Terlambat !
Wussh !!
Sebuah Brio merah melintas jalan Perintis Kemerdekaan secepat kilat.
Pandangan Vella fokus pada jalanan di hadapannya. Sesekali ia melirik jam tangan warna coklat di pergelangan tangan kanannya.
“Jam tujuh kurang sepuluh menit,” pekiknya.
Vella kembali fokus menyetir mobil ‘curiannya’—mobil Kakak sepupunya yang diam-diam dia gunakan untuk berangkat sekolah. Bahkan dia belum memiliki SIM karena usianya masih 16 tahun. Benar-benar pelanggaran lalu lintas yang teramat fatal. Yang ia tahu hal ini adalah bentuk ‘perjuangan’ demi bisa berangkat awal untuk upacara pagi ini.
Kedua tangan Vella sibuk mengendalikan kemudi. Bahu kirinya tetarik ke atas guna menempelkan ponsel ke telinganya—menjawab telepon darurat dari Ovie!
“Vellaaa! Kamu di mana?! Upacara mau dimulai!” Teriakan Ovie di seberang sana membuat tangan kiri Vella tepaksa melepas kemudi dan buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Nggak usah teriak-teriak Ovie. Aku dengar suara kamu. Ini aku masih di jalan!” Jawab Vella langsung menekan tombol mematikan ponselnya. Ia meletakkannya sembarangan demi kembali fokus menyetir.
Tanpa diduga sebuah Brio merah menyalip dengan jarak cukup dekat dari sebelah kanan. Saking cepatnya mobil itu menyalip, jantung Vella sampai mau copot karena kaget.
“Apa-apaan mobil itu!” gertak Vella kesal.
Kini mobil Brio merah itu seolah berusaha menghalangi jalur milik Vella.
Mulai kesal, Vella bersiap menyalip mobil itu dengan menambah kecepatan laju mobilnya. Ia berhasil mengimbangi kecepatan laju mobil Brio merah di sebelahnya. Bahkan ia berhasil mendahuluinya!
Vella menoleh ke kaca spion di sebelah kanan. Mobil itu tampaknya tidak mau kalah. Kecepatannya bertambah. Jaraknya kembali mendekat. Dan lagi-lagi mobil itu telah berada persis di sebelah kanan mobil Vella.
Vella menurunkan sebelah kaca mobilnya. Alih-alih ingin memastikan, siapa orang iseng yang kurang kerjaan dengan permainan kebut-kebutan macam ini.
“Yakin udah bisa nyetir mobil?!”
Sebuah teriakan terdengar dari seberang.
“Kamu rupanya!” dengus Vella kesal begitu mendapati tampang tengil Yoshinaga Febrian.
Vella memang sering cek cok jika ketemu cowok blaster Jepang yang satu ini. Alasanya sederhana. Keduanya juga sama-sama berasal dari SMP Harapan Bangsa. Keduanya adalah saingan ketat dalam memperebutkan juara satu paralel di SMA 45. Tidak hanya dalam mata pelajaran, hampir dalam semua hal mereka sering terlibat persaingan tidak sehat.
“Aku duluan ya! Awas ada polisi! Anak di bawah 17 tahun bisa kena tilang!” seru Aga dari seberang.
Yoshinaga Febriyan atau cowok yang populer dengan panggilan Aga itu tersenyum sinis seraya memasang kacamata hitamnya.
Wajah cowok berambut cepak itu tampak menyeringai penuh kemenangan.
“Diam kamu!” jerit Vella. Tak mau laju mobilnya dikalahkan cowok itu, ia lekas menambah kecepatan mobilnya.
Kini jalan Perintis Kemerdekaan seolah menjadi track balap bagi dua mobil ini. Begitu seterusnya sampai mereka tiba di area SMA 45 yang sudah sepi menunjukkan waktu sudah siang.
Dua mobil itu tampak masih saling salip. Vella mencoba mendahului mobil Aga di depannya. Tapi kali ini ia tidak berhasil.
Sesampainya tepat di depan gerbang SMA 45, mobil Aga justru sengaja berhenti—melintang menghalangi gerbang.
Aga tak menghiraukan imbauan satpam yang menyuruh mobilnya untuk lekas memasuki area parkir mobil kawasan SMA 45 karena ada satu mobil menunggu di belakangnya.
Vella terus menekan klakson mobilnya berusaha memberi aba-aba kalau waktu hampir menunjukkan pukul tujuh yang artinya gerbang akan segera ditutup. Tapi mobil Aga tak kunjung memasuki gerbang!
Vella tidak tinggal diam. Ia mematikan mesin mobilnya lalu berjalan keluar menghampiri mobil Aga.
Alih-alih, dari kaca spion, Aga melihat Vella berjalan menghampiri mobilnya. Ia menduga cewek berambut sebahu ini pasti bakal ngomelin dia. Sebelum itu terjadi, ia segera tancap gas dan mobilnya kembali berjalan mulus melewati pintu gerbang.
Sementara itu, apa yang baru saja disaksikan membuat Vella terbelalak tak percaya melihatnya.
“Loh?! Loh?! Aga! Yoshinaga tunggu!” panggil Vella sekuat tenaga. Aga sukses bikin dia dongkol. Belum sempat ia mengetuk kaca mobil cowok senewen itu untuk mengajukan protes, mobil cowok itu sudah meluncur mulus melewati pintu gerbang yang lekas ditutup setelah mobil Aga masuk.
“Buka gerbangnya! Aku mau masuk!” teriak Vella seraya melambaikan tangannya.
“Buka aja kalo bisa!” dengus Aga seraya membantu satpam menutup pintu gerbang di hadapannya—setelah memastikan Vella kembali masuk ke dalam mobil.
“Temanmu belum masuk kan Mas?“
“Nggak apa-apa Pak. Lagian udah jam tujuh juga,” balas
Aga pada satpam yang keheranan melihat sikapnya ini.
Vella melambaikan tangan memberi isyarat pada satpam agar membukakan kembali pintu gerbang sekolahnya. Tapi justru Aga yang melambaikan tangan dan bersikap sok akrab dengan satpam dan melarangnya membuka gerbang.
Aga tersenyum bahagia. Apa lagi penyebabnya kalau bukan gara-gara dia sukses membuat Vella terlambat. Terlambat masuk artinya poin negatif. Poin negatif atinya akan mengurangi total nilai penentu peringkat!
“Aga!!” jerit Vella kesal dari dalam mobil. Ia lekas turun dari mobil beranjak menuju gerbang. “Aga buka gerbangnya! Aku mau ikut upacara! ” teriak Vella sejadinya.
“Haha. Emangnya enak dikerjain?!” ejek Aga dari balik gerbang. Ia menyeringai menunjukkan kemenangan dirinya kali ini. “Kalau mau masuk, kamu harus minta maaf dulu sama aku!” ucap Aga dengan nada serius.
Vella terbelalak. “Minta maaf? Aku salah apa lagi si Ga?!”
“Kamu kan, yang udah bikin mobilku mogok! Ngaku kamu!”
“Apa?!” seru Vella ironi.
Apa yang dikatakan Aga membuat Vella kembali mengingat-ingat lagi kejadian kemarin. Kejadian beberapa waktu lalu ketika mobil Aga tiba-tiba mogok. Dan sialnya ia ada di sana saat itu. Jadilah Aga menuduhnya sebagai pelaku yang menyebabkan mobilnya mogok.
“Kamu tahu, akibat dari perbuatan kamu waktu itu?!”
Vella menghela napas lelah. “Soal itu, kan udah aku jelasin. Bukan aku yang bikin mobil kamu mogok!” katanya kesal. Pandangannya kembali beralih pada jam tangannya.
“Jam tujuh lewat lima menit!” jerit Vella. “Aga! Biarin aku masuk!” teriaknya mencak-mencak di luar gerbang sambil menghentakkan kakinya.
Aga membuang muka dengan tatapan sengit. Tanpa peduli lagi ia beranjak dari sana.
Vella terpekur dari luar gerbang seperti orang bodoh. Ia melangkah lunglai kembali ke mobilnya. Ia lekas mengambil ponselnya begitu mendengar dering ponsel dari dalam tasnya. Matanya membelalak seketika melihat daftar panggilan tak terjawab dari Tina—Kakak sepupunya.
Vella buru-buru menyimpan ponselnya kembali ke dalam
tasnya. Ia tak berani mengangkat panggilan itu. Ia tak mau membayangkan betapa marah Kakak sepupunya menyadari mobilnya ‘raib’ pagi ini. Kini Ia masih mematung di sebelah mobilnya. Tatapannya terus tertuju pada gerbang sekolah di depan sana.
“Padahal udah dibela-belain berangkat pakai mobil Kak Tina biar nggak terlambat dan bisa ikut upacara. Mana aku pinjam mobilnya nggak ijin lagi. Dan sekarang, aku tetap terlambat dan nggak bisa ikut upacara.” Sesal Vella. “Udah tahu takut telat, malah pakai mobil.” Rutuknya pada dirinya sendiri menyesali perbuatannya. Tanpa sadar Vella merasakan titik air mata yang turun membasahi pipinya.
***
@Rifad Ini aku nerbitin indie publish di Jejak Publisher. Waah... asiik
Comment on chapter PROLOG