•REWIND•
©Elsy Jessy
"Makasih ya, Cul." Aku melepas helm kemudian menyerahkan pada Krucul.
"Iya sama-sama. Gue pulang dulu ya, Cil," pamitnya.
Krucul melajukan motornya. Aku menatap punggung Krucul hingga menjauh dan hilang. Setelah itu aku melirik jam tangan, jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Masih belum terlalu malam.
Aku membuka pintu gerbang dengan hati-hati. Setelah berbalik, ayah sudah ada di hadapanku dengan tatapan penuh kekhawatiran. Aku membeku. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ayah menggiringku masuk.
Perasaanku mulai tak enak. Hari ini aku pasti mendapat omelan lagi. Tiba-tiba mami memelukku erat. Terlihat jelas jejak air mata di wajahnya. Apa mami menangis karena aku?
"Dari mana aja kamu, Ta?" tanya ayah.
"Dita dari rumah temen, Yah," jawabku sambil terus menunduk.
"Ayah baru aja mau lapor polisi, syukurlah kamu gak kenapa-kenapa."
Mami hanya diam dan terus memelukku. Dari pantulan kaca bufet ruang tamu, terlihat Dina sedang mengintip dibalik tembok. Wajahnya tampak tidak senang dan beberapa saat kemudian masuk kamarnya. Aku ingin menyusul, menanyakan ada apa ini.
"Kamu sudah makan?" tanya mami setelah melepaskan pelukannya.
"Sudah, Mi. Tadi sama temen."
Karena takut ditanya macam-macam aku pamit. "Yah, Mi, Dita ke kamar dulu, ya."
Mereka hanya mengangguk pelan. Aku segera menuju kamar. Kemudian membersihkan diri dan berganti pakaian bersiap untuk tidur.
Aku merebahkan tubuhku di kasur. Rasanya lelah sekali tapi hatiku gembira. Hari ini adalah hari yang tak akan aku lupakan seumur hidupku. Pengalaman paling menyenangkan yang aku pernah lalui. Aku rasa tebakan Dina tempo hari benar. Aku sudah mulai menyukainya. Ah, aku ingin menanyakan beberapa hal pada Dina. Aku bangun dari ranjang dan bergegas menuju kamar Dina.
Aku mengetuk beberapa kali kamarnya. Akhirnya Dina keluar juga.
"Ada apa?" tanyanya jutek.
Hei, kenapa tiba-tiba dia marah padaku. Apa dia iri karena aku pulang telat? Sebelumnya dia juga sering pulang telat, kenapa seolah-olah hanya dia yang boleh pulang telat.
"Gue mau tanya," jawabku.
"Tanya apa buruan. Gue ngantuk."
Ngantuk katanya? Ini baru jam sembilan. Biasanya dia tidur larut malam bahkan kadang-kadang begadang tanpa sepengetahuan mami. Bilang saja malas berbicara padaku.
"Kayaknya lo lagi nggak mood jawab pertanyaan gue. Ya udah gue tanya besok lagi aja."
Ketika aku ingin berbalik dan kembali ke kamarku. Dia menarik tanganku dan membawaku ke kamarnya.
"Lo pasti mau tanya kenapa mami sama ayah tadi lebay banget peluk-peluk lo, kan?"
Aku mengiyakan.
"Lo tadi bolos, kan?"
Aku kaget. Bibirku seketika terkunci. Dari mana Dina tahu? Jangan-jangan mami dan ayah juga tahu. Berarti tadi aku ketahuan berbohong.
"Udah ngaku aja."
Aku mengagguk.
"Pasti jalan sama cowok itu, kan?"
Lagi-lagi aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku.
"Mami tadi siang jemput lo ke sekolah."
Gawat. Artinya mami tahu aku membolos tadi siang. Aku mulai panik.
"Mami nangis-nangis telpon gue, katanya lo nggak ada di sekolah. Terus tanya ke gue, lo di mana. Handphone lo nggak aktif. Ya jelas gue nggak tahu lo ke mana."
"Terus?"
"Mami takut lo di-bully lagi kayak dulu."
Aku merasa bersalah. Jujur saja, ini pertama kalinya aku membolos dan pergi tanpa sepengetahuan mami.
"Tapi tadi gue udah kasih alasan yang cukup bikin mereka lega."
Din menatapku lalu melanjutkan kata-katanya.
"Gue bilang, lo udah sms ke gue. Lo dispen latihan padus buat lomba dua minggu lagi."
Paduan suara? Yang benar saja. Suaraku saja sumbang, bagaimana bisa terpilih mewakili sekolah untuk lomba paduan suara. Lagipula aku bukan anggota ekstrakulikuler paduan suara. Dan darimana Dina tahu bahwa di sekolahku ada ekstrakulikuler itu sementara aku dan Dina beda sekolah.
"Terus mami percaya?"
Dina mengerdikkan bahu.
"Untung gue disms Melda. Lo cabut pas pelajaran Sosiologi, kan?"
Aku hanya tersenyum malu sebagai jawaban. Pipiku mulai memanas. Mungkin saat ini warnanya sudah bersemu merah.
Dina tergelak. "Lo seneng banget, ya?"
Aku mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali kemudian lagi-lagi tersenyum. Aku tak bisa lagi menahan euforia hari ini.
***
Pagi ini mami menyiapkan nasi goreng sebagai menu sarapan. Aku menyantapkan dengan lahap, karena nasi goreng buatan mami memang paling juara.
Di sela kegiatan makan kami, tiba-tiba mami memandangku. "Gimana latihan paduan suaranya, Ta?"
Seketika aku tersedak. Dina yang ada di samping kiriku melirik tajam. Kakinya di bawah meja juga ikut menyenggol-nyenggol kakiku.
"Em ... Dita nggak kepilih, Mam," jawabku sekenanya.
"Lho, udah latihan sampe malem nggak kepilih juga?" Mami berkomentar.
"Iya maklum aja lah, Mam. Kan yang ikut padus banyak. Pasti seleksinya satu-satu jadi makan waktu banyak. Ya kan, Ta?" Dina membantuku menjawab.
"I-iya, Mam. Terus suara mereka bagus-bagus. Jadi Dita nggak kepilih, deh." Lagi-lagi aku bersandiwara.
"Iya udah nggak apa-apa. Mungkin emang bukan jalannya kamu ikutan lomba." Ayah ikut menimpali.
Aku hanya meringis lalu melanjutkan makan. Bingung. Tak tahu harus memasang ekspresi apa. Sampai akhirnya ayah mengajak kami berangkat sekolah.
______________Bersambung____________