•REWIND•
©Elsy Jessy
Hari ini kelas dibubarkan lebih awal karena ada rapat guru dengan komite sekolah. Aku berjalan menuju pintu gerbang tak jauh dari tempat parkir. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Ah, ternyata kakak kelas yang sembunyi di ruang ganti tempo hari.
"Hei, akhirnya ketemu juga," katanya sambil tersenyum, memperlihatkan deretan giginya.
Aku menunjuk wajahku sendiri. "Gue?"
Dia menganggukkan kepala.
Lalu aku bertanya, "Ngapain nyariin gue?"
"Gue mau nepatin janji, nih," jawabnya. "Gue nggak mau punya utang terus."
Aku mengerutkan dahi. "Utang? Utang apa?"
"Ya elah, itu yang waktu gue ngumpet di ruang ganti cewek. Gue kan janji mau traktir lo."
Dia laki-laki yang baik. Tadinya kupikir itu hanya basa-basi saja. Ternyata dia menepatinya.
"Oh, nggak usah," tolakku.
"Ini ucapan terima kasih gue, lo nggak boleh nolak," perintahnya.
Aku cuma ber-oh. Tanpa babibu dia mengandeng tanganku dan menggiring ke arah motornya. Aku bagaikan terhipnotis, karena terlalu shock atas perlakuannya. Bodohnya aku hanya diam tak melawan.
"Woy, bengong aja lo. Buruan naik," ujarnya yang sedari tadi sudah berada di atas motornya.
Aku masih diam. Karena masih banyak anak-anak yang berlalu lalang, aku takut jadi bahan gosip. Aku masih kelas sepuluh, masih panjang masaku di sekolah ini. Sepertinya dia cukup terkenal, karena sedari tadi banyak mata memperhatikan dan sesekali berbisik-bisik. Aku belum siap jadi topik hangat esok hari. Sebab aku pulang bersama kakak kelas yang tampangnya lumayan tampan ini. Tampan? Ya Tuhan, apa yang kupikirkan. Di mana Riska dan Melda pada saat seperti ini. Aku butuh mereka untuk menjernihkan pikiranku.
Lamunanku buyar karena merasakan ada yang memakaikan sesuatu di kepala. Mataku membola.
"Lo bengong mulu, sih. Jadi gue pakein helm biar cepet. Buruan naik. Tuh di belakang pada ngantre mau keluar."
Mungkin pipiku sudah semerah kepiting rebus. "O ... Oke." Tanpa banyak bicara lagi aku langsung naik motornya.
Ketika melewati banyak orang saat keluar dari area sekolah, aku hanya menunduk dan memasukkan tanganku pada lengan kardigan. Usaha menutupi jari-jariku. Tak berani menatap mereka yang mungkin mengira aku sok kecentilan mencoba menarik perhatian kakak kelas. Di perjalanan yang entah menuju ke mana ini, aku hanya diam sambil memperhatikan keramaian jalan.
Memecah keheningan antara kami, dia bertanya, "Lo kenapa bengong mulu, sih? Kesambet, ya? Apa emang lo orangnya plonga plongo gini?"
Refleks aku memukul punggungnya. "Sembarangan aja lo ngomong. Gue risi diliatin anak-anak. Lagian lo pake narik-narik segala."
Aku melihat pantulan dari kaca spion, dia tergelak. Dan sekarang aku tahu, dia mempunyai lesung di kedua pipi.
"Udah cuekin aja, anak-anak emang sering kepo."
Tetap saja aku merasa tak nyaman diperhatikan seperti tadi. Hei, ini bukan rute jalan rumahku. Lagipula dia juga tak tahu alamatku. Lalu, aku mau dibawa kemana? Pikiran negatif memenuhi kepalaku.
"Eh, ini mau kemana sih sebenernya? Jangan-jangan lo mau nyulik gue, ya?"
"Woy, su'uzon aja lo. Kan gue udah bilang kalo gue mau traktir lo."
Sebaiknya jangan berpikir yang tidak-tidak. Toh, akhirnya dia menepikan motornya di sebuah kafe yang jaraknya cukup dekat dengan daerah rumahku. Kafe NEEDU ini cukup terkenal walaupun baru buka tiga bulan yang lalu. Mungkin karena sering mengadakan kompetisi musik, baik itu band, bernyanyi, maupun cipta lagu. Dari awal pembukaan, aku ingin ke sini tapi lagi-lagi tak ada kawan. Riska dan Melda, hanya merekalah teman yang kupunya. Tapi sejak Riska ikut ekskul teater, dia jadi sibuk dengan kegiatannya itu. Maklumlah dari masuk SMA, dia berniat dan ingin sekali jadi populer di sekolah. Sedangkan Melda juga tak suka hal-hal seperti ini. Dia tipe anak rumahan penurut yang hanya suka buku.
"Lo mau pesen apa?" tawarnya padaku.
"Beneran, nih? Lo aja disuruh bayar duit kas kelas kabur-kaburan, ini mau traktir gue?"
"Ya elah nggak percayaan banget sih."
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. "Gue dapet voucher gratis, nih." Lalu menunjukannya padaku.
Aku hanya melirik.
"Lagian urusan kas sama Melisa udah kelar kok. Gue udah bayar lunas," sambungnya.
Dia menyodorkan daftar menu kepadaku. "Jadi, lo tenang aja. Buruan, lo pesen apa?"
Kami bahkan tak mengenal satu sama lain. Tapi dia bersikeras untuk mentraktir. Sebenarnya aku merasa tak enak hati. Iya walaupun dia mendapat voucher gratis, tetep saja aku tak mau aji mumpung. Aku memutuskan untuk memilih menu yang cukup terjangkau. Iya, mungkin karena aku memang pecinta cokelat. Jadi aku memesan milk shake cokelat dengan topping oreo dan brownies cup. Dan dia memilih hot cappucino dan cheese cake.
Sambil menunggu pesanan kami datang, mataku berkeliling. Dinding dilapisi wallpaper bermotif paduan warna emas dan hitam. Kafe ini sebenarnya cukup luas. Ornamen-ornamen tentang musik cukup dominan. Di sudut ruangan ada gramofon, entah hanya sekadar pajangan atau masih bisa digunakan. Tak lupa foto-foto musisi legendaris dunia ikut terpampang di dinding-dinding ruangan. Ada panggung lengkap dengan alat musik di sebelah selatan mini bar. Sungguh, kafe ini benar-benar memanjakan pecinta musik.
Pramusaji tiba membawa menu yang kami pesan. Tiba-tiba terdengar lagu 'Kita' dari band indie Starsyndrome. Lagu kesukaanku. Sudah lama aku tak mendengarkan lagu itu. Mungkin sejak Dina tak sengaja merusak radio tape milikku sebulan lalu. Aku mulai bersenandung.
Dia berkomentar, "Lo tahu band Starsyndrome juga?"
Aku hanya tersenyum. Sebenarnya awal mulanya karena aku tak sengaja mendengarkan lagu mereka saat ayah mengajakku ke sebuah pameran budaya dua tahun lalu. Karena musik mereka enak didengar aku jadi menyukainya tanpa tahu lebih jauh. Mungkin karena ayah juga sering mendengarkannya dan aku jadi familiar dengan lagu-lagu mereka.
"Di sini ada live band akustik yang sering bawain lagu Starsyndrome juga loh setiap malam Minggu," jelasnya.
"Lo sering ke sini?"
"Seminggu sekali gue ke sini." Dia menyeruput cappucinonya. "Gue nyanyi di sini," imbuhnya.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
"Minggu kemaren, gue menang lomba ngover lagu Starsyndrome terus gue ditawarin jadi penyanyi di sini."
"Kenapa lo terima? Lo kan udah kelas duabelas."
"Honornya lumayan, buat nambah uang saku."
Aku rasa suaranya pasti merdu. Mungkin lain kali aku akan mengajak Riska ke sini. Melihat penampilannya ketika sedang di panggung.
Kami terlibat banyak obrolan mengasyikan. Ternyata dibalik tampangnya yang kelihatan cuek dan susah diatur itu, dia tipekal orang yang supel dan baik.
Aku memergokinya sedang melirik jemari kiriku, buru-buru kututupi dengan kardigan. Mungkin jika orang lain, pasti akan bertanya atau melemparkan pandangan jijik dan takut padaku. Seolah aku ini monster yang tak pantas hidup, seperti yang sering dikatakan mami. Tapi dia hanya pura-pura tak tahu. Atau mungkin takut membuatku tersinggung. Entahlah. Yang jelas itu lebih baik.
Ada seseorang menghampiri kami. Orang itu mengajaknya mengobrol menjauh dari meja, dan sesekali melirik kearahku. Aku hanya menunduk sambil mengeratkan kardigan. Jangan sampai orang lain tahu perihal jari-jariku.
Rupanya orang itu adalah owner kafe ini. Bang Jay, dia memanggilnya. Masih cukup muda untuk ukuran pengusaha, tapi memang sepertinya berwawasan luas. Buktinya kafe ini sudah cukup sukses walau baru seumur jagung.
Entah apa yang mereka bicarakan. Dari ekspresi dan bahasa tubuh yang mereka tunjukkan, sepertinya itu pembicaraan yang cukup serius. Setelah beberapa saat, bang Jay pergi. Sebelum pergi, bang Jay hanya berujar kepadanya. "Good luck, Yan." Lalu dibalas senyuman dan acungan jempol darinya.
__________________Bersambung_______________