•REWIND•
©Elsy Jessy
Ketika aku dan Arya sedang asyik mengobrol, tak sengaja indera penglihatanku menangkap Krucul berjalan masuk sambil menggendong gitar akustiknya. Seketika aku bergerak menunduk sengaja menutupi wajahku dengan rambut. Aku masih bisa mengintip lewat celah rambut.
Untung saja Krucul menuju ke ruang bang Jay dan tak menoleh ke arahku. Aku menegakkan kepala kembali. Tapi aku dikagetkan dengan Arya yang tiba-tiba mendekatkan kepalanya persis di depan wajahku. "Lo nggak apa-apa kan, Na?"
"Ng-nggak apa-apa," jawabku gugup. Mungkin saat ini wajahku semerah tomat. Ah, malu rasanya.
Sebelum Krucul keluar dari ruangan bang Jay, aku harus pergi dari sini. Kebetulan ini memang sudah sore. Aku pamit pulang pada Arya dan berpesan agar kertas tempelnya segera dipasang di papan besar yang sudah disediakan. Beruntung, dia tak curiga. Dia hanya mengangguk.
Aku segera berlari keluar dan buru-buru ke halte dekat sana untuk menunggu angkutan umum.
Tepat jam lima sore aku sampai di rumah. Sepi. Karena mami sedang pergi arisan dan ayah belum pulang. Saat akan membuka kamar, aku mendengar ada suara isakan dari dalam kamar Dina.
Apa karena tak ada orang aku jadi berhalusinasi? Tapi suara itu jelas terdengar. Kuberanikan diri mengetuk pintu. "Na ... " panggilku.
Suara tangisan itu berhenti, berganti dengan bunyi kunci. Terbukalah pintu itu menampakkan Dina dengan mata bengkak dan lebam di sekitar area wajah.
Melihat itu, aku langsung memeluknya. Dia menangis sejadi-jadinya dalam dekapanku. Entah apa sebabnya aku juga ikut menangis. Bagaimanapun juga Dina adalah satu-satunya saudaraku. Aku juga merasa perih apabila dia sakit.
Setelah agak tenang, aku mulai menanyainya. "Lo kenapa, Na? Pasti gara-gara Rey lagi, kan?"
Dia hanya diam. Mengusap air matanya. "Gue udah putus sama Rey."
Bagus. Itu keputusan yang tepat. Memang seharusnya Dina melakukan itu dari awal. Kalau dulu aku mendukung Rey sekarang setelah tahu kebenarannya, aku malah sangat membenci orang itu.
Katanya dia sayang pada Dina, tapi kenapa malah sering memaksa dan melampiaskan kemarahan pada orang yang dicintainya itu. Sungguh tak masuk akal. Bahkan Rey berani memukul apabila Dina tak menuruti perintahnya. Manusia kejam sepertinya tak pantas dipertahankan.
Aku bersyukur Dina putus darinya. Tapi aku yakin Rey tak semudah itu melepaskan Dina. "Terus dia setuju putus dari lo?"
Dina menggeleng. "Nggak. Gue langsung kabur tadi. Dan untung aja dia nggak berani ke rumah ini."
Aku mengambil handuk kecil yang di tengahnya diisi es batu untuk mengompres memar Dina ulah mantan pacarnya itu.
Sambil mengompres aku berkata, "Lo nggak bisa ngehindar terus, Na. Dia pasti ngincer lo terus."
"Gue nggak tahu harus gimana, Ta. Gue bingung." Dina menahan air matanya. "Dia baik, keliatan sayang sama gue. Tapi kalo dia marah udah kayak orang nggak waras."
Aku memeluk Dina lagi. Mengelus punggungnya berusaha menengkan emosi. "Lo bener mutusin dia. Udah. Nggak usah menyesal."
"Ta, jangan bilang mami sama ayah, ya," mohonnya padaku.
"Muka lo bonyok begini gimana nyembunyiin dari ayah sama mami?"
Dina menekuk bibir dan menggelengkan kepala.
Aku melanjutkan mengompres bengkaknya. "Mendingan lo jujur aja, deh. Terus minta ayah pindah sekolah."
Dina tak menjawab malah meringis kesakitan karena kompresanku.
***
Aku kaget ketika Dina masuk kamarku tanpa permisi. Mengganggu jam tidur siangku yang berharga. Hari Minggu tengah hari memang biasanya aku habiskan dengan tidur setelah menonton DVD.
"Kenapa lagi, Na?" Aku mengeluh saat dia tiba-tiba menarik selimut.
"Tolongin gue please," mohonnya.
"Tolongin apa? Gue ngantuk banget, nih."
"Arya ngajak ketemuan."
"Terus?" Aku bangun dan duduk, mendengarkan Dina.
"Gue nggak mungkin ketemu dia dengan penampilan kayak gini, Ta." Dina menunjuk wajahnya sendiri.
"Maksud lo gue harus pura-pura jadi lo lagi?"
Dina mengangguk-angguk antusias. "Iya. Tolongin gue lagi ya, Ta."
"Oke. Tapi jangan ketemuan di kafe NEEDU."
"Kenapa? Bukannya kata lo tempatnya enak?" Dina melanjutkan, "Lo takut ketemu kakel php gebetan lo itu?
Aku tak menjawab.
"Iya-iya. Ntar gue bilang sama Arya."
"Jam berapa?" tanyaku lagi.
"Agak sorean, sih. Jam empat katanya."
Aku melirik jam dinding. Jarum jam masih menunjuk ke angka satu. Aku merebahkan tubuh di kasur lagi. "Oke. Gue tidur dulu. Lo kalo keluar tutup pintu lagi."
Lalu aku memejamkan mata. Terdengar suara pintu ditutup artinya Dina sudah keluar dari kamarku. Dan kembali melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi.
Beberapa menit aku mencoba tidur tapi tak kunjung terlelap juga. Aku bangun dan mengambil ponsel di atas nakas. Awalnya ingin bermain game snake agar mengantuk lagi. Tapi setelah membuka ponsel, aku cukup kaget mendapat pesan dari Riska. Belakangan ini memang kami jarang bertukar kabar. Di sekolah pun Riska tak pernah lagi bermain ke kelasku setelah kejadian tempo hari. Aku cukup kehilangan dia. Biasanya dia yang paling berisik saat sedang berkumpul.
Ta, gue mau ngomong sama lo. Bisa ketemu nggak?
______________Bersambung____________