Sambil menghitung bintang, aku menyusuri jalan yang tak pernah sepi oleh manusia ini. Langit malam cerah mengungkung kota pelajar ini, serabut halus awan hanya tampak samar di angkasa sana. Bulan sabit menggantung lembut di ujung langit seberang , menunggu malaikat berayun disana.
Aku duduk di salah satu bangku di pesisir jalan raya. Bangku kayu beratapkan pohon ringin kecil yang akarnya menjuntai mengundang orang untuk duduk.
Aku menghela napas berat. Pikiranku berkecamuk. Berada disini bukan berarti aku tak ingin melupakan masa lalu yang sulit itu, aku ingin bisa suatu saat bisa mengenang masa itu tanpa rasa sesak yang membumbung tinggi, aku memang tak bermaksud ingin melupakannya aku hanya ingin mengenangnya tanpa merasa sakit.
Sekitar empat tahun lalu, di tempat yang sama, di kursi yang sama.
Yang berbeda hanya suasana, orang orang disekitar, dan tentu saja yang paling membuat ini semua berbeda adalah kali ini aku duduk sendirian.
Aku ingat betul, malam itu, laki-laki itu tanpa persiapan dengan sengaja melamarku disini. Menjadikanku tempatnya berkeluh kesah semalaman setelah lelah ia bekerja. Mewujudkan mimpiku menjadi tempat berteduh seorang imam dunia akhirat-ku. Membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung bisa mendapat imam sepertinya. Malam itu bukan lamaran formal memang, itu hanya menjadi janji hati kami berdua yang disaksikan langit cerah berbintang, ditemani semilir angin lembut membelai hijabku, dengan saksi bisu pohon ringin tua ini.
Dan kemudian lamaran formal dilaksanakan dua minggu setelah kejadian itu. Orang tuanya datang menghadap waliku, dia mengenakan jas hitam lengkap dengan dasi, orang tuanya mengenakan batik, ah aku tentu mengingat semuanya.
Iya, hari itu dan selanjutnya adalah hari-hari bahagia ku. Hari saat kami menentukan tanggal pernikahan, hari saat kami memilih gaun pengantin, hari disaat undangan sudah jadi dan siap dibagikan, hari dimana tinggal menunggu penghulu datang mengesahkan kami. Hari-hari itu, hari-hari dimana aku merasa seakan tak pernah sakit dan tak akan merasa sakit lagi.
Tiga bulan setelah menikah, aku hamil. Anak pertama kami. Kami sudah punya rumah diluar kota, jadi kami meninggalkan kota pelajar yang penuh kenangan itu. Meninggalkan kursi kayu bawah pohon ringin yang menjadi saksi kami mengikat janji suci tak formal itu.
Lagi-lagi ini hari-hari bahagia ku. Dimana tiap sore di akhir pekan kami pergi ke pusat kota, berbelanja kebutuhan bayi kami. Aku juga ingat, pada saat kehamilanku memasuki bulan bulan akhir, kami membeli tempat tidur bayi berwarna biru muda. Kami bahkan sudah membuatkan kamar untuk calon anak kami ini. Semua berjalan baik.
Hingga minggu awal bulan kesembilan kehamilanku, waktu itu berangkat ke acara makan malam anggota kantor tempat suamiku bekerja. Tiba tiba perutku berkontraksi. Aku berteriak, merasa ini belum waktunya. Suamiku kalut, dia menyetir sekencang mungkin menerobos lampu merah menuju rumah sakit terdekat. Malam itu hujan. Deras sekali. Perutku semakin sakit. Begitu sampai di rumah sakit, dokter jaga dan para perawat sibuk hendak mengangkatku ke bed.
Baru saja pintu mobil dibuka, aku tak sadarkan diri. Semua panik termasuk suamiku. Berteriak memanggil namaku, dokter yang juga panik berusaha menenangkannya, bilang aku masih hidup karena denyut nadi ku masih ada. Hujan turun semakin deras. Sederas darah yanng mengalir dari selangkanganku. Membasahi kakiku, membuat warna bed jadi merah. Semua panik.
Aku masih ingat, sangat melekat dalam ingatanku, saat aku terbangun dari pingsan ku, suamiku sedang sholat disamping ku, entah dia berdoa apa aku tak tahu, yang jelas ia sujud begitu lama. Begitu ia duduk dan melihatku sadar, ia menghampiriku sambil berkaca-kaca.
Dia tersenyum, senyum yang tak terartikan. Matanya sembab. Bukan apa-apa, tapi aku yang kuliah mendapat IPK tertinggi tentu dengan mudah dapat merangkai semua ini. Aku mulai berkaca-kaca juga, tapi tak menangis. Hari itu pertama kalinya aku sadar, jendral perang sehebat dan seberani apapun dapat menangis bila kehilangan sosok yang dikasihinya.
Aku ingat betul ia berbisik padaku, mengatakan semua baik-baik saja.
Hari ini pula aku melihat sosok panglima tertinggi yang saat perang selalu maju paling depan, kini menangis ringkih dipelukan istrinya.
Singkatnya, kami kehilangan bayi pertama kami. Yang ia terlahir tanpa bernapas.
Satu tahun berlalu. Kami menjalaninya berdua. Saling kuat-menguatkan. Seminggu sekali kami mengunjungi makam anak kami, namanya terukir indah di nisannya. Aku terkadang menangis disana, bilang pada anakku, apa kamar yang kami siapkan tak sesuai keinginanmu? Hingga kau lebih memilih tinggal di sini.
Satu tahun dua bulan.
Aku hamil.
Anak kedua kami.
Kebahagiaan datang pada keluarga kecil kami. Tapi masih ada rasa takut kejadian seperti dulu terulang.
Masuk bulan ke tujuh, kami lebih siap. USG tiap bulan mengatakan bayiku baik baik saja. Dokter bilang bayi akan lahir tepat pada waktunya, minggu terakhir bulan ke sembilan. Meski begitu aku dan suamiku masih takut dan tetap siaga. Kunci mobil tak pernah dicabut. Tangki bensin selalu penuh.
Dan sudah bulan kesembilan.
Aku sudah menyiapkan semua barang yang sekiranya ku perlukan saat di rumah sakit nanti, termasuk pakaian bayi.
Jam dua pagi. Aku mulai berkontraksi. Suamiku dengan sigap menggendongku ke mobil, menyetir di jalanan malam yang ramai oleh kesibukan malam. Langit cerah penuh bintang, tak ada tanda-tanda akan hujan. Setidaknya menghapus satu kekhawatiranku.
Sampai di rumah sakit dokter jaga melayani. Membawaku ke UGD, langsung ke ruang persalinan. Saat adzan subuh, bayi itu lahir. Suamiku menyeka sudut matanya, tersenyum penuh arti. Hari bahagia ku datang lagi. Semua sakit terobati. Cahaya muka suamiku terang. Sang panglima menangis haru atas kemenangannya.
Setengah tahun berlalu.
Aku ingat betul kejadian itu. Saat bayiku yang belum cukup umur mulai mencoba tengkurap, mulai mengoceh tak jelas maksudnya. Aku sebenarnya bingung, ini anak pertama atau anak kedua kami. Tapi suamiku memutuskan menyebutnya anak kedua. Ya, anak kedua kami perempuan. Putri mahkota cantik yang dilindungi panglima perang. Putri yang dicintai raja dan ratunya.
Malam itu seperti biasa, kami diruang keluarga bermain bersama, sambil tv terus menyala. Aku bersandar pada suamiku.
Suasana indah ini dirusak oleh telfon mendadak yang mengharuskan kami berangkat ke kota pelajar itu, mengunjungi ibu dari suami ku yang sedang sakit di rumah sakit dan ingin bertemu suamiku.
Perjalanan dua jam dari sini, tak terlalu lama. Lagipula juga sudah malam, jadi tak terlalu macet.
Malam itu mendung. Aku ingat betul.
Aku membenarkan hijabku yang tertiup angin. Sesak didadaku muncul lagi mengingat aku saat ini menginjak tanah yang merenggut semua kebahagiaanku.
Mendung. Guntur. Air. Kemudian turun deras.
Anak perempuanku tertidur manis di jok belakang. Aku tak bisa tidur meninggalkan suami ku menyetir sendirian. Perasaanku sudah tak enak, aku menyarankan suami ku untuk berangkat besok saja bila sudah tak hujan. Tapi dia bilang tak apa-apa.
Aku mengangguk, menuruti perkataan suamiku.
Aku menarik napas dalam. Entah mengapa ini terasa berat, firasatku buruk, tapi aku berusaha mengusirnya jauh-jauh.
Gapura bertuliskan selamat datang di kota pelajar terlewati. Aku sedikit lega karena sudah memasuki kawasan kota pelajar ini dengan lancar meski hujan tak henti juga. Rumah sakit tempat orang tua suamiku dirawat sudah nampak, hanya tinggal menyebrang. Tangisan anak kami yang tiba-tiba membuatku dan suamiku sontak menoleh untuk menenangkannya. Membuat suamiku lupa bila kita sedang ditengah jalan raya hendak menyebrang, hingga bunyi nyaring klakson mengagetkan kami.
Itu klakson dari container yang mengangkut kayu. Setelah itu yang kuingat hanya mobil kami terjungkal, terbalik 3 kali hingga kepala kami dibawah. Kaca mobil pecah. Aku keluar dari mobil yang sudah tak berbentuk ini, aku berusaha menyelamatkan jantung dan paru-paruku.
Orang-orang mulai datang membantu.
Aku menangis, meracau, berteriak tak ada yang bisa membantu. Siapa yang bisa membantuku membuat jantung memompa lagi bila memang sudah rusak? Siapa yang bisa membantu merangkai paru-paru agar bisa kembali bernapas normal?
Aku berlutut, kemudian bersujud didepan mayat suamiku yang terjepit dimobil. Aku memegang tangan suamiku yang terjulur keluar dari jendela mobil yang remuk.
Hujan masih deras mengguyur. Sederas darah yang mengalir dari putri dan panglima perangku. Sederas air mata yang mengalir tak henti ini. Sederas kalutnya perasaanku.
Darah memenuhi jalan. Aku masih bersujud ketika orang-orang menarikku dari TKP. Polisi datang, wartawan berkerumun. Aku masih berteriak memanggil kedua belahan jiwaku. Semua terasa terlampau sakit, melebihi sakitnya dahiku yang robek, melebihi sakitnya kakiku yang pincang karena tertimpa dashboard tadi.
Pikiranku kalut. Petugas rumah sakit datang. Mengangkatku dengan tandu, sesegera mungkin membawaku ke UGD. Terakhir yang ku ingat, aku masuk di suatu ruangan, lampu yang begitu terang di atasku. Lalu aku tak sadarkan diri.
Begitu sulit mengenang ini tanpa membenci tiap kejadiannya. Semua kejadian dari saat lelaki itu melamarku, terekam jelas hingga tiap detailnya. Angin semilir berhembus pelan, sejuk, sedikit menenangkan hati. Aku melihat jam tangan, sudah hampir jam sembilan malam. Sebentar lagi dia datang dan aku harus pulang.
Minggu-minggu awal setelah aku sadar, aku dirawat di rehabilitasi. Depresi berkelanjutan yang aku alami membuatku sesekali harus dipasung atau aku akan berteriak-teriak, memukul apapun disekitarku dan menjambak jilbab atau rambutku dan mengakibatkan banyak rambutku rontok.
Setelah lima bulan, mertuaku datang menjemputku. Mereka pikir aku sudah sehat.
Secara alamiah memang sudah sembuh, tapi secara rohani, dalam jiwaku sudah tertanam traumatik besar yang hanya aku yang bisa merasakannya. Ketakutan kehilangan orang yang ku sayangi.
Dua bulan setelah keluar, aku sudah mulai sedikit lebih tenang, semua yang kualami membuatku lebih mendekatkan diri pada Allah. Aku lebih lama bersujud, bahkan lebih lama dari almarhum suamiku dulu. Aku tak kuasa pulang ke rumah yang dulu.
Umurku sudah lebih dari 27 tahun. Dan kehilangan 3 jiwa dari hidupku sudah lebih dari menyakitkan. Seperti luka yang disiram air panas, yang lukanya dibilah sembilu berpuluh kali. Ah, mungkin lebih dari itu. Aku tak bisa mengungkapkannya dalam kata kata.
Malam ini, aku akan menyelesaikan semuanya. Aku ingin berdamai dengan masa lalu itu. Aku ingin memeluk semua kenangan buruk itu menjadi sebuah kenangan yang akan dengan mudah ku ceritakan pada anak cucu ku nanti.
Ya, satu bulan yang lalu ayah dari almarhum suamiku mengenalkan anak teman nya padaku. Yang ternyata berniat meminangku. Aku menolak. Benar benar menolak. Bagaimana mungkin aku hidup bahagia sedangkan suami dan anak anakku berdarah darah?
Bagaimana aku bisa menikmati hidup dengan bayang bayang mereka di pikiranku, di mimpiku, di duniaku?
Aku menolak. Sampai dia akhirnya dengan tenang menerima penolakanku itu, dengan syarat aku mau di imaminya satu kali saja. Aku terdiam, ibu mertuaku mengangguk, meyakinkanku.
Kami akhirnya sholat dhuhur berjama'ah, dan dia menjadi imam.
Ini pertama kalinya aku menjadi makmum dari imam yang bukan muhrim ku setelah suamiku meninggal. Setelah sholat, dia sedikit berceramah tentang mengikhlaskan. Begitu banyak yang diucapkannya, tapi aku begitu mengingat satu kalimat yang membuatku seketika luluh.
'Kehilangan memang sulit, apalagi mengikhlaskan. Namun lebih baik mengikhlaskan yang telah pergi agar ia bisa pergi dengan tenang, daripada terus meratapinya dan membuat yang pergi menggantung tak sampai tujuan. Bismillah, yakinlah Allah selalu menyiapkan rencana terbaik untuk umatnya'
Entah apa saktinya kalimat itu, membuatku menangis seketika. Membuatku tersedu dalam diam. Membuat pertahanan hati yang selama ini kubangun dengan sangat tinggi runtuh rata dengan tanah.
Aku mengucap istighfar berkali kali. Mengingat betapa bodohnya aku yang terus terperangkap dalam bayang orang yang telah meninggal. Mengenang boleh, asal harus di relakan. Mencintai sebesar apapun, masih lebih besar cinta Allah pada umatnya. Aku bersujud. Ketidakrelaanku yang amat sangat kini telah berubah 180° menjadi rasa bersyukur.
Ya. Seketika aku bersyukur Allah telah mengambil orang yang kucintai lebih dulu, dalam artian Allah menyayangi mereka dan ingin mereka cepat berada disampingNya.
Dan setelah aku bangun dari sujudku, ia meminangku lagi. Dan dengan lega aku mengangguk. Membuat kedua mertua ku saling berpelukan, menangis haru.
Dan aku berencana menata ulang hidupku. Dengan memasukkan prinsip ikhlas dalam segala hal.
Semua terasa ringan bila kita ikhlas.
Begitu kata calon suamiku.
Kami akan menikah satu bulan lagi. Tepat 7 bulan setelah suami dan anakku meninggal.
Aku menatap langit malam, suasana ramai ini terasa sangat lengang. Aku menatap bangku sebelahku yang kosong. Apakah dosa bila aku masih mengenang suamiku sedangkan aku sudah punya calon suami?
Aku menengadah lagi, menahan air mataku agar tak tumpah.
Seorang lelaki duduk disampingku, menempati kursi yang telah berbulan bulan kosong itu, kursi yang dulu diduduki suamiku tiap kamu kesini
"Ayo pulang, sudah malam" ucapnya
Aku mengangguk. Mengikutinya di belakangnya. Aku menoleh, tersenyum lega sambil menatap pohon ringin yang akar gantung nya melambai perlahan, seolah mengucapkan selamat tinggal padaku.
Ternyata benar. Mengikhlaskan tak selalu berat. Malah membuat segalanya menjadi ringan.
Aku menatap langit lagi. Cerah. Gemintang menghiasi langit.
Bersinar menerangi malamku. Entah apa rencana Allah selanjutnya, aku percaya segala hal indah akan terjadi suatu saat nanti.