah memberikan tubuhnya kepadaku tapi apakah dia benar-benar mencintaiku? “Entahlah, Ana. Aku tidak tahu apakah Marni benar-benar mencintaiku atau dia hanya pura-pura mencintaiku. Sebelum kau menyelamatkan jiwaku di dasar jurang malam itu, aku samar-samar ingat Parta mengatakan bahwa Marni pengkhianat. Marni ternyata anak Jendral Sudarto yang ditugaskan untuk menyusup ke dalam partai.” Aku menengadah, menatap hamparan langit yang gelap. Aku teringat Marni, wajahnya, kepang rambutnya, tubuh hangatnya yang mengundang gairah, dan… ciumannya yang lengket. “Aku tidak percaya Marni sampai hati melakukan itu padaku, Ana.”

            “Apakah dia sedang berbicara dengan bayangan Marni, Jendral?” tanya Kolenel Sudarto.

            “Sepertinya bukan,” sahut Jendral Sumarto. “Dia memanggilnya Ana, bukan Marni.”

            “Lalu bagaimana menurut Anda, apakah masih ada harapan?”

            Jendral Sumarto menyorotkan seter di tangannya ke wajah Mardian. “Dia sudah tidak berada di sini.”

            “Ini kegilaan yang mengerikan. Aku belum pernah melihat kegilaan seperti ini seumur hidupku.”

            Jendral Sumarto mengangguk. “Benar-benar sulit dipercaya memang.”

            “Apa yang sulit dipercaya itulah kenyataan, Bung,” sahut Ana. “Ketika seorang lelaki patah hati dikhianati kekasihnya dia akan manjadi gila. Berlari kian ke mari dan berteriak-teriak ingin mati. Tapi begitu, Bung hanya perlu bertemu teman Bung—seorang teman yang tersenyum lembut—dan kesedihan Bung akan sirna. Yang dibutuhkan untuk menerima kenyataan hanyalah membuka hati. Sesederhana itu, Bung.”

            Ada air mata mengembang di mataku. Belum pernah aku merasa begitu dekat dengan seseorang seperti saat ini. Rasanya aku rela memberikan apa saja, berbuat apa saja untuknya. Asalkan aku bisa terus bersama dengannya, mendengarkan suaranya.

            “Bung menangis?”

            Ayahku: “Kamu menangis, Nak?”

            “Ya, Ana. Tapi ini air mata kebahagiaan.”

            Ibuku: “Mengapa kamu menangis, Mardian?”

            “Aku telah menemukan kebahagiaan yang selama ini kucari. Aku terharu.”

            Parta: “Laki-laki cengeng!”

            Ayahku: “Jangan ganggu anakku! Dia tidak berbuat sesuatupun yang merugikanmu. Pergi, tinggalkan anakku!”

            Ibuku: “Jangan ganggu anakku! Dia tidak berbuat sesuatupun yang merugikanmu. Pergi, tinggalkan anakku!”

            Paman Sudarto: “Tidak, kau akan tetap berada di sini sampai kau menceritakan segalanya padaku.”

            Mardian: “Aku tak akan pernah mengkhianati temanku apa pun resiko yang harus kutanggung.”

            Ana: “Aku tak akan pernah mengkhianati temanku apa pun resiko yang harus aku tanggung.”

Tags: Senja

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (32)
  • SusanSwansh

    @Ivaumu wkwkwkkwkwk selamat berpusing riaaa

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Aku sampai sini dibikin ora paham-paham. Sik sik. Kayaknya butub baca lagi di suasana tenang. Hmmm. Ndak sabar terbit.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Kampret sampeyan yuk. Aku dibuat campur aduk.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • Ardiana

    @RizzalRr bukan hindi kok kak. Indie yang anak Indie itu, kan identik dengan senja, hehe

  • Fildannn

    Kereeeeeeeeeen bgt ceritanya kak san.

  • Diyahparamita

    satu chap panjang banget. Tapi nggak kerasa bacanya.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • viviriswar

    đź‘Ťđź‘Ťđź‘Ť

    Comment on chapter Senja Pertama
  • RizzalRr

    @Ardiana coba deh baca chap 1 sampai rampung.

  • RizzalRr

    @Ardiana kalau yang dimaksud indie itu india, menurutku sih enggak sama sekali. Filsafat yang dipake di sini bukan filsafat hindi malah. Beberapa justru mengadopsi pemikiran2 barat moderen. Kalau india itu kan biasanya identik dengan perjuangan cinta. Cerita ini justru condong ke konflik batin si mardian dengan Tuhannya.

  • RizzalRr

    Mantul banget. Aku bingung mau komentar apa. Dari awal baca rumahnya udah kuat banget. Narik terus. Jadi nggak kerasa baca satu chapter yang segitu panjangnya.

Similar Tags
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
533      364     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6033      1531     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Senja di Sela Wisteria
426      266     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8024      1486     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Kala Senja
32791      4714     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1160      769     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
My Universe 1
3789      1273     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Senja Belum Berlalu
3763      1355     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...