Guru les privat baru yang dibilang papa tempo hari, hari ini mulai aktif mengajar menggantikan Bu Saras. Namanya Bu Dona. Judes. Itulah kesan pertama ketika bertatap muka dengannya.
Bu Dona juga sangat serius ketika memberikan materi. Bahkan aku tidak pernah menjumpai guru se-serius Bu Dona. Sepanjang beliau berbicara, terdengar seperti orang marah-marah.
Hari ini Bu Dona menerangkan materi pelajaran Matematika selama dua jam. Jadi, materi di sekolah untuk minggu muka diterangkan lebih dulu di rumah. Bu Dona juga memberikan beberapa pertanyaan untuk memastikan apakah materi yang diajarkannya masuk ke otakku.
Ah, otakku sangat letih memikirkan materi pelajaran di sekolah. Pulang jam dua tiga puluh, langsung dilanjutkan les pukul tiga hingga pukul lima sore. Dan itu dilakukan setiap Senin hingga Jumat. Benar-benar membuatku penat.
“Bella!” panggil Mama saat aku berniat kembali ke kamar, setelah pertemuan pertama dengan Bu Dona.
“Iya, Mah.” Aku berhenti di anak tangga.
“Ada Vanesa nih!”
Keningku mengernyit lantas kembali ke ruang tamu dan menemukan cewek itu sudah berdiri di depan pintu.
Vanesa mengenakan sweater khasmir, sepatu kets, dan rok di atas lutut. Dia mencangklong tasnya di pundak kiri, sembari menenteng seragam kotak-kotak untuk hari Rabu. Setelan seragam itu masih berada di gantungan. Aku berpikir, tidak mungkin rumah Vanesa kebanjiran.
Sekali lagi aku memperhatikan Vanesa meringis.
“Maaf Tante, Vanesa nggak ngasih tahu Bella sebelumnya. Ng, Mama sama Papa lagi ke Bandung, karena ada kerabat Mama yang meninggal. Pulangnya besok pagi. Jadi, boleh nggak Vanesa menginap di sini?”
“Boleh,” sahut mama, “tentu boleh sayang ...” lalu menoleh ke arahku. “Bella, bantuin temanmu bawain barang-barangya, dong.”
Senyum Vanesa melebar. “Makasih, Tante.”
“Nggak perlu sungkan, anggap saja rumah sendiri. Oh ya, Tante turut berbela sungkawa untuk kerabat mamamu.”
“Iya Tante, makasih!”
Aku mengambil seragam itu dari tangan Vanesa. Kemudian kami berjalan menuju kamar.
“Kok, lo tadi siang nggak bilang kalau mau menginap di tempat gue?”
“Sori, tadi siang gue belum kepikiran. Eh, nyampai rumah gue takut sendirian. Pasti sepi ntar malam, cuma ada Bik Inah sama Mang Jaja, jadi kupikir mendingan menginap di rumah lo, ” tutur Vanesa ketika kami melangkah di anak tangga. Sementara mama kembali ke dapur menyiapkan makan malam.
Aku membukakan pintu kamar lalu menggantung seragam Vanesa di balik pintu.
“Gue pinjem baju ganti sama handuk lo ya, Bell.” Vanesa menjatuhkan pantatnya di sisi ranjang dan meletakan backpak-nya di bawah kaki.
“Iya gampang. Underwear, mau pinjam juga?” tanyaku setengah meledek.
“Eh, nggak usah. Kalau itu sih gue bawa sendiri.”
“Kirain.”
Handuk bersih, celana pendek bunga-bunga, t-shirt lengan panjang ungu, kukeluarkan dari dalam lemari.
“Nih, lo duluan aja yang mandi. Sikat gigi ada di dalam.” Aku meletakan barang-barang itu di tepian kasur.
Vanesa lantas memungutnya, dan mengambil underwear dari dalam tas dan berkata, “Thanks, ya, Bella yang baik hati!”
“Auw, sakit tahu!” Vanesa mencubit pipiku. Dia bergegas masuk ke kamar mandi sebelum aku berhasil membalas perbuatannya.
Dua puluh menit kemudian Vanesa keluar dari dalam kamar mandi. Kepalanya dibungkus menggunakan handuk.
“Baju lo longgar amat, Bell,” komentarnya.
“Lo kan tahu gue nggak suka pakai baju ketat.”
“Takut kelihatan seksi, ya?”
“Seksi apaan?”
“Iya, lo itu sebenarnya seksi, cuma lo aja yang nggak nyadar. Baju-baju lo semuanya longgar, coba sesekali pakai baju ketat dikit, pasti cowok-cowok pada ngelirik deh.”
Puh, aku tidak ingin meladeni candaan Vanesa. Seksi apanya, yang ada cowok-cowok malah geli. “Udah ah, gue mau mandi juga sebelum papa pulang.”
***
Selesai berpakaian aku turun ke dapur lantas membantu Mama menyiapkan makan malam. Sementara Vanesa masih di kamar mengeringkan rambut.
Aku menata meja dengan piring main course dan meletakan mangkuk sup di sampingnya beserta set peralatan makan; pisau, sendok dan garpu. Menu makan malam hari ini sup jamur, salad kacang polong, nugget, dan steak. Steak yang kuletakan di samping mangkuk sup jamur itu terlihat begitu menggoda. Bentuknya bulat pipih disirami saus lada hitam ditemani sayur buncis dan irisan wortel. Tapi jangan salah, semua yang terlihat di meja makan tidak seperti apa yang terlihat. Itu semua adalah ...
“Hey, Vanesa! Ayo sini kita makan malam bersama!” ujar Papa ketika mendapati Vanesa turun dari tangga.
Vanesa berjalan dengan sandal selop putih. Rambutnya terurai.
“Sore, Om!”
“Ayo, kemarilah!”
Vanesa berdiri di samping kursi kosong. Menatap meja makan yang penuh dengan menu makanan. Dia pasti berpikir makanan itu sangat lezat.
“Waah ...” decak Vanesa.
“Jangan takut, ini semua makanan sehat dan tidak ada kolesterol, kok.”
“Iya, ini semua vegetarian,” aku memberitahu. Vanesa memelengkan kepala ke arahku. Mulutnya seketika menganga. Aku tahu dia setengah tak percaya sekaligus agak kecewa. Dia pikir aku bergurau.
Serasa belum cukup dengan kejutan menu makan malam, lantas mama menghampiri kami. Mama membawa satu jug besar berisi jus brokoli.
“Ini jus brokoli, bagus untuk kesehatan kulit,” kata mama. Padahal sesungguhnya mama juga tak suka jus brokoli. Semua ini karena untuk papa.
Mulut Vanesa makin melebar.
“Nes, ayo duduk!” aku memberi isyarat.
Setelah papa memimpin doa, papa menanyakan perihal orangtua Vanesa.
“Bagaimana kabar papa dan mama, Nes?”
“Baik Om,” jawab Vanesa, “sekarang lagi di Bandung karena kerabat mama ada yang meninggal.”
“Oh, Om turut berbela sungkawa.”
“Iya Om, terima kasih.”
Sementaraitu, mama menuangkan jus brokoli ke dalam gelas collins dan memberikannya pada papa. Dia menuangkan segelas lagi lalu menyodorkannya padaku.
“Bella, tolong kasihkan ini untuk Vanesa.”
Tanpa aba-aba Vanesa langsung menyela, “Nggak usah Tante, makasih. Minum air putih aja, Tante.”
Kuinjak kaki Vanesa, memberi isyarat agar tidak menolaknya. Kalau tidak, papa akan menceramahinya panjang lebar. Kenapa Vanesa? Kamu nggak Suka? Itu bagus buat kesehatan kulit. Meski rasanya mungkin kurang enak, kamu harus mencobanya. Om dulu juga nggak suka, tapi .... bla-bla-bla. Bisa-bisa Papa terus mengoceh soal jus sampai kami kehilangan selera makan. Untunglah Vanesa mengerti maksudku sehingga dia pun mengambil jus itu.
Wajah Vanesa berubah ungu ketika menengguk jus itu. Dia mencari sesuatu sebagai penawar. Dimasukannya potongan nugget ke dalam mulut. Bukannya sembuh, wajahnya malah makin keruh karena menahan rasa sayur bayam. Aku ingin memberitahu supaya tak terkejut, tapi tak berdaya. Sekarang giliran Vanesa menginjak kaki kananku dan melotot.
“Kamu tahu Nes, Om sama papamu dulu sahabat baik,” ujar Papa tiba-tiba.
Vanesa menanggapinya sambil menahan rasa mual. “Pa-papa juga pernah bercerita, Om.”
“Ah, Om jadi ingat, dulu waktu SMA, papamu itu saingan terberat Om. Suatu hari, ada lomba olimpiade Matematika. Om bertanding lebih dulu melawan papamu. Siapa yang menang, dia yang mewakili sekolah. Tapi untunglah Om berusaha lebih keras, dan akhirnya Om yang terpilih.”
“Om hebat!” Vanesa meringis pahit.
“Oh, iya dong, Om memang hebat, tapi papamu juga nggak kalah hebat. Papamu sekarang punya perusahaan besar dan maju di jakarta.”
“Tapi, Om lebih hebat. Berantas terorisme yang sedang melanda negeri ini. Itu kan bukan pekerjaan mudah, Om.”
“Itulah, Om selalu mengingatkan pada Bella. Sebagai generasi muda, kalian juga harus rajin-rajin belajar. Meski kalian perempuan, jangan mau kalah sama laki-kali. Kalian mau di zaman sekarang cuma jadi Ibu rumah tangga?”
Mendengar ucapan Papa, sendok mama terjatuh. Menimbulkan bunyi metal beradu dengan mangkuk sup porselin. Akan tetapi, agaknya papa tak bisa memahami bagaimana perasaan mama. Sementara Vanesa yang memahaminya, melirik ke arahku.
“Omong-omong, bagimana sekolahmu?” lanjut Papa.
“Baik Om. Lumayan,” balas Vanesa singkat. Sepertinya sekarang dia mengerti tentang sikap papa.
“Lumayan?” papa menegaskan. “Masih kalah dong sama Bella?”
Vanesa menyingkirkan piring nugget bayamnya yang masih tersisa. Lalu menanggapi perkataan papa. “Bella kan paling pandai di sekolah Om.”
“Vanesa juga jangan mau kalah, dong. Kamu pasti bisa seperti Bella. Itu semua karena Om mengawasi ketat sekolah dan pergaulan Bella. Kalau tidak, Bella nggak akan bisa sempurna dalam nilai akademis seperti sekarang.”
Uhuk! Vanesa tersedak. Dia terpaksa meminum jus brokolinya meski harus menahan rasanya yang aneh. Kemudian menanggapi lagi. “Tapi, papa sama mama Vanesa nggak menuntut Vanesa jadi sempurna Om, papa sama mama senang dengan prestasi Vanesa sekarang ini.”
“Pah!” mama memotong pembicaraan mereka sambil melirik ke arah papa.
“Ah, sudahlah, habiskan saja makanan kalian,” ujar papa.
Aku memeriksa piring Vanesa dan memberi tahu, “Itu steak tahu dengan saus lada hitam, tapi enak kok, ini salah satu masakan kesukaan mama.”
Aku berusaha mencairkan suasana. Kulihat mama pun melayangkan senyum simpul ke arah kami.
“Oh iya Tante, ini enak kok, Vanesa suka. Mungkin lain kali Vanesa akan suruh Bik Inah memasaknya.”
***
Selepas makan malam, kami berdua duduk-duduk di balkoni membicarakan soal makan malam tadi.
“Bella, tiap hari lo makan makanan seperti itu?”
Aku malah terkikik.
“Kok malah ketawa sih?”
“Habisnya, muka lo lucu banget pas minum jus brokoli sama ngunyah nugget bayam.”
“Ih, lo tuh ya, seneng lihat gue menderita.”
"Nggak, lah!"
“Tapi Bell,” lanjut Vanesa “gue sekarang jadi tahu banget sikap papa-lo itu kayak apa. Pantaslah mama sama papa lo sering berantem. Papa lo narsistik banget, menganggap dirinya paling penting, hebat, suka membanggakan dirinya sendiri. Perfeksionis juga. Itu termasuk golongan penyakit psikologi lho, Bell.”
Sejenak aku terdiam. Tak tahu harus menanggapi apa. Mungkin perkataan Vanesa benar. Aku juga pernah berpikir seperti apa yang dipikirkannya.
“Eh, kok malah bengong!” Vanesa menepuk pundakku.
Aku terkesiap, lalu mengalihkan pembicaraan, “Kita dengerin lagu buat audisi besok aja yuk, besok kan nggak ada pelajaran. Lo mau bawain lagu apa?”
yang nyangka bella hamil silakan balas komenan saya
Comment on chapter Chapter 1