•REWIND•
©Elsy Jessy
Rasa kantuk gara-gara begadang semalam masih menguasaiku. Walaupun aku senang karena dihukum bersama Krucul. Tapi aku jadi tak konsentrasi belajar di sekolah hari ini. Aku ingin tidur saja di jam istirahat pertama.
"Ta, anterin gue ke perpus, yuk. Mau ngembaliin buku." Suara Melda mengusik tidur. Aku mengangkat kepala yang tadinya diletakkan di atas meja. Lalu melirik ke arah Melda yang sedang merapikan buku.
"Ayo," ajaknya lagi.
Dengan malas aku mengikuti Melda ke perpustakaan. Tapi sebelum itu, aku harus mampir segera ke kamar mandi untuk mencuci wajahku.
Segar rasanya setelah membasuh muka dengan air. Paling tidak, di pelajaran Geografi setelah istirahat aku masih bisa fokus. Aku dan Melda bergerak menuju perpustakaan.
"Eh, Ta. Itu Riska bukan, sih?" Melda menunjuk seseorang yang sedang mengintip di balik dinding.
"Iya bener itu Riska. Ngapain dia di situ?" Lalu aku dan Melda menghampiri Riska yang sibuk memperhatikan sesuatu.
Aku mencolek pundaknya dari belakang. "Woy, ngapain lo ngintip-ngintip," ucapku sambil cengengesan.
Riska kaget. "Eh, ya ampun kirain siapa. Lo bikin gue jantungan tahu nggak." Kemudian dia memukul bahuku.
"Lo tuh lagi ngapain, sih? Ngendap-ngendap ngintip udah kayak maling," tanya Melda.
Riska menjawab, "Gue lagi ngawasin kakak kelas cakep, nih."
Aku dan Melda saling melempar pandang.
"Maksud lo?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirku.
"Sini, deh. Lo lihat ke sana." Riska menunjuk ke arah lapangan basket tanpa melihat.
Aku dan Melda sontak melihat arah yang dituju Riska. Tak ada siapapun di sana. Yang ada hanya seekor kucing belang liar berwarna abu-abu gelap yang sedang melenggang di tengah lapangan.
"Nggak ada siapa-siapa, Ris." Melda berkomentar.
Riska buru-buru menenggok. "Hah? Tadi ada cowok yang gue taksir lagi sama temen-temennya. Beneran, deh."
"Siang-siang bolong gini lo udah halu," celoteh Melda. Kemudian dia mengajakku melanjutkan jalan ke perpustakaan.
"Eh, beneran. Serius tadi tuh ada cowok yang ketemu gue di toko kaset." Riska berusaha meyakinkan kami.
"Iya-iya terserah lo. Udah, ah. Gue sama Dita mau ke perpus." Melda menggandeng tanganku.
Aku hanya melambaikan tangan pada Riska.
"Gue tunggu di kantin, ya," teriak Riska ketika kami mulai menjauh.
Aku tersenyum menengok ke belakang dan mengacungkan ibu jari sebagai respon.
Setelah sampai di perpustakaan, aku melihat Krucul dan dua temennya baru saja selesai mengembalikan buku. Dia tersenyum padaku. Aku pun membalas balik menampilkan lengkungan manis di wajahku.
"Lo mau ngembaliin buku juga, Cil?" tanyanya padaku.
"Nggak. Gue nemenin dia ngembaliin buku," jawabku sambil menoleh ke arah Melda.
Melda hanya membalas dengan tersenyum sopan padanya.
"Gue duluan, ya," katanya.
Setelah Krucul pergi, Melda menyenggol lenganku. "Lumayan juga. Gue setuju deh kalo lo jadian sama dia."
"Apaan sih, Mel," ujarku malu-malu.
Jujur saja, ada rasa berbunga ketika Krucul menyapa. Padahal aku kira dia tidak akan mengajakku berbicara jika dia sedang bersama teman-temannya.
Artinya dia tak malu teman-temannya tahu kami saling mengenal.
Aku dan Melda keluar dari perpustakaan setelah selesai mengembalikan buku dan menuju ke kantin. Sampai di sana, Riska sudah menunggu kami. Bahkan dia sudah memesankan jus untuk aku dan Melda.
Kami duduk di bangku yang sudah di siapkan Riska. Lalu dia menyerahkan segelas jus alpukat padaku. "Ini buat lo."
"Makasih, Ris."
"Dan ini buat lo, Mel." Dia memberikan Melda jus jambu.
Melda berkata, "Thanks."
Riska tahu benar apa kesukaanku dan Melda. Melda memaporitkan jus jambu sedangkan aku benar-benar tak suka dengan jus itu. Entah mengapa indera pengecapku menolak jambu dan malah membuatku mual. Jadi Aku membenci buah itu.
"Eh, kayaknya gue emang jodoh sama cowok itu, deh." Riska memulai obrolan.
"Lo jangan mulai halu, deh. Ini masih siang, Ris." Melda lagi-lagi melontarkan kalimat pedasnya.
"Nggak. Gue nggak lagi halu, Mel. Ini tuh beneran. Gue tadi liat cowok cakep di toko kaset yang gue ceritain ke kalian waktu itu."
"Serius?" Aku mulai ingin tahu.
Dia mengangguk. "Seriuslah, tadi dia ke sini beli es kopi terus pergi."
"Kayaknya dia kakak kelas, deh," imbuhnya.
Melda menyeruput jusnya. "Tahu dari mana dia kakak kelas? Emang lo udah kenalan?"
"Belum, sih. Kalo seangkatan kayaknya nggak mungkin. Soalnya gue pasti tahu dan ketemu pas MOS, dong. Iya pasti ini kakak kelas. Kelas sebelas atau dua belas."
Aku penasaran. "Terus sekarang mana orangnya?"
Riska menekuk bibirnya. "Nah, itu. Abis beli es kopi dia langsung pergi sama temen-temennya. Padahal gue tadinya mau minta nomor hapenya. Tapi udah keburu pergi. Lagian lo berdua lama banget, sih."
"Tenang aja, Ris. Kalo emang bener cowok itu sekolah di sini pasti bakal ketemu lagi." Aku berusaha membesarkan hati dan memberi semangat pada Riska.
Wajah Riska kembali berseri. "Betul. Makasih, Ta. Gue yakin pasti bakal ketemu lagi. Doain gue, ya."
_____________Bersambung_____________