•REWIND•
©Elsy Jessy
Semenjak Ryan membantuku membawa tugas ke meja bu Ratna, dia jadi sering menghubungiku lagi. Seperti sekarang, dia melakukan panggilan hampir delapan kali. Tapi aku sengaja tak mengangkatnya. Aku tahu kami janjian nonton di bioskop besok tapi kenapa sekarang dia sudah menghubungiku.
Dina yang kebetulan sedang melintas depan kamarku ikut berceloteh dari balik pintu. "Bunyi terus, tuh. Angkat gih. Berisik tahu."
Aku mengambil ponsel di atas meja belajar lalu mengatur ke mode diam. Aku tak ingin mengangkat telepon darinya. Aku takut perasaanku yang sudah mulai luntur kembali bangkit. Aku tak ingin jadi lelucon dan terjebak permainannya kedua kali.
Aku keluar kamar meninggalkan ponsel yang beberapa kali ada panggilan masuk begitu saja di atas kasur. Aku menuju dapur untuk mengambil minum. Kulihat Dina sepertinya sedang gembira. Dia bahkan tertawa sendiri dan menari-nari di depan televisi seperti orang tidak waras.
Setelah meneguk air beberapa kali, aku menghampirinya di ruang keluarga. Aku meletakkan telapak tangan di dahinya. "Lo nggak sakit, kan?"
Dia menyingkirkan tanganku. "Apa'an, sih. Gue lagi seneng, nih."
Aku menaikan sebelah alis. "Seneng kenapa lo?"
Dina menarik tanganku dan mendudukanku di sofa bed ruang televisi. "Gue udah jadian sama Arya," bisiknya tepat di telingaku.
Mataku membola. "Serius?"
Dina mengangguk angguk beberapa kali. "Iya, dong."
"Selamat ya, Na." Aku memeluknya.
Jujur saja mendengar berita itu aku juga merasa bahagia. Entah senang karena Dina dan Arya akhirnya bisa bersama. Atau lega karena mengetahui fakta kedekatan Ryan dan Dina selama ini ternyata hanya sebatas teman.
Hei, kenapa aku malah berfikir yang tidak-tidak. Seharusnya aku ikut merasa bahagia karena Dina juga bahagia bukan ada maksud lain. Aku malu sempat merasa cemburu dengan Dina.
"Ta, lo kok bengong. Lo dengerin gue nggak, sih?" Dina menyenggol lenganku.
"Sorry, gue tadi terlalu seneng dengernya. Tadi lo bilang apa?"
Dina mengubah cara duduknya. Dia mendengus, "Hm. Karena mood gue lagi bagus jadi gue ceritain ulang, deh." Dina mengambil cemilan kacang atom di atas meja. "Tadi Arya nembak gue romantis banget, deh."
"Gimana-gimana? Ceritain, dong," bujukku antusias.
Dina mulai bercerita, "Lo tahu kan kafe NEEDU yang waktu itu." Aku mengangguk. Jelas tahu, karena beberapa kali kukunjungi. "Terus?"
"Gue sama Arya janjian di sana. Pas gue sampe, ternyata udah ada balon-balon warna pink. Bagus banget." Dina mengatakannya dengan mata berbinar. Sepertinya dia memang sedang jatuh cinta.
"Terus-terus?" Aku juga ingin tahu kejutan apa yang diberikan pada Dina.
"Iya dia sengaja nyiapin itu semua buat gue. Dia nembak gue terus bilang, bakal jagain gue dari si kecoak Rey."
"So sweet. Terus lo langsung terima, dong."
"Sebenarnya sih mau gue tunda dulu, biar nggak keliatan ngarep banget gitu. Tapi dia manis banget jadi gue langsung terima, deh."
Aku ikut terhanyut euforia jadian Dina. Dia benar-benar beruntung mendapatkan laki-laki baik seperti Arya. Mereka juga sangat serasi.
"Tapi agak aneh, sih. Dia bilang nembak di kafe itu karena pertemuan pertama gue sama dia di situ."
"Dulu kan ketemuan pertama gue yang nemuin," ujarku sambil mengunyah kacang.
"Pantesan. Dia tanya gue pesan pertama di sticky note yang ditempelin dia apa, gue masih inget nggak. Gue nggak ngerti dia ngomong apa jadi gue bilang gue lupa. Ya udahlah yang penting gue udah jadian sama dia."
"Sekali lagi selamat ya, Na. Gue ikutan seneng, deh."
"Iya makasih, Ta. Semoga lo juga cepet jadian sama Ryan."
"Kok Ryan, sih. Dulu lo bilang dia php sekarang lo malah ngedukung dia."
"Iya dulu kan gue belum kenal sama Ryan. Setelah gue liat lagi, dia baik kok. Asyik juga orangnya," bela Dina.
"Iya-iya. Tapi gue nggak mau bersaing sama Riska. Gimana pun juga Riska sahabat gue."
Dina tampak kaget. Dia pindah duduk ke sampingku. "Riska dideketin Ryan juga?"
Aku menunduk. "Nggak, sih. Tapi Riska yang deketin Ryan. Riska bilang Ryan itu cinta pandangan pertama yang juga jadi cinta pertamanya."
"Terus Ryannya suka sama Riska?"
"Nggak juga. Riska ditolak. Gue minder, Na. Riska yang sempurna dan cantik begitu aja ditolak apalagi gue."
"Dia baik sama semua orang, jadi gue takut kalo gue salah mengartikan kebaikannya itu. Dan gue juga sadar diri, sih."
Dina menggeleng. "Nggak, Ta. Kalo suka, lo perjuangin. Kalo pun nanti ditolak, lo udah lega. Yang penting lo udah ngungkapin perasaan ke dia selama ini."
"Gue minder, Ta."
"Minder kenapa, sih? Lo kan kembaran gue. Kalo gue cantik lo juga pasti cantik. Lo cuma kurang PD aja.
"Bukan itu, Na."
"Terus apa?" Dina menarik tangan kiriku dan menunjuk polidaktiliku. "Gara-gara ini?"
Aku hanya diam tak mampu membela diri. Karena semua yang dikatakan Dina benar.
"Cinta itu nggak mandang fisik, Ta."
_____________Bersambung____________