Read More >>"> REWIND (E M P A T) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - REWIND
MENU
About Us  

REWIND
©Elsy Jessy

 

Sejak hari dia menraktirku sebulan yang lalu, aku jadi sering melihatnya di sekitarku. Entah di kantin, di tempat parkir, di perpustakaan, bahkan di dekat toilet. Dia seolah berada dimana-mana. Jika kebetulan kami berpapasan, kami hanya saling lempar senyuman.

 

Aku memanggilnya Krucul dan dia memanggilku Krucil, panggilan-panggilan itu keluar begitu saja. Aku bahkan tak tahu siapa nama aslinyanya. Oh ya, aku baru ingat. Namanya Rian. Namanya disebut Kak Melisa waktu itu. Padahal kami sering berkirim pesan dan beberapa kali pergi bersama. Ah, kami memang tak pernah benar-benar berkenalan. Entahlah dia tahu nama asliku atau tidak.


'Drrrtt'

Ponselku bergetar. Aku memang sengaja membisukan suara ponsel karena ini masih jam pelajaran. Ada pesan masuk darinya.

Cil, gue punya tiket konser Starsyndrome, nih. Daripada mubazir, nonton aja yuk. Konsernya sejam lagi. Gue tunggu di belakang sekolah sekarang.

Apa dia sudah tidak waras? Ini masih jam pelajaran Sosiologi. Apa dia bermaksud mengajakku untuk membolos?

Aku bimbang. Tapi aku harus memilih. Tetap disini dengan pelajaran Sosiologi yang membosankan ini, atau memenuhi ajakannya menonton konser band favoritku. Sungguh pilihan yang sulit. Karena aku tak pernah membolos sebelumnya.

Pak Rusdi pamit keluar untuk mengambil beberapa bahan ajar di ruang guru. Di saat itulah akhirnya aku memutuskan untuk membolos saja. Aku bergegas memasukan buku dan barang-barangku ke dalam tas.

Melda yang duduk di sampingku bertanya, "Mau kemana lo, Ta?"

Aku meliriknya sekilas. "Ntar gue ceritain. Gue lagi buru-buru, nih." Lalu segera kabur.

Di belakang sekolah, dia sudah menunggu. "Lo akhirnya dateng juga, Cil."

Dengan napas yang masih terengah-engah karena berlarian, aku hanya tersenyum padanya.
Mataku beralih pada tembok tinggi yang menjulang di hadapanku. Apakah aku sanggup melewatinya? Hei, ternyata ada beberapa pijakan di sana. Dia lebih dahulu naik. Ketika sampai di atas, dia mengulurkan tangannya untuk membantuku naik.

"Sini pegang tangan gue, Cil."

Walaupun sempat ragu, aku meraih uluran tangannya. Lalu dengan hati-hati kakiku menaiki beberapa pijakan yang ada pada tembok itu. Tangan kiriku memegang tangannya dan tangan kananku bertumpuan pada tembok. Sampai di atas, kami berdua sama-sama melompat. Tawa kami pecah. Entah mengapa rasanya bahagia setelah melewati tembok itu. Nyatanya tidak sesulit yang aku kira sebelumnya.

"Terus ini kita ke sana naik apa, Cul?" tanyaku.

"Tenang aja." Dia menggambil motor yang sebelumnya sudah dititipkan di warung Bu Tinah belakang sekolah.

Sepanjang perjalanan aku dan dia menyanyikan lagu kami. Lagu kami? Iya, lagu 'Kita' adalah lagu favorit kami.
Sampai di venue, suasana sangat ramai. Jujur saja, ini pertama kalinya aku menonton konser.

Aku takjub. "Rame banget ya, Cul."

"Iya dong, namanya juga konser," dia menunjukkan cengiran khasnya.

Dua setengah jam serasa cepat berlalu. Senyuman tak henti-hentinya aku sunggingkan. Sepertinya aku harus berterimakasih padanya. Aku tak akan pernah menyesali ikut membolos bersamanya hari ini. Konsernya benar-benar luar biasa. Aku sangat senang.

Sebelum dia mengantarkanku pulang, kami mampir ke sebuah pasar malam. Lagi, dia mengajakku ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Warna warni lampu dari wahana-wahana itu terlihat cantik. Seolah melambai-lambai mengajak untuk ikut naik. Aku memutuskan memilih bianglala. Dia sepertinya juga tak keberatan. Dari atas, kami dapat melihat suasana malam. Bintang berkerlap kerlip seperti manik-manik yang tersebar di angkasa serta bulan sabit di sebelahnya.

"Cil, ke rumah hantu, yuk," ajaknya.

"Oke," jawabku.

Padahal dia yang mengajakku, tapi dari awal masuk saja wajahnya agak aneh. Aku tergelak melihatnya.

"Lo kenapa, Cul? Takut?" ejekku.

"Ng-nggak," sangkalnya.

"Kalo takut, sini pegangan gue aja," tawarku sambil menepuk lengan kananku.

Walaupun sedikit gengsi dan ragu, akhirnya Krucul memegang lenganku. Dia tampak kaget dan ketakutan ketika hantu-hantu palsu itu mulai berakting mengerikan. Bahkan sesekali umpatan keluar dari mulutnya saat hantu itu mulai menggoda dan mengagetkannya. Lucu sekali ekspresi wajahnya.

Keluar dari rumah hantu, kami main game lempar gelang. Krucul berusaha melempar gelang masuk ke dalam botol yang sudah diberi nomor. Tapi sayang setelah beberapa kali mencoba, tetap saja Krucul gagal.

Aku juga ingin mencobanya. "Sekarang giliran gue."

Percobaan pertama aku juga gagal. Walaupun sedikit sulit, aku tetap ingin bermain lagi. Ternyata percobaan kedua membuahkan hasil, gelang yang aku lemparkan berhasil masuk ke botol nomor tiga. Dan hadiahnya adalah sebuah boneka beruang kecil warna merah jambu.

Kemudian kami datang ke penjual sovenir. Dia membeli sepasang cendera mata. Satu buatku dan yang lain disimpan olehnya. Memang ini hanya gantungan kunci biasa berbentuk lingkaran, tapi ini bisa mengobati rindu katanya. Aku tak mengerti apa maksudnya berkata demikian.

Setelah itu kami mampir ke stand penjual makanan. Sambil menikmati jagung bakar, dia melemparkan beberapa pertanyaan absurd.

"Gue punya tebak-tebakan, Cil."

"Jadi ceritanya mau main tebak-tebakan nih? Boleh, siapa takut."

"Apa nama negara yang ada dalam peribahasa?"

Aku mencoba berpikir. Tapi sepertinya tak ada nama negara yang ada dalam peribahasa. Hei, ini permainan. Jadi pasti jawabannya akan dipelesetkan. Aku menyerah saja.

"Nggak tahu."

"Jawabannya Swedia."

"Kok Swedia?"

"Iya, Swedia payung sebelum hujan," katanya sambil tertawa.

Aku hanya memutar bola mata.

"Ada lagi, nih. Apa itu cemilan?"

"Ah, gue tahu. Pasti lo mau bilang cemilan itu cecudah celapan cebelum cepuluh," tebakku.

Dia tergelak. "Tebakan gue basi, ya."

Aku melempar senyuman. "Gue udah pernah denger tebakan itu."

"Ada satu lagi, nih. Tebakan yang lo pasti nggak bisa jawab."

"Tebakan gitu doang gue pasti bisa jawab," ujarku dengan nada sombong.

"Permem loly apa yang manisnya kebangetan?"

Aku menggeleng. "Nggak tahu. Gue nyerah, deh."

"Lolyatin gue aja tiap hari," jawabnya sambil nyengir.

Aku tertawa dengan lepas, entah itu dari leluconnya atau memang perasaanku yang memang penuh kegembiraan hari ini.

_____________Bersambung_____________

Tags: Fiksi remaja

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Istri Tengil Gus Abiyan
365      265     4     
Romance
Sebelum baca cerita author, yuk follow ig author : @Safira_elzira, tiktok: @Elzira29. Semua visual akan di poating di ig maupun tiktok. •••●●••• Bagaimana jadinya jika seorang gadis kota yang tiba-tiba mondok di kota Kediri jawa timur. Kehiudpan nya sangat bertolak belakang dengan keseharian nya di Jakarta. Baru 3 minggu tinggal di pesantren namun tiba-tiba putra pemilik kiayi m...
Kamu
1502      904     0     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil Mereka selalu bersekolah di tempat yang sama sejak TK Bukan tanpa maksud tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti sejak ibunya Dita Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu Dita kecil tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun Angga kecil sa...
My World
469      311     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Heliofili
1534      787     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Havana
635      284     2     
Romance
Christine Reine hidup bersama Ayah kandung dan Ibu tirinya di New York. Hari-hari yang dilalui gadis itu sangat sulit. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sampai suatu ketika ia menyelinap kamar kakaknya dan menemukan foto kota Havana. Chris ingin tinggal di sana. New York dan Indonesia mengecewakan dirinya.