•REWIND•
©Elsy Jessy
Indahnya kisah kasih kita di masa remaja.
Di bawah rayu senja kita di madu bermanja.
Tiada masa-masa yang lebih indah dari masa remaja.
Seakan dunia milik berdua.
(Remaja-Hivi)
Lagu yang dinyanyikan grup vokal Hivi mengalun merdu dari pengeras suara di sudut food count. Menemani para pengunjung Mall yang sedang menikmati makan siang mereka. Penggalan lirik lagu itu mulai menggelitik hatiku. Membuyarkan konsentrasi memilih menu yang hendak kusantap siang ini. Dengan sendirinya bayangan seseorang teristimewa pada masa itu hadir. Membuatku menyunggingkan senyuman.
Ah, sungguh indah masa remaja. Lihat, meja di ujung sana. Sepertinya mereka sedang membolos. Masih mengenakan seragam putih abu-abu, sepasang muda mudi yang sedang asyik bersenda gurau. Sesekali mereka malu-malu beradu pandang. Aih, manisnya.
Atau lihatlah di sebelah kiri meja tempatku berada. Tiga gadis belia yang mengobrol dengan ceria tanpa menghiraukan orang-orang sekitar. Aku mulai penasaran apa yang asyik mereka bahas, ekor mataku diam-diam melirik. Owalah, ternyata sedang melihat video musik K-Pop sambil sesekali tangan dan kaki mereka memperagakan koreografi yang terlihat dari gawai. Aku tak mengerti apa yang mereka lakukan. Mungkin aku sudah terlalu tua untuk memahaminya.
Sambil menanti hidangan, kuambil ponsel di dalam tas. Tak sengaja aku melihat jemari kiriku. Dulu aku akan malu dan menyalahkan keadaan karena jari-jari ini yang jumlahnya lebih dari orang kebanyakan. Tapi kini aku bersyukur dengan polidaktili ini. Aku bisa menemukan orang yang benar-benar tulus.
Aku menekan nomor-nomor yang sudah kuhapal di luar kepala. Beberapa saat kemudian, panggilan tersambung.
Aku memulai pembicaraan. "Hallo, ayah di mana?"
"Masih di kantor, Bun. Kenapa?" Terdengar suara dari seberang sana.
"Ayah belum makan siang, kan?"
"Belum. Ini baru mau keluar kantor."
"Makan bareng, yuk. Kebetulan bunda abis belanja bulanan. Sekarang lagi ada di food count Mall dekat kantor ayah, nih."
"Ya udah ini ayah kesana ya, Bun."
"Oke. Hati-hati ya, Yah."
"Iya."
Sambungan telepon terputus.
Lagu Hivi masih terus diputar. Sambil menunggu, aku melihat beberapa album foto. Gambar-gambar lama yang tersimpan di dasar galeri ponsel kartu memori yang bahkan usianya lebih tua dari anakku, Rafa. Kenangan-kenangan kembali melekat di ingatanku. Melihat potretku dan Dina dengan gaya andalan saat berswafoto. Aku ingat, momen itu diambil pada saat kami akan berangkat sekolah di halaman rumah. Lucu, aku mulai tertawa sendiri. Padahal pose memanyunkan bibir saat itu sedang tren. Wajah kami masih terlihat sangat muda. Belum pandai merias wajah, wajar saja ada beberapa jerawat yang tumbuh. Lama kupandangi sebelum beralih ke foto selanjutnya. Ada gambar aku, Riska dan Melda yang sedang berdiri di gerbang sekolah hasil jepretan kamera ponsel yang masih beresolusi rendah. Lagi-lagi aku menahan tawa. Lihat saja gaya kami. Pose sok imut dengan bibir tipis dibuat-buat. Aku tak tahu apa yang sedang aku pikirikan saat sedang melakukan gaya itu. Konyol sekali. Tapi, di sini Riska masih sangat kurus dan kulitnya agak lebih gelap. Berbeda dengan sekarang yang cerah dan mulai berisi sejak melahirkan anak kedua. Tapi gaya rambutnya yang sengaja di-rebonding dan dihias bando warna pink itu lebih kekinian diantara kami. Juga rambut bob berponi Melda serupa Dora the Explorer dengan kacamata bulat yang menghiasi wajah manisnya. Ah, aku jadi merindukan mereka. Kami memang masih sering berkomunikasi di WhatsApp, bahkan membentuk grup tersendiri. Namun, kami sudah lama tak jumpa. Bagaimana tidak? Riska ikut suami bulenya ke Sydney dan Melda hijrah ke Batam. Terakhir kami berkumpul adalah saat Melda menikah tiga tahun lalu.
Benar kata orang, masa SMA adalah waktu yang sangat indah. Saat mencari jati diri, menggebu dengan hobi dan organisasi serta saat di mana romansa picisan mulai berkembang. Aku rindu semua itu. Jika aku bisa memutar waktu, ingin rasanya terlempar ke zaman itu. Ketika masih banyak orang bersosialisasi secara nyata bukan sekedar maya. Tiba-tiba ingatanku berputar bagai kaset yang sedang di-rewind ke masa manis itu. Kepingan kenangan indah dengan dia yang membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
***
Agustus 2007
Senin adalah hari yang menyebalkan bagiku. Kenapa? Iya, karena di hari itu ada jadwal mata pelajaran Penjaskes setelah upacara bendera. Aku sebenarnya malas dan terbesit niat untuk membolos saja. Karena Riska tak masuk dan Melda pasti tak akan mau ikut. Tak ada kawan dan belum cukup bernyali, jadi kuurungkan saja maksudku itu. Dengan langkah gontai aku menuju ruang ganti wanita. Belum sempat kututup pintu bilik ganti, aku dikagetkan dengan seseorang yang sedang berjongkok sambil menunduk.
"Heh, lo mau ngintip ya?!" bentakku sambil menyilangkan tangan di dada.
Dengan jari telunjuk yang ditempelkan ke bibir. Dia menjawab, "Sssttt ... Jangan berisik. Gue lagi ngumpet, nih. Pokoknya kalo ada orang yang nyariin gue, pura-pura aja lo nggak tahu."
Aku mendengar ada keributan di luar bilik. Rupanya itu suara Kak Melisa, kakak OSIS kelas duabelas yang terkenal judes.
"Rian! Keluar lo! Cepet bayar uang kas! Udah seminggu lebih lo belum bayar! Enak aja lo dapet fotokopi diktat tapi belom bayar uang kas. Tekor gue, nih."
Teriakan Kak Melisa menggema di dalam ruangan. Sontak membuat aku dan teman-teman sekelas yang sedang berganti pakaian berhamburan keluar.
"Rian! Cepet keluar!"
"Gue tahu lo ada di salah satu bilik di ruang ganti ini. Ini ruang ganti cewek, woy."
Tak ada jawaban.
"Nggak mau keluar juga? Oke gue panggil guru buat nyeret lo keluar dari sini."
Aku melirik tempat laki-laki itu bersembunyi. Dia mengintip dari celah pintu dengan wajah memelas dan membuat kode agar aku tidak memberitahukan keberadaannya.
Mita, salah satu temanku yang juga ketua kelas angkat bicara. "Maaf, Kak. Ada apa ya ribut-ribut begini?"
"Lo semua ada yang liat Rian nggak? Tadi gue lihat dia masuk ruangan ini," tanyanya sembari membetulkan letak kacamatanya.
Belum sempat Mita menjawab, aku buru-buru menanggapi. "Nggak lihat, Kak. Dari tadi di sini yang masuk cuma anak cewek kelas kami aja, kok. Nggak ada yang lain." Entah keberanian dari mana aku berbohong sambil sesekali melirik ke arah persembunyian laki-laki itu.
"Masa, sih? Apa gue salah liat ya? Okelah, gue cari di tempat lain. Sorry deh kalo gitu." Kak Melisa berlalu pergi.
Setelah kepergian Kak Melisa, semua teman-temanku bergegas ke lapangan untuk mengikuti pelajaran Olahraga. Tapi aku masih di sini, bahkan belum sempat berganti pakaian olahraga.
"Udah aman. Keluar lo," ujarku sambil membuka pintu bilik ganti tempatnya bersembunyi.
"Eh, makasi, ya. Kapan-kapan gue traktir lo, deh," katanya dengan mata berbinar kemudian beranjak pergi.
________________Bersambung_________________