•REWIND•
©Elsy Jessy
Dina seenaknya masuk tanpa izin ke kamarku. Itu salah satu kebiasaannya yang membuatku sebal. Dina menghampiriku saat aku sedang memoleskan lip balm. Dina menyuruhku berdandan dan mengenakan pakaian bergaya sepertinya hanya untuk bertemu dengan Arya. Aku hanya meliriknya sekilas lalu melanjutkan menata rambutku yang dihiasi bandana. Memang sore ini aku akan berpura-pura menjadi Dina di depan Arya. Tapi jujur saja semua ini membuatku tak nyaman.
"Gimana, Ta? Udah siap? Kalo udah, gue kasih tahu Arya kalo lo mau on the way."
Aku berdiri dan melihat penampilanku di cermin. Benar saja, ini bukan gayaku. Dress navy selutut motif polkadot dengan flat shoes dan sling bag milik Dina benar-benar sukses membuatku terlihat faminin.
"Udah oke, kok. Udah buruan lo berangkat. Kasian Arya ntar nungguin kelamaan." Dina menggiringku ke luar kamar.
Rupanya Dina sudah menyiapkan taksi untuk transportasi. Baiklah, dia sudah baik padaku. Kali ini aku akan membantunya. Setelah sampai di tempat yang ditentukan, rupanya Arya sudah di sana lebih dahulu. Aku harus berakting sebaik mungkin, karena ini bukan pertemuan perkenalan pertama seperti tempo hari. Mereka sudah akrab, artinya aku harus menyesuaikan diri.
Aku melihat sudah ada makanan yang tersaji di meja. Mataku tertuju pada jus jambu berwarna merah muda di depanku. Apa dia memesan jus itu untukku? Oh tidak. Itu minuman yang aku benci tapi favorit Dina. Apa aku juga harus berpura-pura menyukainya?
Arya tersenyum menampakkan deretan giginya. "Gue udah pesenin jus jambu kesukaan lo, nih."
Aku terpaksa menarik ujung bibir sebagai respon. Bagaimana mungkin aku harus menghabiskan jus ini. Aku mengaduk-aduk gelas dan terpaksa mencicipinya sedikit. Aku benar-benar tak suka ini.
Belum hilang rasa jambu di lidah, aku dikagetkan dengan sapaan yang tak asing di telinga. Aku mencari sumber suara. Aku terkejut. Itu Krucul. Dia bahkan sedang menuju ke sini dengan tersenyum. Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?
"Hai, Cil," sapanya ketika sampai di depan mejaku dan Arya.
Aku pura-pura tak kenal. "Siapa, ya?"
Dia mengerutkan pelipis. "Lo Dita, kan?"
"Oh. Lo temennya Dita yang waktu ketemu di mini market itu, kan?" Lagi-lagi aku berdusta.
"Lo Dina, ya. Sorry, kirain Dita. Gue masih belum bisa bedain," ucapnya lalu terkekeh sambil menggaruk belakang leher. "Sama siapa ke sini?" sambungnya sembari melirik Arya yang memperhatikan kami.
"Kenalin, ini Arya. Arya ini Ryan." Aku memperkenalkan mereka. Mereka berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing.
Setelah basa-basi sejenak suasana menjadi agak canggung dan akhirnya Ryan meninggalkan meja kami. Aku menutup rapat-rapat jemariku. Semoga saja dia tak memperhatikan kelainanku.
"Gue nggak tahu lo punya kembaran," ujar Arya.
Aku menghadap Arya. "Emang gue nggak pernah cerita, ya?"
Dia menggeleng. "Lucu juga, ya. Siapa tadi nama kembaran lo? Kenalin gue, dong."
"Namanya Dita. Agak kuper sih anaknya." Pemilihan kata 'kuper' memang tepat mendeskripsikan diri sendiri.
"ID FS-nya apa? Gue mau add."
"Dia nggak main FS. Katanya males." Itu memang alasan utamaku tak membuat akun Friendster. Bukan tak ingin mengikuti perkembangan zaman, tapi aku memang kurang suka bergaul di dunia maya.
"Oh gitu. Kalo fotonya lo ada, dong. Semirip apa sih sama lo sampe tu cowok nggak bisa bedain."
Aku mengambil ponsel dan menunjukkan salah satu foto bersama Dina.
Arya berdecak kagum. "Eh, iya mirip banget."
Aku memutar bola mata. "Namanya juga identik."
***
Aku baru sampai ke rumah setelah menemui Arya. Dari luar gerbang terdengar suara ribut. Aku buru-buru masuk ke dalam. Terlihat Dina yang sedang menangis dipelukan mami yang juga berlinangan air mata. Dan ayah dengan wajah merah padam yang seolah menahan amarah.
"Ada apa, Yah?" tanyaku pada ayah yang berusaha mengatur nafasnya.
"Kamu tahu cowoknya Dina, Ta?" Ayah memandangku tajam.
"Ng—nggak, Yah. Cuma pernah denger aja." Aku bingung harus berkata apa. Ayah pasti marah melihat keadaan Dina yang babak belur dihajar si cowok berengsek itu.
"Kita laporin polisi aja, Yah." Mami juga seolah tak terima dengan keadaan Dina.
"Ja—jangan, Mam." Dina berkata sambil terisak.
Aku setuju. Jalan damai tak cukup untuk membuat si cowok kasar itu jera. "Iya, Na. Mendingan dilaporin aja tuh si kecoak busuk."
"Rey baik, kok. Cuma dia nggak sengaja aja, Yah." Dina lagi-lagi berusaha membela Rey di depan ayah dan mami. Tapi justru membuat mereka tambah meradang.
"Bisa-bisanya kamu tetap ngebelain dia?? Ayah nggak ngerti, kamu sebenernya sadar nggak, sih?" Ayah meninggikan suaranya.
"Dia itu cowok nggak bener. Kalo dia beneran sayang nggak mungkin sampe mukulin kamu gini? Ayah sama mami aja sebagai orang tua kamu nggak pernah kasar." Mami ikut menimpali.
"Udah ikut ayah ke rumah sakit, visum terus ke kantor polisi," perintah ayah mutlak.
Dina hanya menangisi kebodohannya dan menuruti ayah dan mami. Aku masuk kamar dan merebahkan tubuh di kasur. Memeriksa ponsel dan melihat pesan dari Riska tadi siang yang belum kubalas sampai sekarang.
_____________Bersambung____________