Read More >>"> Senja di Tanah Senja (Malam) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja di Tanah Senja
MENU 0
About Us  

            Ketika diri manusia sampai pada batas keberadaannya, ketika gerak pembebasan jiwa yang telah cukup lama menderita dialihkan menjadi cinta, maka disaat itulah dia akan menemui kedalaman sejati dari derajatnya sendiri sebagai manusia. Mardian berdiri di tepi hutan lebat menantang langit. Kedua tangannya terkepal erat, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mata pemuda itu membakar langit. “Wahai langit tempat Yang Kuasa berpijak, dengarlah: hari ini aku berhenti memohon, aku tak sudi lagi meratapuntuk sedikit belas kasih. Katakan pada-Nya: jika dia ingin membakarku di neraka, aku menerimanya dengan sepenuh hati.”

            “Ya, komunis bangsat sepertimu memang akan di bakar di neraka!” seseorang berseru dari arah belakang. “Jika kau memang tidak takut pada kematian, melompatlah ke dalam jurang. Buktikan ucapanmu sebagai seorang laki-laki!”

            “Ya, ya. Buktikanlah pada kami. Kalian orang komunis bukankah tidak takut mati?” seorang lain menanggapi.

            “Jadi kau takut? Sudah kuduga,” ejek yang lainnya lagi. Tawa mereka seketika meledak.

            “Tak ada manusia yang tak takut mati, Jendral! Bahkan orang gila sekalipun takut pada kematian.”

            Mardian mengertakan gigi, menahan luapan amarah yang membuncah di dadanya.

            “Menyerahlah, Mardian. Kau sudah terkepung. Kau tak bisa lari dari kami.”

            Mardian mengenali suara itu sebagai suara pamannya sendiri, Kolonel Sudarto. “Aku tidak akan lari, Kolonel,” sahut Mardian seraya membalikan badan. “Aku bukan lagi lelaki pengecut yang selalu bersembunyi di punggung ayahnya yang kau kenal di Pulau Buru. Sekarang, sekalipun kau dan anak buahmu mengepungku, aku tak gentar. Bahkan, meskipun kau berhasil menangkapku pada akhirnya, kau tak akan mendapatkan informasi apa pun dariku. Karena aku tidak akan pernah mengkhianati temanku.”

            “Keras kepala!”

            “Teman tidak akan pernah mengkhianati temannya.”

            Jendral Sumarto murka. “Kalau begitu pergilah temui temanmu itu di neraka!” dia mengacungkan senapannya tepat di jantung Mardian.

            “Kau tidak perlu repot-repot mengirimku ke neraka, Jendral. Aku bisa menemukan jalanku sendiri.” Dengan satu lompatan kecil di udara Mardian pun terjun bebas ke dalam mulut gelap sumur tua di belakangnya. Kemudian terdengar suara berdebuk keras di dasar kegelapan.

            “Dasar bodoh!” Kolonel Sudarto melempar senapannya dan berlari ke bibir sumur. “Mardian, jawab aku, Nak! Mardian!”

 

******

 

            Rintihan pilu yang menyayat hati membuat Rohanah terbangun dari tidur panjangnya. Dia mengenali nada-nada kesedihan itu. Rohanah mengambil obor minyak dan bergegas melayang ke arah sumber suara itu berasal. Ketika dia telah semakin dekat dia mencium aroma tubuh, napas, dan kehangatannya yang tak asing yang bercampur darah dan keputusasaan. Rohanah mempercepat langkahnya. Obor minyaknya berpendar-pendar. Rintihan itu terdengar lagi. Lebih dalam dan perih. Kemudian berubah menjadi gumam lirih. Ana menyadari kegentingan jika dia sampai kehilangan suara itu. Namun, satu gerak tiba-tiba dari semak belukar tak jauh darinya, menghilangkan kecemasan Rohanah.

 

            Seonggok tubuh lelaki muda yang terbelit tali kulit senapannya yang tengah sekarat menggugah rasa lapar Rohana. Matanya bersinar-sinar. Dia memutuskan tali kulit membakar tali kulit yang membelit tubuh lelaki sekarat itu hingga putus dan tubuhnya terjerembab ke tanah. Rohanah mendekatkan wajah, melumat mulut mangsanya dengan mulutnya, menjangkau lebih dalam dengan lidahnya, dan dia pun menyatu kembali dengan tubuh lelaki itu setelah sekian lamanya.

 

*****

 

            “Bagaimana? Apa dia masih hidup?”

            “Keponakan Anda masih hidup, Kolonel!” seru seorang tentara yang tengah berjongkok memeriksa denyut nadi Mardian.

            “Oh, Tuhan. Syukurlah. Cepat, angkat dia. Kita harus membawanya ke rumah sakit sebelum hal buruk terjadi padanya,” perintah Kolonel Sudarto dari atas.

            “Siap, laksanakan!”

            Seorang tentara menyorotkan senter ke tubuh Mardian, sementara dua yang lain bersiap mengangkatnya. Naumun tiba-tiba, seperti mendapat aliran listrik jari-jari Mardian mulai bergerak-gerak. Jari tengah, jari manis, jari telunjuk—kelima jarinya.

            “Kolonel, keponakan Anda mulai sadarkan diri.” Tentara itu melapor.

            “Apa katamu?”

            “Mardian, mulai sadarkan diri.”

            Kelopak mata Mardian bergerak-gerak, perlahan dia membuka mata.

            “Kolonel, keponakan Anda sudah sadarkan diri.”

            Kolonel Sudarto senang bukan kepalang. “Kalau begitu cepat angkat naik.”

            “Siap, laksanakan!”

            “Ti … dak!” gumam Mardian lirih. Bibirnya bergerak-gerak menandakan masih ada yang ingin dia katakan.

            Ketiga tentara yang hendak mengangkatnya ke atas saling berpandangan.

            “Apa yang dia katakan?”

            “Entahlah, tidak begitu jelas dan tidak penting.”

            “Kalau begitu mari kita angkat. Siapkan tali pengikatnya.”

            “Ti… dak. Jangan….” Gumam Mardian lagi.

            “Apa yang terjadi di bawah sana? Mengapa kalian lama sekali?” seru Kolonel Sudarto di atas mereka.

            “Kolonel, sepertinya keponakan Anda tidak ingin dibawa naik ke atas. Dia menolak untuk kami angkat.”

            “Jangan bercanda, kita harus membawanya ke rumah sakit. Cepat, angkat dia ke atas!”

            Bibir mardian kembali bergerak-gerak. Seorang tentara berinisiatif mendekat lalu berjongkok. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya sambil mendekatkan telinga ke mulut Mardian.

            “Biarkan aku tetap di sini,” bisik Mardian. “Tinggalkan aku di sini, aku… ingin sendirian.”

            “Maafkan aku, Bung. Tapi aku tak bisa mengabulkan permintaanmu. Ini perintah. Selain itu, Bung terluka parah. Bung bisa mati busuk di sini.”

            “Jika bukan karena perintah langsung dari atasan kami, sebenarnya kami dengan senang hati mengabulkan permintaan Bung yang ingin membusuk di sini. Bung pantas mendapatkan itu untuk apa yang telah Bung lakukan pada negara kami. Tapi sayang sekali, kami tidak bisa mengabulkannya.”

            “Bangsat!” umpat Mardian dalam gerak bibirnya.

 

 

            “Bersabarlah, Bung. Semuanya akan segera baik-baik saja.”

            Mardian menoleh. “Ana? Kaukah itu?”

            Ana tersenyum menghampiri Mardian. “Ya, Bung. Ini saya. Ana.”

            “Oh, Ana. Ke manakah engkau selama ini, mengapa kau pergi meninggalkanku begitu saja?”

            “Saya tidak pernah meninggalkan Bung. Saya selalu berada di dalam diri Bung. Hanya, karena sesuatu hal, kadang-kadang saya tertidur.”

            “Apa kau lelah mendengarkan ceritaku yang membosankan, Ana?”

            “Tidak, Bung. Sama sekali bukan begitu.”

            “Lalu, mengapa?”

            “Itu adalah hukum alam. Tak bisa ditolak, apa yang terjaga pasti akan tertidur.”

            “Sungguh, bukan karena kau bosan mendengar ceritaku atau kau mulai muak denganku?” cecar Mardian.

            Ana mengangguk hikmat. “Bung teman saya, tidak mungkin saya membohongi Bung.”

            “Kalau begitu, bersediakah engkau mendengarkan bagian terakhir dari kisahku, Ana?”

            “Dengan senang hati, Bung. Tentu saja.”

 

 

            “Bagaimana keadaannya, Pak Mantri?”

            Mantri desa yang bertubuh tambun dan sedikit botak itu tersenyum. “Sungguh satu keajaiban. Keponakan Bapak baik-baik saja. Lukanya tidak terlalu serius. Hanya saja, saya sedikit khawatir dengan benturan di kepalanya. Semoga saja kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan.”

            “Apa maksud Pak Mantri?”

            Masih dengan senyum yang sama dokter desabertubuh tambun itu menjawab, “Karena benturan yang cukup keras, saya khawatir keponakan Bapak ada masalah di kepala. Ini perlu pemeriksaan lebih lanjut, tapi, sayangnya di desa ini belum ada peralatan yang memadai untuk melakukannya. Untuk itu, sementara kita lakukan tes lama. Yaitu menanyainya dan lihat bagaimana jawaban keponakan Bapak. Jika jawabanya tidak mencercau, saya rasa tidak ada masalah dengan kepala—”

            “Kepala saya baik-baik saja, Pak Mantri,” sahut Mardian dari ujung ruangan. “Bapak ingin mengujinya? Baiklah, dengarkan ini: nama saya Mardian, saya lahir di Pada Suka dua puluh tahun silam. Ayah saya seorang mantri pasar, orang-orang memanggilnya Pak Mantri. Ibu saya meninggal di usia saya sebelas tahun. Saya dan ayah saya dituduh partisipan komunis dan diasingkan ke Pulau Buru. Ayah saya meninggal karena disentri dan—”

            “Cukup, Mardian,” sergah Kolonel Sudarto. “ Jangan bicara apa-apa lagi.”

            Dengan susah payah Mardian bangun dan duduk di tempat tidurnya. “Baiklah, Paman. Tapi aku ingin paman melakukan satu hal untukku. Anggap saja ini permintaan terakhirku.”

            Kolonel Sudarto meminta dokter desa itu keluar. “Saya ingin berbicara masalah pribadi dengan keponakan saya,” kata Kolonel Sudarto.

            “Tentu saja, silakan, Pak Tentara.”

            Kolonel Sudarto duduk di tepi ranjang di sisi Mardian. “Sekarang katakan apa yang kau ingin pamanmu ini lakukan, Mardian? Tapi, jika yang kau inginkan itu adalah mengusahakan kebebasanmu lagi, maaf, kali ini paman tidak bisa berbuat apa-apa. Tentu saja kau sendiri tahu alasannya.”

            “Aku tidak akan meminta itu,” sahut Mardian. Suaranya lemah namun cukup jernih. “Aku tahu kali ini aku memang bersalah dan pantas mendapatkan hukuman. Hanya saja, aku ingin akulah yang menghukum diriku sendiri.”

            “Apa maksudmu?”

            “Aku ingin Paman memenjarakanku di sumur tua itu, lalu menutup mulut sumur dan menjaganya agar tak ada siapa pun yang mengunjungiku untuk berbicara padaku. Aku ingin sendirian sepenuhnya.”

            “Apa yang kau pikirkan, Mardian? Kau ingin mencoba bunuh diri sekali lagi?”

            Mardian tersenyum. “Tidak, Paman. Aku hanya ingin merasakan penjara yang sesungguhnya. Terputus dari dunia; sendirian dan kesepian. Aku ingin melihat sejauh mana diriku sanggup bertahan, dan Paman bisa menilai seberapa berhasil hukuman ini memberi efek jera bagi yang lainnya.”

            “Tapi kau tidak akan bertahan!” potong Kolonel Sudarto. “Sumur itu begitu gelap dan cukup dalam. Kau bisa buta dan gila karena tidak melihat cahaya apa pun di sana.”

            “Itulah yang aku inginkan, Paman.”

            “Apa kau sudah gila, Mardian?”

            “Ya, aku sudah gila. Sudah lama aku gila, Paman. Tetapi, dalam kegilaanku itu aku menemukan kemanusiaanku. Dan sekarang aku ingin membebaskannya.”

            Kolonel Sudarto mengehela napas dalam-dalam. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar pengakukan keponakannya. “Nak, Paman berjanji akan mengupayakan kebebasanmu sekali lagi. Paman akan melakukan segala cara, tidak peduli apa pun resikonya, asalkan kau bisa bebas. Tapi, Paman mohon, berhentilah berkata yang bukan-bukan. Paman menyayangimu, Mardian. Paman tidak sampai hati melihatmu begini.”

 

 

            “Aku tahu, Ana. Tetapi, ini sudah menjadi keputusanku. Bukan aku tidak menyayangi pamanku atau membencinya. Sebagai seorang laki-laki aku ingin belajar bertanggungjawab untuk apa yang telah aku lakukan. Aku harus melakukannya. Aku tidak mau menjadi pengecut yang bersembunyi di balik bayanganku sendiri. Tidak, Ana. Aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanku, bahkan jika itu berarti aku harus menawarkan kewarasaan dan nyawaku. Aku rela, Ana. Asalkan harga diri dan martabatku sebagai laki-laki tidak hilang.”

            “Bung benar,” sahut Ana. “Kita hanya perlu melihat jauh ke depan untuk dapat mengetahui kapan akan menangis dan kapan akan tertawa. Semua jenis kebijaksanaan itu berakar dari dua kata: kecermatan dan kesabaran.”

 

 

            “Apalah artinya hidupku ini jika aku tidak bisa mempersembahkan yang kumiliki pada kehidupan, Paman?” tanya Mardian.

            Kolonel Sudarto tidak mampu menjawab.

            “Ayahku pernah berkata: ‘Jika kamu ingin keberadaanmu diakui, maka kamu harus menjadikan dirimu legenda.’ Karena itulah, Paman, aku mohon, sekali ini saja, tolong kabulkan permintaanku. Bantulah aku agar keberadaanku diakui. Aku tidak ingin penderitaan yang begitu dalam yang kualami tidak meninggalkan satu jejak pun. Bantulah aku, Paman. Aku tidak akan meminta apa pun lagi setelah ini.”

            “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya meskipun dengan berat hati.”

 

 

            “Pamanku memang tidak meneteskan airmata, Ana. Tapi, dari gerak tubuh dan getar suaranya, dari keenggananya menatap mataku, aku bisa merasakan betapa hancur lebur perasaannya saat itu. Jika kata-kata mampu mengubah perasaan, seharusnya perasaan mampu mengubah keadaan. Masalahnya adalah perasaan itu terlalu lembut, hingga terkadang membuat kita menjadi tidak tertarik pada sesuatu yang ada, dan itu sudah cukup untuk menolak kehadiran diri kita sendiri.”

 

 

            Kolonel Sudarto mondar-mandir sambil melipat tangan di dada. Sesekali dia menoleh ke arah Mardian yang sedang tertidur lelap di sebelahnya. Dia tampak begitu damai dalam tidurnya. Tak ada beban masa lalu, tak ada kesedihan, tak ada penyesalan, tak ada sesuatupun yang memberatkan terlukis di wajahnya—benar-benar tenang, benar-benar damai, benar-benar tanpa kepalsuan. Sebutir airmata meluncur deras di pipi Kolonel Sudarto dan pecah begitu menyentuh ujung kerah bajunya. Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan seolah-olah berjuang mengenyahkan beban penderitaan yang tak terlihat dari dalam dirinya dengan cara halus. Beragam wajah dan takdir bertempur dahsyat di dada Kolonel Sudarto. Kakaknya yang tua renta dengan senyum perihnya yang membuat dia merana, mata nyalang kakak iparnya saat mereguk kenikmatan dan kemenangan di kala maut menjemputnya, senyum mengejek Kardi adik kandungnya sendiri yang durhaka, kemarahan Parta yang tolol,  dan… kedamaian di wajah Mardian. Sekali lagi, Kolonel Sudarto menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kemudian, dengan satu gerakan, dia berbalik meninggalkan ruangan itu.

 

 

            “Paman Darto membangunkanku di malam buta. Dia telah menyiapkan keberangkatanku. Mobil Jeepnya terparkir di halaman rumah Pak Mantri. Aku tidak bertanya ke mana kami akan pergi dan Pamanku pun tidak menjelaskan apa-apa. Kami berangkat tanpa ribut-ribut.

            “Malam luruh semakin pekat, angin membelai pepohonan untuk membisikan rahasia pada dedauan yang berkilau tertimpa cahaya bulan purnama yang bahasanya hanya mereka pahami sendiri. Paman mengendarai mobilnya tanpa terburu-buru. Pada Suka tengah beristirahat, tertidur lelap seperti bayi dipangkuan ibunya. Saat mobil kami melintasi pematang sawah, entah mengapa aku merasakan ketenangan yang aneh. Seluruh masa kecilku seolah-olah terbentang di hadapanku, di atas sawah-sawah itu. Di kejauhan terdengar air bergemericik. Semilir angin dingin berembus dari jendela dan menyentuh wajah kami. Aku berkata pada pamanku kalau aku sangat berterimakasih padanya untuk semuanya ini. Pamanku hanya mengangguk lesu.

            “Kesedihan Paman Darto semakin tampak saat kami meninggalkan jalan utama Pada Suka menuju ke arah hutan. Aku berusaha menghibur pamanku dan meyakinkannya tak ada yang perlu dicemaskan. Aku akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja. Kukatakan aku bisa mengeyahkan kelamnya malam dengan tangan kosong. Aku akan membunuh laba-laba hitam yang membawa kemalangan dan nasib buruk. Aku terus berbicara ini dan itu dan pamanku tak mendengarkanku.

            “Roda mobil kami terus berputar, perlahan tapi pasti. Aku tahu pamanku sengaja melakukan itu untuk mengulur waktu agar bisa sedikit lebih lama denganku. Namun, saat kami tiba di persimpangan jalan, aku terkejut bukan kepalang karena paman berbelok ke kiri bukan mengambil jalan lurus.Menyadari keterkejutanku, dia bergegas memasukan persneling dan menambah kecepatan.

            “ ‘Paman, kita mau ke mana?’

            “ ‘Tenanglah, Nak. Aku akan menyelamatkanmu. Kita pergi dari desa ini bahkan jika perlu ke luar negeri. Kau tidak perlu takut. Aku akan melakukan apa pun untuk menolongmu. Aku berjanji.’

            “ ‘Mengapa kau melakukan ini padaku, Paman?Teganya kau membohongiku.’

            “ ‘Aku harus melakukan ini, Mardian. Mengertilah.’

            “ ‘Apa yang harus kumengerti?Bahwa Pamanku sendiri mengkhianatiku?’

            “ ‘Jangan salah paham, Nak. Aku melakukan ini demi kebaikanmu.’

            “ ‘Aku tahu apa yang terbaik untukku.’

            “ ‘Tidak. Kau sama sekali tidak tahu.’

            “ ‘Jangan mengaturku!’

            “ ‘Ini kewajibanku. Kau keponakanku, aku harus menjagamu.’

            “ ‘Kau bukan pamanku! Kau pembohong!’

            “ ‘Aku sangat menyayangimu, Mardian. Aku tak mungkin membiarkanmu mencoba bunuh diri untuk yang kedua kalinya.’

            “ ‘Jangan bodoh! Yang kulakukan adalah membebaskan diri, bukan bunuh diri!’

            “ ‘Kau benar-benar sudah hilang akal!’

            “ ‘Akan kuberitahu apa itu hilang akal.’

            “ ‘Apa yang kau pikirkan, Mardian?’

            “ ‘Melompat.’

            “ ‘Jangan bertindak bodoh, Mardian!’

            “ ‘Paman yang memaksaku!’

            “ ‘Aku melakukan ini semua karena aku sayang dan peduli padamu. Aku tak ingin kau celaka, kau harus tahu itu!’

            “ ‘Aku tahu itu. Aku tahu kau sangat menyayangiku. Tapi kau pun harus menghargai keputusanku.’

            “ ‘Tidak akan! Itu gila!’

            “ ‘Kalau begitu aku akan melompat dari mobil ini.’

            “Tangis pamanku pecah, dengan terpaksa dia mengehentikan laju mobil Jeepnya.

            “ ‘Maafkan aku, Paman. Aku sama sekali tak bermaksud menyakiti hatimu. Aku hanya ingin menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Karena hanya dengan cara itulah aku bisa mengembalikan harga diri dan martabatku yang hilang di masa lalu.’

            “ Pamanku tidak menjawab.

            “ ‘Paman, aku mohon Paman jangan membenciku untuk pembangkangan ini. Berjanjilah padaku, Paman. Kumohon.’

            “ Pamanku masih diam memejamkan mata.

            “ ‘Katakanlah sesuatu, Paman. Jangan sakiti hatiku dengan kebungkamanmu.’

            “ Pamanku tetap diam. Aku menangis.

            “ ‘Apa pun itu, Paman, kumohon katakanlah sesuatu. Katakan Paman membenciku atau apa pun, demi Tuhan!’

            “ ‘Apa yang harus kukatakan padamu, Nak? Bahwa aku seorang paman yang tak becus menjaga keponakan satu-satunya? Bahwa aku seorang paman yang tak berguna? Atau bahwa aku seorang adik yang tak bisa memenuhi janji kepada kakaknya? Apa yang harus kukatakan padamu, Mardian?’

            “ Kami menangis. Paman memelukku dan aku memeluknya. Kami menegaskan kasih sayang dalam airmata.

            “ Paman dan aku menyambut fajar sebagai manusia baru. Paman mengantarku ke sumur tua di utara hutan. Dia telah bersedia membantuku berjuang melanjutkan penciptaan dunia dari kehampaan. Bertanggung jawab atas sebuah kehidupan yang berpegang erat pada kemanusiaan. Dia membantuku turun ke dasar sumur menggunakan seutas tali.

            “ ‘Bagaimana, Nak? Kau sudah di bawah? Kau baik-baik saja? Apa luka di kepala atau bahumu sakit?’

            “ ‘Aku baik-baik saja. Paman tidak perlu cemas.’

            “ ‘Kau yakin tak ada sesuatu yang membahayakanmu di bawah? Kalajengking atau ular barangkali?’

            “ ‘Selain semak-semak di dinding, dan sebongkah batu berlumut, tak ada sesuatupun di bawah sini.’

            “ ‘Kau yakin?’

            “ ‘Yakin sekali.’

            “ ‘Baiklah, sekarang beritahu aku di mana posisimu. Sorotkan sentermu ke atas.’

            “ ‘Baik, Paman.’

            “ Aku menuruti perintah pamanku tanpa banyak tanya. Setelah aku memberinya tanda, dari pamanku pun memberi tanda dengan senternya.

            “ ‘Menepilah, aku akan melemparkan ranselmu.’

            “ ‘Baik, Paman.’

            “Ranselku jatuh tepat di kakiku. Isinya berhamburan: beberapa setel baju, celana, sarung, dan selimut tebal.

            “ ‘Menepilah sekali lagi.’

            “ ‘Baik, Paman.’

            “Sekantung penuh roti kering dan sebotol besar air kembali jatuh di kakiku.

            “ ‘Untuk persedian makanmu kalau-kalau aku terlambat mengunjungimu. Dan di saku ranselmu ada salep luka juga obat-obatan yang harus kau minum setiap hari.’

            “ ‘Baik, Paman. Terima kasih banyak Paman telah begitu perhatian padaku.’

            “Aku tidak ingin menyakiti hati pamanku lagi dengan mengatakan aku tak butuh semua pemberiannya itu.

            “ ‘Mardian, apa kau sungguh-sungguh ingin melakukan ini? Cobalah pikirkan sekali lagi.’

            “ ‘Aku sudah memikirkannya berkali-kali, ini adalah keputusanku.’

            “ ‘Coba kau pikirkan ayahmu. Kau tak ingin menyakiti hatinya, bukan?’

            “ ‘Aku melakukan ini semua demi ayahku.’

            “ ‘Baiklah, Nak. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan mengunjungimu pagi-pagi sekali.’

            “ ‘Paman tidak perlu mencemaskanku. Aku akan baik-baik saja di sini, bahkan jauh lebih baik lagi.’

            “Paman Darto pun meninggalkanku. Aku duduk di atas sebongkah batu, punggungku bersandar pada dinding sumur. Kini aku akan pergi. Aku akan kembali ke kehidupan yang penuh martabat dan harga diri. Masa lalu akan diusir. Aku akan bahagia, aku merdeka, aku akam melindungi masa depanku yang bahagia dan kemerdekaanku. Tiada lagi kebencian yang tersenbunyi, yang tersamarkan senyuman. Tiada lagi nasib buruk, kemalangan, dan airmata. Kini aku menjadi manusia yang utuh dan sempurna.”

 

 

            “Bung masih belum menjawab pertanyaan saya: mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”

            “Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”

 

 

            “Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati.Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.

            “Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapati ketinggian sejati. Aku mencoba mencapainya. Tapi aku tak cukup kuat mendaki. Kakiku terkilir dan aku jatuh berguling-guling.

            “Kembali lagi ke bawah, aku menangis. Aku tak bisa mencapai ketinggian itu dan aku tidak tahu cara mencapainya.Dalam sekejap mata semuanya menjadi sia-sia. Tak berguna. Aku menjerit, aku meruntuki Tuhan, aku mengutuki diriku sendiri. Lalu, tiba-tiba aku teringat ayahku. Aku membayangkan wajahnya, senyumnya, dan kehangatan suaranya. Itu sedikit menghiburku. Kemudian nama Marni muncul bersama senyumnya yang menawan. Marni, cinta pertama dan terakhirku. Tapi, benarkah itu cinta? Benarkah perasaan yang kurasakan terhadap Marni itu cinta? Jika ya, cinta macam apakah itu? Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan ini dan aku tak punya waktu untuk memikirkannya. Ingatan tentang Partalah yang paling menyakitkan hati. Aku menyayangi Parta sekaligus membencinya. Dia bukan hanya teman tapi juga musuh abadiku.

            “Aku tertatih-tatih mencoba kembali berdiri. Kakiku terasa amat nyeri. Aku tidak boleh menyerah setelah sejauh ini atau semua yang kulakukan sia-sia. Aku harus mencapai ketinggian itu bagaimanapun caranya. Kemudian aku ingat aku memiliki sepayang sayap. Aku bahagia dengan harapan baru. Kurentangkan sayapku, putih, besar, kuat. Dengan sayap ini aku akan terbang mencapai ketinggian di atasku. Namun, ketika aku bersiap untuk melesat, sebuah suara—mungkin perempuan—berkata, ‘Kau tak akan sampai di puncak ketinggian itu dengan sayapmu.’ Aku tak menghiraukannya. Aku mengambil ancang-ancang dan melesat. Ini tidak begitu sulit. Aku telah hampir sampai di pucak ketinggian itu dalam sekejap. Tetapi, tiba-tiba angin kencang menghempaskanku. Aku jatuh untuk yang kedua kalinya. Lebih buruk lagi, sayapku patah. ‘Kau takkan pernah dapat sampai di puncak ketinggian itu jika kau terus terbang jauh dari anak kehausan dan ibu yang payudaranya kering dari air susu. Pulanglah, tawarkan segelas air pada tetanggamu.’ ”

 

 

            “Itukah alasan Bung kembali ke Pada Suka? Untuk menawarkan segelas air pada tetangga Bung agar Bung dapat terbang mencapai ketinggian sejati?”

            “Tentu saja bukan itu, Ana. Tenanglah, setelah ini, aku akan menjawab pertanyaanmu.”

 

 

            “Pamanku datang jauh lebih pagi dari yang kuduga. Beberapa orang tentara termasuk Jendral Sumarto ikut bersamanya.Sebuah cahaya dari lampu senter menjangkau keberadaanku. Aku tidak beringsut, hanya sedikit mengangkat kepala dan memicingkan sebelah mata.

            “ ‘Hei, bangsat kecil, kudengar kau ingin membusuk di sumur ini, benarkah itu?’

            “ ‘Ya, itu benar.’

            “ ‘Dan kau ingin kami menutup mulut sumur tua ini?’

            “ ‘Ya, itulah yang kuinginkan.’

            “ ‘Aku tidak tahu apakah kau ini sudah hilang akal atau memang sudah bosan hidup, tapi, baiklah, aku akan dengan senang hati mengabulkan keinginanmu.’

            “ ‘Terima kasih, Jendral.’

            “ ‘Tunggu, jangan senang dulu. Kau harus membalas budi padaku.’

            “ ‘Membalas budi?’

            “ ‘Jangan berlagak pilon. Aku tahu kau mengerti maksudku.’

            “ ‘Apa maumu?’

            “ ‘Sederhana. Kau hanya harus menjawab pertanyan yang kuajukan padamu.’

            “ ‘Aku tidak bisa melakukan itu.’

            “ ‘Kenapa tidak?’

            “ ‘Aku telah berjanji pada temanku.’

            “ ‘Temanmu sudah kami tangkap. Kau tidak perlu lagi melindunginya.’

            “ ‘Tapi janji tetaplah janji.’

            “ ‘Mereka sendiri bicara banyak tentang dirimu.’

            “ ‘Itu bukan urusanku.’

            “ ‘Mengapa kau begitu keras kepala? Memang apa yang kau dapat dengan kau tetap memegang teguh janjimu itu, kebebasan, atau kebanggan diri?’

            “Aku tidak menyahut.

            “ ‘Kami telah memberikan yang kau inginkan, tapi kau tak mau membalas budi? Lelaki macam apa kau ini?’

            “Aku tetap diam.

            “ ‘Aku akan bertanya padamu sekali lagi. Mengapa kau begitu teguh memegang janjimu?’

            “ ‘Karena aku laki-laki. Pantang bagi laki-laki menarik kembali janji yang telah diucapkannya.’

            “Jendral Sumarto tertawa.

            “ ‘Omong kosong yang menggelikan. Kuberitahu kau, bangsat kecil, seorang laki-laki memang harus memegang teguh janjinya. Tapi ada saat di mana dia harus melanggar janjinya sendiri. Yaitu disaat dia harus membalas budi dan terdesak.’

            “ ‘Tapi aku tidak merasa berhutang budi atau pun terdesak.’

            “ ‘Persetan! Aku akan mendesakmu bicara.’

            “ ‘Apa kau akan membunuhku?’

            “ ‘Membunuhmu? Tidak. Ini akan lebih menyakitkan daripada itu. Aku akan bermain-main dengan pamanmu.’

            “ ‘Jangan sakiti pamanku! Urusunmu adalah denganku, bukan pamanku.’

            “ ‘Tidak ada bedanya, bukan? Kau ini keponakannya.’

            “ ‘Bangsat!’

            “Jendral Sumarto terbahak-bahak.

            “ ‘Sama-sama bangsat tidak baik saling meneriaki, bocah kecil.’

            “ ‘Mau kau apakan pamanku?’

            “ ‘Aku belum memikirkannya. Tapi, kupastikan ini akan menyakitkan, sangat menyakitkan.’

            “Jendral Sumarto bersama anak buahnya pergi menyeret paksa pamanku. Aku berteriak-teriak agar Jendral Sudarto membebaskan pamanku. Tak berguna. Aku menjadi gila dibayang-bayangi perasaan bersalah. Aku menyusun rencana untuk membebaskan pamanku. Tapi sia-sia. Aku terperangkap. Aku tidak bisa keluar dari sumur ini tanpa bantuan seutas tali. Aku tak mungkin memanjat dinding setinggi dua puluh meter ini dengan tangan kosong. Mustahil!

            “ ‘Ayah, beritahu aku apa yang harus kulakukan? Kumohon, sekali ini bantulah aku! Aku mohon, ayah. Aku mohon.’

            “Aku benar-benar menjadi gila. Aku tertawa, aku menangis, aku bernyanyi, aku berteriak, aku mengutuk, aku berdoa, aku menari, aku ingin mati, lalu aku tidak menginginkan apa pun. Aku lelah.

            “Entah telah berapa lama aku tak memperhatikan waktu, entah telah berapa lama aku berubah menjadi sebongkah batu. Mungkin sudah berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tetapi, aku mengenali kegelapan yang pekat ini sebagai gelapnya malam. Aroma tubuhnya, desah napasnya, pakaiannya, tak mungkin aku salah mengenali. Lalu tiba-tiba ….

            “ ‘Nak, apa kau masih di sana?’

            “Aku mengenali suara itu; suara Pak Mantri, dokter desa yang merawatku. Tapi aku harus memastikannya.

            “ ‘Pak Mantrikah itu?’

            “Cahaya redup lampu senter kecil berusaha menguak kegelapan yang menyelimutiku.

            “ ‘Benar, Mardian. Aku Pak Mantri. Apa kau baik-baik saja?’

            “ ‘Aku baik-baik saja. Tolong keluarkan aku, aku harus menolong paman Darto.’

            “ ‘Aku memang diperintahkan pamanmu untuk menolongmu. Sekarang katakan di mana posisimu, Nak?’

            “ ‘Aku di sudut timur.’

            “ ‘Pergi dan raba dinding sebelah barat. Aku sudah melempar tali yang kuberati batu.’

            “Aku menemukan tali kebebasanku dengan sekali raba. Tanpa membuang waktu lagi aku mulai memanjat. Rasa nyeri di kaki dan kepalaku tidak kuhiraukan.

            “ ‘Berhati-hatilah, Nak. Pelan-pelan. Jangan sampai kau tergelincir dan jatuh.”

            “Kelegaan tampak jelas di wajah Pak Mantri begitu melihatku keluar dari mulut sumur. Dia segera memelukku dengan penuh rasa syukur. Air matanya merenda.

            “ ‘Ayo, Nak, kita bergegas pergi dari sini. Jangan sampai ada yang melihat kita.’

            “Kami meninggalkan Pada Suka dengan sepeda. Pak Mantri yang memboncengku. Sepanjang perjalan Pak Mantri menjelaskan bahwa Paman Darto baik-baik saja.

            “ ‘Kau jangan cemas. Pamanmu baik-baik saja. Sekarang dia masih berada di Pada Suka. Yang terpenting sekarang kau harus pergi sejauh mungkin. Jendral Sudarto berencana mengarakmu di alun-alun.’

            “Aku menjelaskan pada Pak Mantri bahwa aku tidak tahu harus pergi ke mana dan bagaimana. Aku tidak punya teman dan keluarga selain pamanku.

            “Jangan cemas. Aku sudah mengatur keberangkatanmu. Kau akan naik mobil yang membawa gula kelapa ke kota. Setelah itu, carilah kereta jurusan Cirebon. Tunggulah pamanmu di sana.’

            “Aku berterima kasih pada Pak Mantri. Aku memeluknya saat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengirim telegram begitu tiba di Cirebon nanti.

            “Tapi apa yang terjadi kemudian, yang kudengar dari bisikan angin, ternyata ada persekongkolan—sebuah drama—yang telah direncanakan untuk menghancurkanku.Lebih kejam lagi, pamanku sendiri yang merencanakannya. Aku patah hati. Aku memupuk rasa benciku lebih banyak lagi. Agar ketika tiba waktunya untuk menuai buah kebencian itu aku mendapatkan kepuasaan yang setimpal.

            “Aku kembali ke Pada Suka tiga hari kemudian. Beberapa orang tentara belum pergi dari sana. Pagi itu cuaca cerah. Matahari kekuningan merayap hati-hati di langit biru tanpa noda. Aku berjalan menyusuri pematang sawah. Beberapa orang pria paruh baya yang tampak tak bersemangat datang dengan cangkul di bahu. Mereka menepi jauh sekali saat berpapasan denganku. Rasa takut melandaku: apa aku sungguh berada di Pada Suka, tanah kelahiranku? Aku mengenal setiap jengkal pematang sawah ini, aku ingat warna langitnya, aroma udaranya, ketakbergairahannya. Tapi, aku tak mengenali mata-mata orang ini. Itu bukan mata orang Pada Suka. Tiba-tiba aku merasa terasing di desaku sendiri.

            “Aku berbelok ke jalan menuju surau. Di tempaku berdiri dulu si gila Karman biasa menghalau dan memaki-maki orang yang hendak pergi ke surau ini. Karman yang malang, gila karena patah hati. Apakah aku juga akan bernasib sama dengannya? Atau bahkan lebih buruk lagi? Tiba-tiba aku ingin tertawa nyaring.

            “Aku mempercepat langkahku. Sekitar lima belas menit kemudian aku sampai di rumahku. Rumah itu masih berdiri di sana, tapi bukan lagi tempat perlindungan. Rumah itu sudah beralih fungsi menjadi markas komando TNI. Namun, dari luar rumah itu tampak belum berubah.”

            “Kau memang benar, Mardian. Tak ada yang berubah di Pada Suka. Tidak rumahmu, tidak langitnya, tidak kepasifannya, semuanya masih tetap sama dan akan tetap sama mungkin selamanya,” ujar Kolonel Sudarto.

            “Meskipun begitu, Pada Suka tetaplah tanah kelahiranku. Aku tetap orang Pada Suka walau aku telah ditolak dan dicampakannya,” sahut Mardian.

            Kolonel Sudarto dan Jendral Sumarto saling pandang.

            “Kau… kau mendengar suara kami?”

            “Aku mendengar semua yang kalian katakan maupun yang tidak kalian katakan.”

            “Kalau kau memang mendengar yang kami bicarakan,” ujar Jendral Sumarto, “coba kau beritahu diriku untuk apa kau kembali dan bagaimana caranya?”

            “Kau tidak akan bisa menipuku untuk yang kedua kalinya, Jendral.”

            Jendral Sumarto menghela napas dalam-dalam.“Dengar, aku dan pamanmu sama sekali tidak bermaksud menipumu. Kami melakukan itu karena kami merasa bertanggungjawab atas dirimu. Tapi, kau justru kembali untuk mengantarkan nyawamu sendiri ke sini. Benar-benar bodoh. Apa kau tidak tahu tuntutan apa yang orang-orang Pada Suka ajukan atas dirimu, heh?”

            “Tidak. Tapi apapun itu aku akan menerimanya dengan sepenuh hatiku.”

            “Kau benar-benar sudah gila! Mereka menginginkan membakarmu hidup-hidup! Membakarmu hidup-hidup, dengar?”

            “Jika memang itu yang mereka inginkan aku akan menerimanya tanpa bertanya apa dan mengapa lagi. Sekarang diamlah, jangan bertanya atau mengatakan apapun lagi. Kumohon. Aku harus segera menyelesaikan cerita.”

            “…Aku kembali ke Pada Suka untuk sesuatu yang lain sama sekali—benar-benar urusan pribadi—yang tidak ada kaitannya dengan siapa pun atau apa pun, kecuali denganku.”

            “Saya mohon, jangan membuat saya lebih lama menunggu dan penasaran.”

            “Jangan takut, Ana. Aku tidak akan membuatmu menunggu lebih lama lagi dari ini. Akan kuceritakan padamu untuk apa aku kembali ke Pada Suka dan urusan apa yang perlu kau mengerti. Inilah hal yang ingin kupahami sejak pertama aku meninggalkan tanah kelahiranku. Tiada hal lain. Bagaimana seorang manusia bisa tetap bersikap pasif. Aku bisa memahami para pemberontak, juga para tentara, walaupun lebih sulit. Adapun yang lain-lainnya, semua yang lain—mereka yang diam dalam kesabaran yang diam, tak melakukan sesuatupun, hanya mengikuti ke mana arus membawanya bermuara—orang-orang yang hanya menerima begitu saja—semuanya tertutup rapat, tak terpahami.

            Ana tampak terpukau, matanya menyala-nyala penuh hasrat. “Hanya orang yang mengalami kemerosotan kemanusiaan yang menerima segalanya tanpa penolakan apalagi perlawanan. Kesombongan, keserakahan, iri-dengki, masilah menyiratkan kemanusian: ada alasan, aturan, juga penilaian di dalamnya. Dan dalam keadaan tertentu bahkan meninggikan manusia. Akan tetapi, sikap pasif hanya mempunyai satu kesimpulan: menyangkal kehidupan.”

            “Kau benar, Ana. Kapasifan adalah penyangkalan terhadap kehidupan. Lebih mudah menjadi seekor burung daripada manusia di zaman ini. Burung tidak perlu mempertaruhkan hidupnya demi menjaga keselarasan makna keberadaannya sendiri. Seekor burung bisa dengan bebas terbang kian ke mari. Tanpa merisaukan cuaca atau kecepatan angin. Dia tidak punya urusan dengan kekacauan dunia bahkan dengan kebakaran hutan tempat tinggalnya. Tetapi, seorang manusia harus turut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang menimpa jagad raya. Kebebasan bagi manusia adalah pertanggungjawaban.”

            “Memasrahkan hidup di hadapan kemampuan pikir manusia membuat makna dari ketinggian sejati: kepedulian, sulit ditemukan. Tetapi menggugah kepedulian dengan memberikan berbagai alasan justru mencederai kemanusiaan. Bagaimana menurut Bung?”

            “Itu sempurna dan luar biasa. Kau membuatku ingin menangis.”

            Ana tertawa. “Apakah Bung telah menjadi lelaki cengeng sekarang?”

            Aku tersipu, tapi aku tidak menanggapi jekannya. “Sekarang aku tahu, Ana, mengapa aku tak pernah dapat terbang mencapai ketinggian sejati: aku belum bisa menundukan pandanganku.”

            “Jika demikian, belajarlah Bung pada orang miskin. Karena orang miskin tidak pernah mengingkari kekayaan keberadaan. Sepanjang sejarah umat manusia orang-orang miskin membuktikan dirinya adalah manusia dengan kesederhanaan ungkapannya.”

            “Sebenarnya kau ini siapa, Ana?”

            “Bagimana menurut Bung?”

            “Bagaimana aku tahu? Kau tak mengatakan apa pun padaku.”

            Ana kembali tertawa. “Saya lahir sejak permulaan waktu, sebelum Adam diciptakan, sebelum alam semesta ini ada.”

            “Jadi, apa kau Tuhan?”

            “Saya? Tuhan?” Ana tertawa lebih keras. Lalu, “Ya, mungkin saja. Mengapa tidak?”

 

            Tawa Ana menggetarkan jagad raya. Di hadapan kami malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunung menjelang fajar tiba. Ketika tawa Ana mereda, sekonyong-konyong aku tak lagi punya keinginan untuk mendengarkan atau bicara.

Tags: Senja

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (32)
  • SusanSwansh

    @Ivaumu wkwkwkkwkwk selamat berpusing riaaa

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Aku sampai sini dibikin ora paham-paham. Sik sik. Kayaknya butub baca lagi di suasana tenang. Hmmm. Ndak sabar terbit.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • nandreans

    Kampret sampeyan yuk. Aku dibuat campur aduk.

    Comment on chapter Senja Ketiga
  • Ardiana

    @RizzalRr bukan hindi kok kak. Indie yang anak Indie itu, kan identik dengan senja, hehe

  • Fildannn

    Kereeeeeeeeeen bgt ceritanya kak san.

  • Diyahparamita

    satu chap panjang banget. Tapi nggak kerasa bacanya.

    Comment on chapter Senja Pertama
  • viviriswar

    đź‘Ťđź‘Ťđź‘Ť

    Comment on chapter Senja Pertama
  • RizzalRr

    @Ardiana coba deh baca chap 1 sampai rampung.

  • RizzalRr

    @Ardiana kalau yang dimaksud indie itu india, menurutku sih enggak sama sekali. Filsafat yang dipake di sini bukan filsafat hindi malah. Beberapa justru mengadopsi pemikiran2 barat moderen. Kalau india itu kan biasanya identik dengan perjuangan cinta. Cerita ini justru condong ke konflik batin si mardian dengan Tuhannya.

  • RizzalRr

    Mantul banget. Aku bingung mau komentar apa. Dari awal baca rumahnya udah kuat banget. Narik terus. Jadi nggak kerasa baca satu chapter yang segitu panjangnya.

Similar Tags
My Universe 1
3789      1273     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8024      1486     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
533      364     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Senja Belum Berlalu
3763      1355     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1160      769     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Senja di Sela Wisteria
426      266     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6034      1531     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Kala Senja
32793      4714     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...