•REWIND•
©Elsy Jessy
Laki-laki itu mengantarkan aku pulang. Tapi aku melarang menepikan motornya sampai depan rumah. Aku menyuruhnya untuk berhenti agak jauh. Sebenarnya aku sedikit was-was. Takut jika mami tahu aku pulang dengan seorang laki-laki. Mami pasti marah dan akan mengurungku di gudang belakang. Aku tak mau. Gudang itu penuh debu, tikus dan kecoa. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah.
Rupanya mami sudah menunggu di ruang tamu. Menyambutku dengan wajah masam. Melihat ekspresi mami, sepertinya perasaannya sedang buruk.
"Dari mana aja kamu? Jam segini baru pulang," tanya mami.
"Tadi Dita habis dari rumah temen, Mam. Ngerjain tugas kelompok," dustaku.
"Mami nggak suka kamu pulang sekolah keluyuran, nggak ngabarin mami," ujarnya tegas.
"Iya maaf, Mam. Tadi Dita belum sempat isi pulsa." Lagi-lagi aku berbohong.
Aku buru-buru masuk ke kamar. Aku takut mami bertanya macam-macam lagi. Padahal ini belum senja. Matahari saja masih terlihat. Dina sering pulang terlambat tanpa izin pun mami tak keberatan. Kenapa selalu aku saja yang kena marah. Ini tidak adil.
Aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Melepas kardigan yang kupakai dan melempar tas ke sembarang tempat. Lalu berbaring di kasur sambil menatap langit-langit. Aku lelah hidup sebagai Anindita Hermawan. Dari kecil selalu disembunyikan mami dari orang-orang. Aku tahu maksud mami baik, melindungiku dari orang-orang jahat yang menganggapku monster. Mami tak mau kejadian tiga tahun lalu terulang kembali. Tapi aku juga manusia. Aku butuh teman dan bersosialisasi.
Aku iri dengan Dina. Kami ini identik. Tapi kenapa mami membedakan kami. Dina disekolahkan di tempat yang bagus dan mahal, sekolah internasional. Sedangkan aku hanya bersekolah di dekat rumah saja. Jelas sekali mami lebih sayang dengan Dina daripada aku. Aku ini juga anaknya. Apa hanya karena aku polidaktili sedangkan Dina normal?
Aku mengangkat tangan kiriku ke depan. Merentangkan jari-jariku. Sebelas jumlahnya. Dengan dua ibu jari di tangan kiri. Aku jadi ingat awal masuk bangku sekolah dasar. Teman-teman sekelas menyukaiku karena aku bisa menghitung sebelas angka. Mereka menganggap itu hal yang menakjubkan. Kata ayah, ini unik. Dulu aku bangga dengan hal itu.
Sampai bencana itu datang. Waktu itu aku masih duduk di kelas tujuh sekolah menengah. Teman sekelasku tiba-tiba menjauhiku. Entah siapa penyebar rumor bahwa aku makhluk kutukan pembawa sial hanya karena sebelas jariku. Mereka memperlakukanku dengan buruk.
Perundungan itu berlangsung setiap hari. Awalnya aku menutupi hal itu dari mami dan ayah. Aku berbohong jika mami bertanya tentang seragam kotorku setiap pulang sekolah. Mungkin perasaan peka seorang ibu memang benar adanya. Mami menjemputku ke sekolah, lalu melihatku di-bully di sudut lapangan.
Seingatku, saat pulang sekolah beberapa teman sekelasku menyeretku ke sudut lapangan. Aku yang tak tahu apa-apa hanya menurut pasrah. Mereka semua perempuan berjumlah lima orang. Tiga orang dari kelasku dan sisanya aku tak tahu, mungkin kakak kelas. Mereka mengeluarkan sumpah serapah dan kata-kata kasar padaku.
Aku tak takut, tapi mereka menang jumlah. Aku berusaha membela diri. Kedua tanganku tak bisa bergerak karena dipegangi dua teman sekelas. Salah satu dari mereka memukulku dibagian perut. Setelah aku tersungkur, mereka menginjak-ijak badan dan kakiku. Dengan rasa nyeri dan sakit disekujur tubuh, aku masih berusaha bangun. Walaupun sempoyongan, aku tetap melawan. Aku mencoba memukul orang yang berada di depanku. Tapi dari belakang, salah satu dari mereka menghantamkan sesuatu ke bagian kepalaku. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi. Semuanya gelap.
Setelah siuman, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri dan pusing masih terasa. Mami menangis disampingku dan terus memegang tanganku. Kata mami, aku tak sadarkan diri hampir seharian. Untung saja mami datang waktu itu. Jika tidak, entah nasibku seperti apa.
Ayah meminta keadilan pada pihak sekolah. Mereka yang terlibat dipanggil ke ruang BK. Kata ayah, alasan mereka menganiayaku tak masuk akal. Hanya karena mereka merasa jijik dengan polidaktiliku. Ayah marah besar saat itu. Tapi pihak sekolah hanya menganggap ini sebagai pertengkaran anak biasa karena kami masih dibawah umur. Mereka hanya dijatuhi sanksi ringan. Ayah yang tak terima kebijakan itu, akhirnya memindahkanku ke sekolah lain. Sekolah yang sama dengan Dina.
Bagiku keputusan ayah dan mami memindahkanku tidak tepat. Karena di sinilah aku mulai sadar, aku ini berbeda. Berada di sekolah yang sama dengan Dina membuatku bertambah terpuruk. Aku semakin kehilangan kepercayaan diri. Aku sering dibanding-bandingkan. Aku dan Dina emang kembar identik. Perbedaan kami hanyalah polidaktili dan tinggi badanku yang lebih pendek darinya. Ah, satu lagi, Dina berambut panjang sedangkan aku hanya sebatas bahu. Meskipun kami serupa, tapi jelas berbeda. Aku adalah aku. Dan Dina adalah Dina. Kami tak sama.
Setelah berada di lingkungan yang sama, aku tahu bahwa Anandina Hermawan, kambaranku yang sempurna. Pantaslah mami sering membanggakan Dina. Dia baik, cantik, pintar, pandai bergaul, banyak teman, disukai guru-guru dan juga sangat populer. Lain halnya denganku yang lebih pendiam dan sulit beradaptasi. Bukan hanya di rumah, tapi di sekolah pun banyak orang membandingkan kami. Dari mulai guru-guru bahkan teman-teman sekelas. Ini membuatku tak nyaman. Aku tak menyalahkan siapapun. Aku juga tak menyalahkan Dina maupun orang-orang yang sering membandingkan kami. Mungkin memang karena sifatku yang sedikit tertutup ini. Dan itu berlangsung sepanjang sekolah menengah pertama. Satu-satunya hal yang patut disyukuri atas kepindahakanku adalah pertemuan dengan Riska. Setelah lulus, aku minta ayah dan mami untuk menyekolahkanku di tempat yang berbeda dengan Dina.
Tok tok tok
Lamunan membuyar setelah mendengar pintu kamarku diketuk. Aku bangkit dari kasur dan melangkah untuk membuka pintu. Setelah kubuka, terlihat Dina yang tersenyum.
"Kenapa, Na?" tanyaku malas.
"Gue pinjem kardigan pink lo, dong." Dia menatapku penuh harap. "Kardigan gue kotor, belum gue cuci," imbuhnya.
Baik, apa boleh buat. Ini untuk kesekian kalinya Dina meminjam barang-barangku. Dia sedikit egois memang. Sering meminjam barang orang lain tapi menolak jika seseorang meminjam sesuatu darinya.
"Oke, tunggu sebentar."
Aku mengambil kardigan pink di atas kasur yang kulempar asal tadi. Dan menyerahkannya pada Dina. "Sorry bau matahari, soalnya tadi abis gue pake sekolah."
"Nggak apa-apa, lagian gue cuma mau beli pulsa di mini market depan kompleks. Lo mau titip apa?"
"Gue titip potato chips satu, deh."
Dina hanya mengacungkan jempolnya dan berlalu. Aku menutup pintu kamar, dan melenggang ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku mendengar pintu kamarku kembali diketuk. Aku membuka pintu sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Ada Dina di sana sedang senyum-senyum sendiri. Kemudian dia menerobos masuk ke dalam dan duduk di atas kasurku.
"Ta, lo punya pacar, ya?"
Aku bingung. Pacar? Yang benar saja. Teman saja aku tak punya apalagi pacar. Aku menggeleng. "Nggak."
"Jangan bohong, tadi gue ketemu di mini market," ujarnya cengengesan.
Lelucon apalagi ini. Bertemu pacarku di mini market sedangkan aku tak punya pacar. Siapa yang Dina maksud? Apa Dina sedang meledekku?
"Apaan sih, Na. Gak lucu tahu."
"Tadi tuh di mini market ada yang sok kenal sama gue, dia pikir gue itu lo." Dina tertawa. "Lucu banget deh ekspresinya waktu gue bilang, gue ini bukan lo."
"Siapa sih, Na? Gue nggak punya cowok."
"Gue lupa nggak nanya siapa namanya. Yang jelas dia lumayan cakep sih, tinggi, agak kurusan. Oh iya, punya lesung pipi."
Tak salah lagi. Itu kakak kelas yang tadi siang mentraktirku. Mau apalagi dia mencariku.
Aku duduk disamping Dina. "Oh, dia bilang apa?" tanyaku ingin tahu.
Dina membuka bungkus keripik kentang, "Katanya tadi ikat rambut lo gak sengaja jatuh pas lagi di kafe."
Dia mengambil dua lembar kripik dan memasukannya ke dalam mulutnya. "Dia sebenernya mau balikin ke sini. Tapi kata lo, dia nggak boleh mampir rumah."
"Terus dia mau telepon atau sms lo tapi nggak punya nomor handphone lo."
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
"Jadi gue kasih nomor lu, deh," imbuhnya.
Mataku membola. Buru-buru aku mencari ponselku. Benar saja, ada dua panggilan tak terjawab dan satu pesen belum dibaca dari nomor tak dikenal. Pasti itu nomornya. Aku membuka pesannya.
Tadi ikat rambut lo jatuh, gue mau ngembaliin tapi bingung. Untung ketemu kembaran lo. Gue udah titipin ke dia.
"Jadi tadi lo pulang telat karena jalan sama dia?" ujar Dina sambil mengunyah keripik kentang.
Tadinya mataku fokus pada ponsel kemudian beralih menatap Dina.
"Iya, kan? Udah tenang aja, gue nggak bakalan laporan ke mami."
"Gue nggak jadian sama dia kok."
"Bukan nggak jadian, tapi belum jadian," goda Dina.
_____________Bersambung_____________