chapter 1: A Final Day For A Murderer (part 2)
"Mr. Phelps, sepasang laki-laki dan perempuan yang datang dan berbelanja tadi pagi kembali lagi, dan ingin menemui Anda."
Saat itu, Daxton sedang berada di dalam gudang. Mengawasi kinerja bawahannya yang lain. Sebentar lagi semua pekerjaan di situ selesai.
Allison juga sebenarnya merasa tidak enak terpaksa harus masuk dan menyampaikannya pada Daxton. Rupanya dia melihat ada sesuatu yang mendesak pada ekspresi serta bahasa tubuh Chester dan saudarinya—urusan yang secepat mungkin mesti dibereskan.
Daxton dan Allison terlibat dalam percakapan yang cukup panjang dan bertele-tele. Sebenarnya laki-laki yang terkesan sangar ini tak ingin diganggu, tapi pikirannya teringat akan janji Chester. Sebuah janji untuk datang kembali memberitahukan perihal kode simbol pada patung The Survivor.
"Baiklah, satu menit lagi antar mereka masuk ke ruanganku!" perintah sang asisten manajer pada akhirnya.
Kira-kira lima menit berlalu, Daxton sudah menanyakan sepasang tamunya, "Ingin minum yang manakah?"
"Maaf, kami sudah minum tadi di The Whistle," Chester menolak dengan halus, yang diteruskan dengan ramah oleh saudari kembarnya yang cantik itu, "Terima kasih sudah menawarkan."
"Tanda simbol pada The Survivor yang kubeli tadi pagi," Chester memulai topik pembicaraan, "bukanlah simbol rahasia dalam Cherlones Companies seperti dugaanmu, Daxton.
"Melainkan simbol keluarga Helmont—Greta Helmont, istri resmi Brandon. Kuharap kau tidak kecewa, tapi itulah kenyataan sebenarnya."
"Kau mendapat informasi dari mana?" tanya Daxton dengan mimik serius.
"Dari seorang kerabatku yang kebetulan berteman dengan Marlon—kepala pengawas keamanan rumah Brandon yang di area ini," jawab Chester mantap. Hingga Cheryl spontan menoleh padanya.
Melihat respon Daxton, laki-laki cerdas jagoan kita ini berani menambahkan, "Kalau perlu, kau bisa menghubungi rumah keluarga Brandon Cherlone dan minta bicara dengan si Marlon itu."
"Baiklah," sahut Daxton sambil satu tangannya mengusap rambutnya yang mengkilap itu, "aku percaya padamu, sampai kudengar informasi lain dari luar yang bertentangan dengan keteranganmu sekarang."
"Ehm... seandainya kau tidak keberatan, Daxton," Chester berbicara pelan-pelan, "bolehkah kami tahu, untuk tujuan apa kau mau mengetahui arti tanda simbol itu dengan cara—yang menurutku sangat unik? Apa motivasimu sebenarnya?"
Daxton berpikir sejenak dalam diam. Satu tangannya mengelus-elus kumis dan janggutnya dengan gerakan lambat.
"Maafkan aku," Chester jadi merasa tidak enak hati padanya,
"Jika kau tidak rela mengatakannya, kami bisa menerimanya. Hal itu memang sebaiknya tetap menjadi rahasia pribadimu. Maaf, kami harus kembali ke...."
Daxton mencegah kedua tamunya yang sudah akan beranjak dari sofa dengan mengangkat satu telapak tangannya, "Jangan pergi dulu.
"Tidak apa, 'nak Chester. Kau sudah membeli The Survivor dan sekarang bersedia memenuhi janjimu. Apalagi masih dalam hari yang sama. Maka, aku akan sangat bersalah kalau tidak bilang motivasiku begitu padamu. Kau memang sangat berhak mendapatkan jawabannya."
Chester dan saudari kembarnya kembali duduk.
Tidak sampai lima menit berlalu, Daxton bercerita,
"Seperti yang kubilang tadi pagi, jikalau aku dengan Landon Simmons bersahabat karib. Kami bersama Brandon Cherlone, Travis Lombardo, dan tiga orang laki-laki lagi mulai dekat sejak tergabung dalam tim sepak bola kampus.
"Kemudian Lynn Farrel menyelinap ke tengah-tengah hubungan kami. Awalnya, dia berhasil merebut hati Simmons, lalu seorang yang lain, dan akhirnya diriku ini. Ternyata, cinta pertama dan sejatinya tak lain adalah si Simmons.
"Di sisi lain, laki-laki terakhir yang terpikat padanya adalah Brandon, yang akhirnya malah menjadikan perempuan murahan tersebut sebagai istri simpanan."
Tiba-tiba Chester memotong cerita Daxton, "Tunggu, kau tidak mungkin dendam pada Brandon hanya karena seorang perempuan cantik yang bernama Lynn, dan sebuah tipuan licik si pebisnis itu padamu, bukan?"
Ditanyai begitu, muka Daxton memerah. Dirinya merasa baru saja tertampar—berita kematian Brandon yang gencar diumumkan media pada hampir semua layar komunikasi terpampang sangat jelas di hadapannya dalam isi kepalanya.
Karena merasa tidak tahan lagi, dia berseru, "Ya, akulah yang membunuh Brandon Cherlone! Aku yang menghantamkan karung yang penuh dengan besi itu pada belakang kepala Brandon. Kambing jantan tua itu pantas mati!"
Perempuan cantik yang bernama Cheryl itu sampai terlihat jelas melongo memandangi Daxton. Tampak jelas shock dan amat ketakutan.
Chester hanya terdiam, dan seolah beberapa kali berlagak salah tingkah—menutupi ketakutannya. Malahan dia berujar dalam ketenangan, "Santai saja, bung. Tak usah sampai suaramu terdengar keluar ruangan ini. Dan juga, kau sedang berhadapan dengan orang-orang yang tepat."
Kemudian dia melanjutkan dalam bisikan, "Kami akan merahasiakannya dari siapa pun. Percayalah, jika nantinya tidak ada seorang pun lagi yang bakalan tahu."
Daxton percaya begitu saja, sebelum Chester bertanya kembali, "Mungkin ada yang mau kau beritahukan lagi pada kami?"
"Ya, aku tidak sendiri," Daxton mulai tenang, "Landon yang mengajakku bergabung dalam usaha pembunuhan Brandon.
“Dan ada seorang perempuan lain lagi—dari keluarga Cherlone yang mirip sekali dengan pebisnis brengsek itu. Dialah otaknya.
"Kalau dilihat mukanya yang tanpa ekspresi, bisa dilihat kejam, sadis, dan super misterius. Bulu kudukku sampai merinding."
"Kau tahu di mana keberadaan Simmons sekarang?" si Chester ini benar-benar tidak pernah kehilangan rasa penasarannya.
"Dia bilang...," ekspresi Daxton terus menerus berubah sewaktu menuturkan dalam keterguncangan emosi yang naik turun, "...dia akan menyambut anak-anak tirinya yang bernama...,"
Wajah kedua tamunya itu yang pasangan kembar–baru disadarinya mirip sekali dengan Lynn–dan juga Brandon.
"Kalian anak-anak Brandon dengan Lynn!"
Daxton Phelps merasa sangat bersalah. Hingga detik itu, di hadapan Chester dan Cheryl, perkataan dari mulutnya selalu memojokkan dan menjelek-jelekkan kedua orang tua kandung si kembar. Bahkan sampai tega membunuh sang ayah semalam.
Apa kesalahan mereka hingga harus menerima kenyataan pahit menyakitkan seputar kedua orang tua kandung?
Dengan terbata-bata—dari hati terdalamnya—mulutnya segera mengucapkan, "Maafkan aku... yang telah mencela... ibu kandung kalian... dan menghakimi... serta membunuh... ayah kandung kalian. Aku seharusnya...," sampai akhirnya merasa tak sanggup lagi meneruskan penyesalan terdalamnya.
"Sudahlah," kata Chester pelan. Dia beranjak, maju menghampiri Daxton yang seharusnya sekarang ini mendapat balasan yang setimpal.
Laki-laki sangar tersebut merasa rela jika seandainya mendapat tonjokan yang keras. Namun pemuda ini sungguh memahami keadaannya.
"Aku mengerti benar posisimu, Daxton."
Entah apa yang dipikirkan Chester, karena sesaat kemudian dia berkata pada saudari kembarnya, "Kita tidak boleh berlama-lama di sini."
"Ya, kau benar. Kita harus pulang secepatnya," sahut Cheryl membalas kembarannya, lalu berujar pada Daxton, "Maafkan kami berdua yang telah menyusahkan dirimu, Daxton. Kami tidak menyangka akan jadi begini."
Daxton merasa pemudi cantik ini bagaikan menghunjamkan sebilah pedang ke dadanya sewaktu mengucapkan dua kalimat tadi.
Sungguh fantastis pribadi Cheryl—belum genap satu hari ayah kandungnya dibunuh, namun merasa begitu sungkan kepada sang pembunuh. Jangankan menyimpan amarah dan dendam.
Maka segera Chester dan Cheryl bergegas pamit. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan ruangan Daxton, ketika kedua matanya sempat melirik bagian waktu pada layar komunikasinya di situ. Pukul enam sore.
bersambung ke part 3
@yurriansan saya luruskan ya.. judul sebelumnya, The Cherlones Mysteries. Kalo seri, saya baru masukin Duo Future Detective Series yang cerita pertamanya ya dwilogi The Cherlone Mysteries dan The More Cherlone Mysteries ini.
Comment on chapter #3 part 2Oh ya, kalo mao nulis cermis ya harus baca jenis cerita ini terlebih dulu. Dwilogi ini lahir setelah saya getol baca serinya Sherlock Holmes dan punya si ratu cermis Agatha Christie