•REWIND•
©Elsy Jessy
Belakangan ini Arya dan Ryan terus menghubungiku. Entah lewat pesan singkat atau sambungan telepon. Jujur saja aku merasa terganggu. Kadang aku membiarkan dan tak membalas ataupun menerima panggilan dari mereka. Aku merasa tak enak hati dengan Riska dan Dina. Walaupun keduanya tak mempermasalahkan tapi tetap saja aku merasa bersalah.
Aku bingung dengan Riska, dia malah seolah menjadi cupit diantara aku dan Ryan. Padahal aku jelas tahu bahwa Ryan sudah memilihnya. Buktinya Ryan memberinya hadiah tempo hari. Interaksi keduanya juga semakin sering dan tak canggung lagi. Apa Riska berusaha menjaga perasaanku seperti yang kulakukan padanya?
Dina juga sekarang serba membahas soal Arya. Dia seperti tim sukses Arya. Membicarakan kelebihan-kelebihanya dihadapanku. Baiknya adalah Dina jadi semakin akrab selayaknya teman dengan Arya. Dia juga tak lagi menunjukkan rasa sedihnya. Sekarang bahkan dia sering tertawa dan lebih lepas di hadapan Arya. Tak seperti dulu saat mereka masih bersama. Dina selalu menjaga image agar Arya tidak ilfeel.
Seperti saat ini, aku sengaja ditinggalkan olehnya bersama Arya saja. Sejak saat Arya bilang ingin mendekati, aku tak pernah mau bertemu dengannya. Karena aku tak mau Dina salah paham lagi. Lagi pula aku sudah memantapkan hati tak akan memilih siapapun. Kenyamanan ini adalah rasa sebagai teman. Dan aku sadari semua itu tak lebih. Aku rasa Arya pun begitu, hanya saja dia belum meyadarinya.
"Lo kenapa? Kok diem?" tanya Arya.
Aku yang sedari tadi menunduk sambil mengaduk-aduk milk shake cokelat dengan sedotan plastik langsung mendongak. "Ng—nggak apa-apa, kok," jawabku.
"Gue mau ngomong jujur ke lo." Dia menatapku. "Kayaknya lo lebih nyaman kalo gue cuma sekadar temen, ya."
"Gue tahu, kok. Sorry, ya. Udah maksa lo." Arya menambahkan.
"Ng—nggak, kok. Harusnya gue yang minta maaf. Sorry banget gue nggak bisa jadi apa yang lo harapin." Aku menunduk lagi.
"Nggak apa-apa. Lagian karena lo kayak gini, gue jadi sadar."
"Sadar kenapa, Ar?"
"Iya selama ini bukan lo. Gue kira yang gue suka adalah cewek yang pertama kali gue temuin di kafe waktu itu. Ternyata itu salah. Awalnya emang bener awal tertarik karena itu. Tapi yang menumbuhkan rasa cinta ini adalah Dina."
Entah bagaimana mendengar hal itu perasaanku jadi lega. Memang seharusnya itulah yang disadari Arya. Bukan aku gadis yang dia maksud melainkan Dina. Lagipula mereka memang cocok.
Aku tersenyum. "Lo harus rebut lagi hati Dina, Ar. Sebelum cintanya benar-benar hilang."
Arya mengangguk. "Iya, Ta. Makasih. Gue pasti bisa dapetin hatinya lagi."
"Semangat."
***
Senyumku tak henti-hentinya mengembang. Beban perasaan di hatiku salah satunya hilang. Aku berdoa semoga Arya berhasil rujuk dengan Dina. Dan menjelaskan kesalahpahaman selama ini.
"Lo udah jadian sama Arya, Ta?" tanya Dina saat menemuiku di depan televisi.
"Nggak. Gimana mau jadian kalo cintanya sama lo," ujarku santai.
Pipi Dina mendadak merah. "Lo jangan becanda, Ta. Nggak lucu."
Aku tahu Dina masih mencintai Arya. "Serius. Dua rius malah."
Dina berlari ke kamarnya. Mungkin dia ingin segera memastikan kebenaran itu. Dia bahkan lupa dengan sinetron favoritnya yang sedang tayang saat ini.
Saat aku akan kembali ke kamar karena jarum jam sudah menunjuk ke arah sepuluh dan sudah beberapa kali menguap, Dina menyerobot masuk ke kamarku.
Dina datang dengan senyum sumringah. Biar kutebak. Pasti mereka sudah jadian.
"Ta, gue ada kabar gembira."
"Kabar apa?"
"Gue udah balikan lagi sama Arya."
"Serius?" Aku pura-pura antusias padahal akupun sudah menduga.
Dina mengangguk beberapa kali. Aku ikut senang mendengarnya. Paling tidak kalau dengan Arya, aku bisa percaya Dina akan bahagia.
Ah, aku jadi iri dengan kebahagiaannya. Bukan. Bukan iri karena Arya ternyata mencintai Dina tapi cenderung ingin merasakan mencintai dan dicintai seperti Dina. Dia sungguh beruntung bisa merasakan hal itu.
_____________Bersambung____________