Anoname
Setahun yang lalu, tepatnya ketika kenaikan kelas XI bagi Vella, kedua orang tua Vella pindah ke Italy karena urusan pekerjaan. Vella sendiri memilih ingin menyelesaikan sekolah menengahnya di sini. Baru setelah lulus SMA, dia akan ikut pindah ke Italy. Keputusan ini membuat Vella harus tinggal bersama kakak sepupunya di Jakarta.
Tinggal bersama kakak sepupunya membuat Vella sadar akan banyak hal dan menuntutnya untuk belajar menjadi mandiri. Misalnya dengan memikirkan kebutuhan sehari-hari, memiliki jadwal piket untuk bersih-bersih rumah, menyiapkan makanan, juga termasuk belanja bulanan seperti sore ini.
Sepulang dari Cherry&Bakery, Vella langsung meluncur ke pusat perbelanjaan. Ia diminta menemani Tina berbelanja di sebuah pusat berbelanja Supermart untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
“Kamu tahu nggak, ada tetangga baru di sebelah rumah kita?” Tina menatap adik sepupunya.
“Nggak. Aku saja belum pulang ke rumah seharian ini,” jawab Vella apa adanya. “Tahu-tahu suruh jemput Kak Tina di sini.”
“Gara-gara mobilku kamu bawa ke sekolah—seharian ini aku di rumah, jadi aku tahu ada tetangga baru di sebelah rumah kontrakan kita,” cibir Tina seraya mencubit Vella gemas. “Untung hari ini nggak ada kuliah.”
“Aduh!” Vella mengusap pipinya sambil nyengir. “Maka dari itu aku pinjam mobil Kakak,” sambungnya seenaknya seraya mengusap pipinya.
Tina memicingkan mata. “Aku bilangin ke Mamamu tahu rasa kamu!” ancamnya.
“Iya-iya ampun. Mianhae eonnee... aku nggak akan bawa mobil kakak lagi,” ucap Vella segera mohon ampun bak sedang memperagakan apa yang sering dilihatnya dalam drama. “Jadi, siapa tetangga baru kita itu?” tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tina makin geregetan. “Ah sudahlah. Besok kamu juga tahu sendiri,” lanjutnya. Dia melenggang pergi sambil mengibaskan rambut panjangnya bak iklan shampoo. Ia bergegas memindahkan barang belanja dari troli ke bagasi mobil.
***
Selama perjalanan tidak banyak percakapan di anatara keduanya. Alih-alih Vella bersyukur, Tina tidak memarahinya seperti yang sudah-sudah. Meski demikian ia menyadari tidak akan mengulangi apa yang telah dilakukannya. Kakak sepupunya adalah mahasiswi semester tiga Fakultas Ekonomi di salah satu universitas di Jakarta. Sementara dia sendiri adalah seorang siswi yang masih duduk di kelas XI SMA.
Setengah jam kemudian mereka tiba di rumah. Begitu turun dari mobil, Vella lekas mengamati deretan rumah di kompleks perumahan ini. Mencoba mencari tahu tetangga baru yang tadi sempat diceritakan Tina.
“Hush! Ngapain jongkok-jongkok di situ?” tanya Tina keheranan melihat adik sepupunya masih berjongkok di depan gerbang rumah tetangganya. “Vella, bantuin bawa belanjaan masuk dulu dong!” Pintanya.
Vella yang semula iseng melongok ke halaman rumah tetangganya, buru-buru masuk ke beranda rumah kontrakannya. Dia hampir lupa dengan kerepotan Kakak sepupunya yang sibuk membawa barang-barang belanjaan. Apalagi dia baru ingat ada satu barang yang tidak seharusnya dia biarkan Tina melihatnya. Kotak perlengkapan les membuat roti dari Cherry&Bakery. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan kotak perlengkapan itu dan kini sudah ada di tangan Tina. Dia berharap Tina belum melihat isinya.
Vella terkesiap dari lamunan sesaatnya. “Oke-oke aku bantuin.”
Vella hendak mengambil kotak berwarna putih itu dari tangan Tina. Namun Tina justru bergerak mundur. Bersamaan dengan hal itu Vella ikut panik. Bagaimanapun juga dia tidak ingin Tina tahu apa isi di dalam kotak putih itu.
“Bawain sisa belanjaan yang ada di dalam mobil aja ya!” pinta Tina terdengar mantap. “Aku penasaran apa isi kotak ini. Perasaan aku nggak nyimpen barang-barang keperluan drama deh.” gumamnya.
Vella bermaksud menjelaskan kalau kotak itu bukan kotak perlengkapan drama milik Kakak sepupunya. Alih-alih dia memilih diam karena takut kena semprot lagi.
Vella melangkah ke mobil untuk mengambil sisa barang belanjaan. Sementara Tina membuka pintu depan kemudian masuk ke rumah dengan kedua tangan membawa barang-barang termasuk kotak putih yang menarik perhatiannya.
Vella mendengus malas. Dia mengambil satu tas kresek besar berisi bahan makanan dan segala macam keperluan di dapur. Selesai dengan itu dia melangkah ke dekat gerbang. Alih-alih dia masih belum bisa menghilangkan rasa penasaran dengan cerita tetangga baru. Dia melongok ke sebelah kiri persis ia bisa melihat pagar rumah tetangganya yang tinggi. Dia melangkah mundur saat melihat sebuah taxi berhenti persis di depan rumah itu.
Seorang cewek super modis turun dari dalam taxi. Dia kelihatan kerepotan membawa banyak barang hasil shooping-nya. Brand-brand ternama tertulis jelas di tas belanjanya.
Vella berdecak. “Apa dia tetangga baru yang Kak Tina ceritakan itu?” tanyanya pada dirinya sendiri.
“Vellaaaa!” Teriakan Tina dari dalam rumah membuat jantung Vella hampir copot.
Vella buru-buru berbalik dan segera masuk ke dalam rumah. Dia bergegas menuju ruang tengah yang merupakan sumber suara Tina berasal. Matanya membelalak saat mendapati Tina sedang mencoba memakai topi tinggi warna putih seperti milik chef-chef di TV.
“Coba lihat. Apa yang aku temukan!” kata Tina kegirangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru.
Vella kaget bukan kepalang. Matanya membelalak lebar.
“Itu—itu kenapa Kak Tina membu-kanya?”
Tina berjengit mendengarnya. “Ini punya kamu?”
Vella mengangguk sambil nyengir. “Aku ikut kegiatan di luar sekolah.” Dia buru-buru memasukkan kembali perlengkapan chef-nya ke dalam kotak putih.
“Oh benarkah? Maaf main buka aja, habis aku penasaramn.” Kata Tina terdengar tanpa seperti anak kecil yang membela diri. Dia pura-pura ikut merapihkan kembali kotak putih di tangannya.
“Kapan-kapan Kak Tina boleh main ke tempat aku les bikin roti.” Vella berusaha mencairkan suasana yang sempat kaku.
“Haha, oke deh. Kapan-kapan kalau aku nggak sibuk.” Sambut Tina. “Oya, tadi pagi ada kiriman buat kamu Vell.” Ia berjalan ke bufet. Mengambil sesuatu dari sana.
“Pak POS kasih surat ini. Untuk Vella Amerta, ini nama kamu kan?” ucap Tina seraya mengulurkan selembar amplop surat berwarna biru langit.
Vella menyipitkan mata. “Surat buat aku?” tanyanya seraya menerima suratnya. Ia lekas meneliti nama dan alamat si pengirim. Siapa gerangan yang mengiriminya surat seperti ini.
“Di sana tertulis dari Bandung.” Sahut Tina. “Kamu punya temen lama di Bandung?” selidik Tina penasaran.
Vella mengangguk pelan. “Dulu aku kan SMP-nya di Bandung.”
“Terus?”
Vella menatap Tina dalam diam. “Entahlah. Kalau toh tanya kabar biasanya mereka bakal kirim pesan lewat WA atau chat.” Ia berfikir keras. “Nggak ada nama pengirimnya lagi.” Desisnya. Dia menatap wajah Tina sekali lagi. Tampaknya kakak
sepupunya itu sama bingungnya dengannya.
Tina hanya mengedikkan bahu. “Ayo dibuka! Siapa tahu namanya ada ditulis di dalam?” pintanya.
Vella segera membukanya. Betapa terkejutnya ia ketika
mendapati isi surat itu.
Hai Vella ...
“Hai?” pekik Vella.
Tina lekas mencari tahu dengan ikut melihat isinya.
“Hai...? Cuma ini isi suratnya?” sungut Tina.
Vella menggelengkan kepalanya. “Aku juga nggak ngerti.” Mulutnya ternganga tapi tak sepatah katapun terucap.
***
@Rifad Ini aku nerbitin indie publish di Jejak Publisher. Waah... asiik
Comment on chapter PROLOG