The day when Brandon Cherlone murdered...
chapter 1: A Final Day For A Murderer (part 1)
Hari ini keadaan toko Cheap and Smart Fashion cukup ramai. Bagi seorang asisten manajernya yang bernama Daxton Phelps. Tinggi besar, perut agak buncit, wajah dihiasi kumis dan janggut yang tak terurus, dan cukup banyak tato memenuhi kedua lengannya yang berotot.
Pukul sembilan pagi lewat beberapa menit...
Laki-laki yang terlihat macho itu sedang mengamati beberapa koleksi pakaian yang terpajang di salah satu sisi toko. Di tengah asyiknya mengamati, kedua telinga lebarnya mendengar percakapan seru sepasang laki-laki dan perempuan yang cukup dekat dengan tempatnya berada.
"Punyamu bagus, dan sungguh indah. Aku sangat menyukainya," terdengar si laki-laki sedang merayu pasangannya.
"Kalau kau bukan saudara kandungku, sudah kuhajar tulang keringmu," sahut si perempuan dengan nada agak bercanda.
Merasa penasaran, Daxton melangkah menuju sumber suara. Tapi mendadak seorang pemuda menghampirinya sambil membawa sebuah ikat pinggang. Menanyakan apakah barang pilihannya termasuk dalam diskon yang tertera pada layar komunikasi toko yang tak jauh dari situ.
Pemuda itu merasa puas dengan jawaban rinci dari mulut Daxton. Dan seperti yang diharapkan sang asisten manajer, dia kembali menuju tempat di mana ikat pinggang tersebut dipajang sambil mengangguk-angguk senang.
Maka Daxton meneruskan langkahnya. Suara si laki-laki misterius terdengar lagi, "...ciri khas fisiknya Brandon Cherlone. Aku ingat betul setiap kali dia muncul di pemberitaan media."
Pasangan muda yang menarik perhatian Daxton ini tengah berdiri menghadap sebuah cermin. Badan mereka membelakangi dirinya. Tinggi badan yang sama. Si laki-laki berambut gelap, sedangkan si perempuan berambut pirang sebahu. Mereka baru saja menyebut nama Brandon Cherlone.
Brandon Cherlone tak lain adalah pengusaha bisnis ternama yang sangat dibenci Daxton. Pukul setengah lima pagi ini sang pebisnis berhasil dilenyapkan.
Dengan nada suara yang mengandung kebencian, pertanyaannya membuat mereka berbalik, "Bilyuner yang malang itu?"
Si perempuan terlihat separuh kagum separuh jijik mendengarnya. Si laki-laki seolah tanpa ekspresi—ingin dirinya ditebak.
"Sayang sekali memang," Daxton mendengus kasar, "Jujur saja, aku malah lebih senang kalau orang itu tidak ada lagi di dunia ini.
"Tolong maafkan pengakuanku ini, para penggemar Brandon Cherlone—bisa kulihat dari pakaian kalian yang rapi dan terawat itu."
Pemuda di hadapan Daxton ini memakai jas kasual bermotif kotak-kotak coklat cerah dengan kemeja dalam berwarna sama. Celana panjangnya juga demikian.
Saudarinya berkemeja biru cerah dari balik jaket feminin merah mudanya, dan bercelana hitam. Mata biru bening serta kulit kuning langsat menjadikannya seperti seorang dewi yang turun dari langit saja.
Pemuda itu dengan sigap bertanya, "Bagaimana kau bisa sampai berpendapat begitu? Apa mungkin dia telah melakukan sesuatu yang buruk padamu?"
Sambil terus berjalan, Daxton menjawab dengan ekspresi menyeringai, "Dia pernah memenangkan lotere berkat tipuan liciknya padaku."
Tiba-tiba si perempuan memberanikan diri memohon, "Bisa kau ceritakan pada kami lebih banyak?" dengan gaya dan tatapan yang meluluhkan hati Daxton. Berani, penuh tekad, anggun, dan luar biasa cantik.
Pemuda itu meneruskan kata-kata saudarinya sambil mengulurkan tangan, "Tentunya, kalau kau tidak keberatan, Mr..."
"Daxton Phelps. Panggil saja Daxton."
"Sekaligus kami mencari sesuatu yang kami butuhkan di tempat ini. Terima kasih, Daxton," si perempuan juga luar biasa ramah.
Beberapa menit kemudian, Daxton mengantar si pemuda ke tempat penyimpanan suvenir. Karena tadi orang ini sempat berujar, "Aku terkesan dengan sebuah suvenir yang menarik hati dua orang kakak laki-lakiku."
"Sebenarnya aku tidak ingin mengungkit kembali saat Brandon membuatmu kesal, tapi..."
"Tidak apa—aku juga sudah melupakannya. Kira-kira lima atau enam tahun yang lalu, waktu pebisnis brengsek itu berencana menghadiahkan sesuatu pada perempuan simpanannya, si Lynn Farrel. Tapi bukan hanya itu saja yang membuatku kesal."
"Yang ini terlihat bagus, menarik dan bernilai," si pemuda terpikat pada patung yang dinamai The Survivor.
Daxton memberitahukan seputar patung tersebut, termasuk "Aku mendapatkannya dari suami Lynn, bernama Landon Simmons.
"Kata Simmons, dia diberikan patung ini oleh Brandon sebagai hadiah karena telah banyak membantu The Cherlone Companies. Kejadiannya sebelum Brandon bertemu perempuan yang jadi pacar Landon sejak kuliah itu."
"Simmons menjualnya padamu?"
"Tidak, dia memberikan begitu saja padaku sebagai tanda persahabatan. Tidak seperti Brandon yang cuma memikirkan uang dan keuntungan saja di balik otaknya."
"Dengan menaruhnya di sini, apa berarti kau menjualnya ke umum?"
"Tentu saja. Hingga aku menemukan seseorang yang tepat untuk memilikinya. Dan orang itu tak perlu membayar harga aslinya."
"Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?"
"Ada semacam kode rahasia terpahat asal-asalan pada bagian belakang bolanya. Dugaanku itu dibuat oleh Cherlone—ketika menghadiahkannya, pastilah Brandon hendak menyampaikan suatu rahasia yang tersembunyi pada Simmons, atau orang lain di dalam Cherlone Companies."
Dengan berhati-hati sekali, Daxton mengeluarkan The Survivor dari dalam lemari kaca. Kemudian menunjukkan kumpulan guratan yang membuat suatu bentuk yang tajam. Semacam segi enam dengan simbol bintang, yang terbentuk dari perpaduan tanda tambah dan tanda silang.
"Kau yakin sekali kalau Brandon yang membuatnya. Bagaimana jika Simmons berbohong padamu?" sebuah pertanyaan menggelitik keluar dari mulut pemuda ini.
"Simmons itu sahabat karibku sejak kecil. Kami sudah berjanji untuk saling jujur dan terbuka. Lagi pula sahabatku ini sosok yang asing dengan kode dan simbol—mainannya si raja kaya Cherlone. Aku kenal benar wataknya."
"Kau mau bilang kalau pembeli patung ini harus bisa mengungkapkan kode simbol ini kepadamu sebelum memilikinya," dengan cepat pemuda ini mengerti maksud Daxton.
Maka dia memuji dengan ceria, "Pintar sekali, anak muda. Kau mau mencoba?"
"Jadi kau kenal Lynn Farrel?" rupanya pemuda ini sangat penasaran sekali. Punya keingintahuan yang besar.
Dengan santai Daxton meladeninya, sebelum akhirnya orang ini menjawab dengan bersungguh-sungguh, "Oke, aku berani menerima tantanganmu. Mencoba menguraikan misteri dari kode rahasia ini. Karena barusan aku berpikir, ada beberapa kenalanku yang kebetulan bekerja di Cherlone Companies.
Daxton tidak terlalu terkejut. Dia mulai memahami watak pemuda di hadapannya, "Baiklah, bisa kulihat kau memang orang yang selama ini kucari. Dan bisa kupercaya. Tapi boleh kutahu siapa namamu?"
"Chester... Brown, dan aku lebih suka dipanggil Ches."
Ketika memori tersebut terulang lagi dalam benaknya pada sore hari—beberapa jam kemudian, seorang pramuniaga perempuan yang menjadi bawahannya mendekatinya.
"Mr. Phelps, sepasang laki-laki dan perempuan yang datang dan berbelanja tadi pagi kembali lagi, dan ingin menemui Anda."
bersambung ke part 2
@yurriansan saya luruskan ya.. judul sebelumnya, The Cherlones Mysteries. Kalo seri, saya baru masukin Duo Future Detective Series yang cerita pertamanya ya dwilogi The Cherlone Mysteries dan The More Cherlone Mysteries ini.
Comment on chapter #3 part 2Oh ya, kalo mao nulis cermis ya harus baca jenis cerita ini terlebih dulu. Dwilogi ini lahir setelah saya getol baca serinya Sherlock Holmes dan punya si ratu cermis Agatha Christie