Saat kusibakkan gorden jendela kamar di pagi harinya, matahari masih tidur berselimut awan. Tirai langit tampak biru remang-remang. Sementara di atas ranjang Vanesa masih enggan membuka mata, meskipun mimpi indah semalam telah berakhir.
Ponsel Vanesa bergetar di meja samping ranjang. Aku memungut ponsel itu dan mencoba membangunkannya.
“Nes, bangun Nes! Mama lo telepon nih!”
Yang bersangkutan hanya menjawab, “Eeem ...” Menggeliat seperti cacing.
“Mama lo telepon!”
“Angkatin dong Bell, gue masih belum punya tenaga buat ngomong sama mama.”
Aku berkacak pinggang. “Nah, itu lo punya tenaga buat ngomong sama gue?”
“Pokoknya angkatin, bilang kalau gue di tempat lo.”
“Emang lo nggak bilang sama mama kalau lo menginap di sini?”
Vanesa menggelengkan kepala.
Akhirnya aku yang berbicara pada Tante Melena. Belum sempat bersuara, Tante Melena menyerobot berbicara.
“Vanesa, kamu di mana sayang? Kamu baik-baik saja, kan?”
“Halo Tante, ini Bella. Vanesa baik-baik aja Tante. Sekarang masih tidur.”
“Oh, ini Bella? Vanesa tidur di rumahmu?”
“Iya, Tante.”
“Ya Tuhan, Tante kira Vanesa diculik. Tante baru pulang dari Bandung, sampai rumah cuma ada Bik Inah.”
“Memangnya Bik Inah nggak tahu kalau Vanesa menginap di sini Tante?”
“Nggak. Mang Jaja juga nggak ada. Entah kemana supir Tante itu.”
Tunggu sebentar. Sepertinya aku barusan melihat mobil Avanza hitam terparkir di depan pintu gerbang. Aku berjalan ke balkoni, melongok ke ujung jalan memastikan apakah mobil hitam itu memang punya Vanesa. Ah, itu dia Mang Jaja sedang menguap. “Tante, Mang Jaja udah di rumah Bella. Itu, mobilnya ada di depan.”
“Oh, syukurlah, Tante kira Mang Jaja juga diculik.”
Aku mengernyit geli. Siapa juga berniat menculik pria paruh baya itu. “Jangan khawatir Tante, Vanesa baik-baik aja, kok.”
“Iya, Tante lega sekarang. Mana Vanesa, Tante mau bicara sama dia.”
Aku menurunkan ponsel dari telinga, menarik selimut Vanesa secara paksa. “Nes, mama mau ngomong nih. Bangun dong, udah pukul lima!”
Vanesa mengambil alih ponsel dengan malas. “Halo Mama ... iya ... iya maafin Nesa ... habis kemarin Nesa coba hubungi mama sama papa, tapi hapenya nggak aktif ... iya, ya udah deh, Nesa langsung berangkat sekolah dari rumah Bella. Dah Mama!”
“Kalau papa gue tahu lo menginap di sini tanpa sepengetahuan mama dan papa-lo, dia pasti nggak ngijinin lo menginap.” Aku merutuk setelah Vanesa menutup pembicaraan dengan mamanya.
“Kan papa-lo nggak tahu.” Vanesa meringis.
“Ya udah deh, buruan lo mandi. Gue mandi di kamar mandi bawah aja biar cepet.”
Vanesa mengangkat kedua tangannya ke udara lantas berseru, “Yuhu! Everyday is new day, everday is new you!”
Vanesa memutar musik Santa Baby bervolume keras dari ponsel dan meletakannya di meja rias. Aku yang sudah melangkah di luar pintu, buru-buru balik dan mematikannya.
“Hus, papa nggak suka mutar musik keras-keras di rumah ini!”
“Oops, sori gue lupa.”
***
Everyday is new day, everyday is new you. Yah, begitulah moto hidup Vanesa. Tiada hari tanpa keceriaan. Yang lalu biarlah berlalu. Hadapi hari ini dengan semangat baru.
Hari Rabu, siswa-siswi SMA Bernadette mengenakan seragam baru. Bukan putih abu-abu. Siswa cowok mengenakan kemeja kotak-kotak marun, sepatu hitam dan celana panjang putih. Sedangkan siswi cewek mengenakan kemeja lengan pendek putih, dasi berbentuk pita dibalut jas hitam berlogo SMA Bernadette di dada kiri. Rok mini kotak-kotak sebatas lutut, kaos kaki panjang putih, dan sepatu hitam.
Vanesa tampak agak berbeda pagi ini. Rambut panjang yang biasanya diikat, hari ini dibiarkan tergerai. Dia menoleh ke arahku, melambaikan tangan, lantas berjalan ke panggung. Cewek itu memegang mikrofon seraya menebar senyum terbaiknya. Sebelum naik ke atas panggung, dia menyerahkan flashdisk berisi arrangement musik ke petugas operator.
Okay, ini giliran Vanesa tampil di audisi setelah peserta cowok, si rambut bunga kol membawakan lagu mellow, You Raise Me Up. Tepuk tangan terdengar riuh memenuhi aula. Aldo, si Rambut Bunga Kol itu ternyata memiliki suara tenor yang sangat bagus. Cowok itu berhasil membuatku merinding.
Sejurus kemudian, kuperhatikan tatapan Vanesa berbinar-binar saat melihat Dani Christian. Cowok itu berdiri di balik meja operator bertugas sebagai DJ sekaligus pembawa acara dan dibantu rekannya. Dani tidak perlu tebar pesona untuk membuat Vanesa terlihat gugup ketika dia menyerahkan flashdisk. Mata mereka beradu pandang, lalu tertawa bersama. Entah apa yang mereka bicarakan.
Tunggu sebentar. Apakah ini cemburu? Cemburu pada Vanesa atau Dani? Aku menggelengkan kepala. Bukan. Ini bukan cemburu. Aku pasti cuma khawatir Vanesa dan Dani semakin mengenal satu sama lain dan menjadi lebih dekat. Iya, pasti karena itu, bukan karena hal lain. Untuk apa aku cemburu pada Dani atau Vanesa?
Puh, untunglah rasa khawatir ini tidak berlebihan dan masih bisa kukendalikan. Jika tidak, bisa-bisa kutarik tangan Vanesa dan memintanya untuk membatalkan ikut audisi. Aku ingin supaya Vanesa dan Dani tetap ada jarak panjang sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka menjalin hubungan.
***
Vanesa sudah siap mengambil posisi di tengah panggung. Dia ber-pose lucu. Tangan kirin berkacak pinggang, sementara tangan kanan mendekatkan mikrofon ke mulut. Satu kaki menekuk, bertumpu pada ujung sepatu. Musik berirama jazz Santa Baby mengalun centil.
“Vanesa!” aku berteriak memberi semangat pada Vanesa dengan menaruh kedua telapak tangan di mulut membentuk corong.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, Stefani bersama gengnya terdengar mengeluh.
“OMG, that girl bawain lagu yang sama kayak lo,” ujar Eleanor.
Stefani sepertinya sangat kesal. Cewek itu mengeratkan gigi-giginya dan menjejak-jejakkan sepatu ke lantai. “Uh! Nyebelin banget sih. Lihat aja kita pasti lebih bagus dari dia.”
Di mataku penampilan Vanesa begitu sempurna. Pemilihan lagu sangat tepat. Sesuai dengan kepribadian Vanesa yang ceria. Gayanya luwes, bergerak ke sana ke mari mengikuti tempo musik. Suara Vanesa juga terdengar empuk.
Baiklah, aku tidak heran melihat Vanesa karena kami sering kali bernyanyi bersama di rumahnya tiap Sabtu atau Minggu. Lihatlah bagaimana reaksi para cowok. Mereka mendadak histeris. Lalu Dani … ah, cowok itu tidak mengerjapkan mata sedetik pun. Dia terus menatap ke arah panggung. Tidak! Aku yakin setelah ini Dani pasti akan mengajaknya berkencan. Dia akan mengakhiri reputasinya sebagai cowok keren termahal di sekolah. Ya, seperti yang dikatakan Vanesa tempo hari, meskipun Dani menyandang predikat cowok populer, tapi dia tidak pernah terdengar berita miring soal berpacaran atau pun memainkan cewek-cewek di Bernadette. Itu sebabnya, Dani juga disebut-sebut cowok termahal. Kalau Dani terpesona seperti itu, kemungkinan besar Vanesa sukses merenggut perhatiannya.
Vanesa mengakhiri lagu Santa Baby dengan sangat manis. Semua siswa serta para guru bertepuk tangan. Tidak terkecuali tiga orang juri yang duduk di sebelah kanan panggung. Vanesa turun lalu berlari menghampiriku.
“Bella, gue seneng banget!” serunya sambil menggenggam kedua telapak tanganku. “Lo lihat tadi kan, Kak Dani merhatiin gue. Dia juga senyum ke gue. Ugh, cute banget!”
Aku tidak dapat memberikan komentar apa pun mengenai Dani.
“Penampilan lo bagus banget, Nes. Lo pasti terpilih,” ujarku mengalihkan perhatian Vanesa.
“Uh, gue nggak peduli sama audisinya, gue yakin lo yang akan terpilih. Oh ya, habis Stefani lo akan tampil, kan?”
Deg! Iya, setelah ini giliranku. Siap atau tidak siap.
Penampilan Stefani terasa berjalan lebih cepat. Hambar. Cewek itu membawakan lagu yang sama dengan lagu yang dibawakan Vanesa. Namun, gaya Stefani terlalu berlebihan. Kristi dan Eleanor menjadi penari latar. Bukan suara yang mereka unggulkan, melainkan gerakan-gerakan seksi. Para cowok hanya bersuit-suit ria. Meski demikian, Stefani kelihatannya sangat yakin akan terpilih.
Baiklah, sekarang giliranku. Aku akan berhadapan dengan Dani. Ya Tuhan, rasanya ingin menghilang. Bersembunyi di balik selimut seperti yang kulakukan saat masih kecil. Ah, jika saja ada malaikat lewat, aku ingin ia membawaku pergi sekarang juga daripada harus mengahadapi sorot mata Dani.
Cowok itu berjalan ke tengah panggung.
“Wohooo! Makin seru, kan? Masih semangat nggak, nih? Masih? Okay, yuk langsung saja kita sambut peserta audisi berikutnya. Ini dia Bella ... Bella Natalia!”
Hening. Semua mendadak diam mematung. Tidak ada seorang pun memberikan tepuk tangan sambutan. Kecuali Vanesa yang berteriak antusias. “Yeaay... go Bella! Go Bella!”
Aku menyikut lengannya. “Gue bilang ini bukan ide bagus!”
“Udah tenang aja, rileks, lo pasti bisa.”
Dani kembali menyerukan namaku. “Ayo Bella ... where are you? Ayo, cepatlah naik ke panggung!”
Baiklah, mau tidak mau aku harus muncul di hadapan Dani sebelum semua orang menyorakiku.
Dengan langkah ragu aku berjalan ke arah Dani.
“Oh, Hey ... there you are, lo kelihatan cantik hari ini, Bella.”
Dan benar, semuanya berteriak, huuu! Khususnya cewek-cewek itu.
“Terima kasih,” balasku sambil menunduk malu.
Sementara di bawah sana semua siswa berbisik-bisik. Memandang keanehan ke arahku layaknya melihat sosok makhluk luar angkasa turun dari pesawat UFO. Di sisi lain aku mengutuk diri sendiri yang terlihat begitu bodoh. Andai saja tidak menghiraukan Vanesa aku pasti tidak akan pernah berdiri di sini.
“Baiklah semuanya, kita berikan tepuk tangan yang meriah untuk Bella Natalia dari kelas IPA-1.” Dani lantas berjalan mendekat. Aku terkejut karena tiba-tiba saja cowok itu menangkap telapak tangkanku yang sejak tadi gemetaran. “Tenang saja Bella, lo pasti bisa, oke?”
Tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Ah, Dani pasti hanya mencoba menenangkan karena aku terlalu gugup. Iya, pasti karena itu.
Cowok itu lantas kembali ke meja operator. Memutar iringan musik dari flashdisk yang sebelumnya kuserahkan pada rekannya. Sejurus kemudian, musik pelan dari salah satu album Natal Celine Dion mulai berkumandang. Melantungkan intro nada-nada These are The Special Times.
Aku berdiri kikuk. Membetulkan letak kacamata dan sebisa mungkin mengatur napas. Karena gugup, suara yang keluar dari mulutku bergetar seperti orang mengigil di kala musim dingin. Aku tidak sanggup memandang wajah-wajah itu. Ya Tuhan, ini tidak akan berhasil. Mereka akan menertawakanku.
Ah, aku ingin melupakan semuanya. Melupakan orang-orang yang tertawa itu. Aku tidak peduli lagi. Ini semua telah dimulai, maka harus diakhiri. Aku ingin bernyanyi seperti nyanyian burung pipit yang membuai pagi dengan cuitannya yang indah. Aku ingin terbang tinggi seperti elang mengepakan sayapnya di garis cakrawala. Aku ingin menari seperti tarian bunga ilalang tertiup angin di kala musim kering. Iya, aku ingin bernyanyi, terbang, dan menari … seperti anak kecil tanpa beban dan dianugerahi keajaiban.
yang nyangka bella hamil silakan balas komenan saya
Comment on chapter Chapter 1