CHAPTER 12: MORE TEMPTATION, PAIN AND PASSION
Entah bagaimana melayang jatuh secara vertikal ke permukaan yang keras justru tidak selurus yang dikira, Alter merasa tertabrak sesuatu seperti entah apa, mungkin malaikat men-tackle-nya sehingga berguling beberapa kali di atas permukaan keras yang tercium aromanya, -sedikit sisa kesadaran Alter mengenali- pafing.
Tidak peduli bagaimana kelanjutan alur pertandingan setelah aley-oop Bimo gagal, semua yang mengenakan baju dengan brand ANTOLOGIA saling menuju dan meninjau ke bawah ke tempat Alter jatuh.
"Enggak fokus lagi, deh," gumam Demiro menanggapi situasinya.
Semua kru Antologia saling ternganga, bahkan masing-masing terlihat tidak percaya dengan yang jelas mereka lihat.
"Hoh!?" gumam Bactio melihat kenyataannya, "Alter!?"
Berkali-kali Ivan mengucek mata, "Hah!?" mengucek mata lagi, "Alter!?" masih mengucek mata, "Alter... sama... siapa?"
"Dia!?" dengan ternganga Andreka tanya entah ke siapa, entah menanyakan nama atau alasan kenapa laki-laki yang tengadah kepadanya sedang ada di sana, berlutut di sebelah Alter yang telentang.
"Arias!?" Agung yakin memang dia, juga tidak menyangka akan situasi di bawah sana.
*
Isyarat tanya tergambar pada ekspresi Demiro mengungkapnya, selain mencoba membaca rencana yang Arias bawa dengan masuk dalam tim Antologia menggantikan Alter -yang sedang tidak baik mentalnya di luar court di antara tiga temannya. Seperti yang Demiro ketahui, metode serangan Antologia masih seperti sebelumnya, rencana yang pikirnya tidak cukup berguna untuk mencetak skor pertama yang akan memperkecil selisih sementara dari enam angka.
Beralih jaga rim? pikir Andreka mengetahui Demiro beralih posisi ke sebelah Si Badan Besar.
Bangsat, kayak dia baca rencana gue anjay! Batin Arias.
"Bersiap two ex five, Hery!" kata Demiro ke Si Badan Besar.
"Serius?" tanya Hery, tidak Demiro tanggapi kecuali dengan sikap yang berarti tidak perlu mengatakan dua kali.
Setelah Raw Slam, Aguer dan Frau berhasil dilewati dengan serangan kombinasi, dua lawan lagi di low-post perlu Antologia lewati. Serangan dari sepenuh tim itu, Demiro pastikan rencana skor perdana Antologia adalah dua angka, dengan lima pemain melawan dua. Melihat situasinya begitu, Raw Slam, Aguer dan Frau tidak berubah reaksi, mereka bertiga tetap santai di tempat seperti menunggu jatah terima operan saja.
"Udah biasa," gumam Raw Slam, "Jangankan lima..."
"Maksud kalian mau bikin kita berdua bingung, justru kalian bingung sendiri," kata Demiro menaggapi maksud pola sekian kali operan cepat yang Antologia buat untuk membuka kondisi lengahnya.
Arias pikir waktunya tepat, sekuat tenaga dia lakukan lane-up, sangat yakin... tanpa ragukan diri di hadapan kekuatan Hery yang tidak kalah tepat waktu mengatasinya langsung sama tanpa ragu.
"Is not, that's fake!" kata Frau menilai, "He is not dummy who fight against the stronger power than himself."
Tidak meleset dari penilaian Frau, memang daya kontrol tangan Arias memungkinkannya melakukan penundaan seperti itu tanpa khawatirkan soal ketepatan waktu. Andreka menerima operannya, seperti yang dirinya tahu klimaks ini bicara mengenai cara bergerak mendahului Si Pembaca Waktu (baca: Demiro). Andreka juga harus menyesuaikan rute dan kecepatan operan supaya Bimo yang siap melompat akan membuat aley-oop yang tidak sempat block Demiro patahkan.
Ternyata! Justru sebaliknya yang Andreka harapkan. Bukan clutch-shoot dari kanan yang harus dia lakukan, tapi operan secepat mungkin ke belakang, ke tangan Ivan yang langsung teruskan operan ke Arias yang belum menurunkan lompatan. Dengan tangan kiri di belakang, Arias terima operan, langsung lakukan tembakan sehingga bola naik dari arah punggung melintasi atas kepala tanpa sempat Hery potong rute pelambungan bolanya.
Fuque! Dua pilihan yang memaksa keputusan. Gue tahu sebenernya tujuan Arias menghadap Hery biar bisa bikin rute pelambungan yang akan diselesaikan dengan double-dunk dari kedua sisi rim. Tapi misalnya tadi gue sengaja telat bereaksi sama clutch-shoot, jangkauan blocking gue enggak cukup sempat motong aley-oop ke High-Flyer ini. Itu, kan yang kalian pikir? Mau nunjukin apa yang enggak bisa Quick Silver Sign gue lakuin? Pikir Demiro.
"Good plan but not enough," kata Aguer dengan yakin menilai situasinya.
Menakjubkan!
"Yang bener aja!?" spontan Agung bereaksi menyaksikan dari luar court, bersamaan dengan Heru yang mengatakan, "Kok bisa!?"
Sedangkan Wasik hanya ternganga di sebelah Alter yang ikut berantusias menyaksikan -sepertinya sudah pulih dari keguncangan.
Khususnya Bimo dan Bactio sendiri tidak percaya, bagaimana Demiro bisa membuat langkah yang sempat untuk membawa diri melompat begitu kilat percepatannya!? Seolah membuka penahan laju waktu normal dunia. Di samping ketinggian lompat, perlawanan yang tangan kanan Demiro berikan terhadap sebelah masing-masing tangan Bimo dan Bactio...
"Auto skor buat kita kalau ini NBA," kata Wasik -menyaksikan dari luar court.
Padahal melawan kekuatan satu tangan, tapi yang Alter lihat kengototan Bimo dan Bactio tampak sangat ngegas dari raut semangat tempurnya. Juga Alter tahu momen itu akan berakhir pada detik satu setengah semenjak bola menerima dua arah kekuatan yang saling dorong secara kontra dari tangan mereka bertiga. Upaya Demiro memang unggul dari sisi naluri dan potensi, tapi upaya Bimo dan Bactio dimenangkan oleh keuntungan situasi, karena arah dan posisi tangan Demiro membuat dirinya sendiri -secara alami menurut hukum fisika- hanya menggunakan setengah dari potensi maksimalnya. Dengan cara itu Antologia berhasil membuat skor perdana, sebab itu hati mereka mulai punya rasa gembira.
Alter pikir, mungkin ini kali pertama Demiro dikalahkan entah terhitungnya sejak kapan. Juga yang Alter lihat, bukan kepada Bimo dan Bactio ingin Demiro menatap, tapi kepada Arias.
"Boleh juga," dengan senyum semangat Demiro katakan ke Arias, "Dan bener banget, perlu lebih dari lima pikiran dan sepuluh tangan buat ngalahin gue. Keuntungan situasi dalam desakan durasi kayak barusan misalnya."
"Kirain lu syok," balas Arias juga dengan senyum yang tidak kalah semangat.
"Humh, cara yang sama enggak akan ngaruh," balas Demiro, sedang menatap Arias -tanpa melihat langsung bolanya- menerima operan mati dari Hery.
"Bego apa gimana sih The Rock Batam? Padahal lebih untung long-pass aja ke Frau, Aguer atau Raw Slam yang santai banget dan enggak ada yang jaga," kata Agung dari bangku cadangan.
"Enggak bagus, nih," gumam Alter dengan antuasias perhati.
"Lu mau nunjukin apa? Yang bener aja!?" kata Arias saat merintangi Demiro bersama empat rekannya, membentuk penjagaan full-team -ke satu pemain saja.
Penjagaan lima pemain serapat itu, meski untuk menghentikan seorang saja...
Yang bener aja!?... Gila! Pikir Andreka mengetahui antusiasinya tidak cukup berarti menghentikan aksi solo Demiro yang... tak tersentuh.
Seperti Andreka, pikir Arias serupa, tergambar dari rautnya selagi berusaha.
"Harusnya sempat, harusnya banyak kesempatan mengunci ruang gerak Demiro. Tapi dia fine-fine aja, tetep santuy. Dia kelihatan menguasai ruang tiga dimensi dan waktu. Dia bisa bikin celah yang tepat buat lolos," gumam Alter fokus mengamati, "Lagian, Demiro enggak langsung manfaatin jalur operan ke tiga rekan yang bebas di depan. Why?"
"Fuque! Jangan-jangan..." gumam Andreka tengah mengatasi permainan solo Demiro, menduga hal yang tidak bagus untuk timnya.
Pertahanan sepenuh satu tim tentunya lebih dari cukup, bahkan urgency kalau untuk menghentikan satu pemain lawan.
Sebagaimana teman-temannya di dalam court paham dengan yang mereka upayakan, Alter pikir juga, saat ini perlu satu setengah... atau dua.. yang benar saja!? Apakah perlu penjagaan sebanyak dua tim untuk menghentikan Demiro.. yang menjatuhkan setiap individu penjagaan lawan sehingga saling jatuh dan saling benturan akibat memaksakan fleksibelitas pergerakan di luar kebiasaan -dalam satu momentum.
Begitulah Alter, Agung, Wasik, Heru dan siapa pun yang menyaksikan dibuat ternganga.
"Multiple.. ankle breaker!?" sempat Alter gumam selagi terguncang, juga jantungnya pada momen itu berdegup lebih kencang.
Demiro mencukupkan aksinya dengan itu, soal skor yang diupayakan dia serahkan kepada teknik tembakan bebas Frau dari jarak yang tidak perlu diragukan. Dengan itu skor 9 Dequase dibuat.
Seperti everest tak berawan, kini Alter mulai melihat puncaknya, seperti itu skil Demiro tergambar dalam benaknya. Baik jika mengetahui perbedaan ukuran kemampuan dengan sebenarnya, tapi semangat dan memantapkan kepercayaan diri adalah lebih baik menurut yang Alter afirmasikan. Tidak membiarkan diri lebih lama tenggelam dalam keguncangan, sekarang waktu untuknya kembali ke area pertempuran. Ivan menyerahkan sisa waktunya kepada Alter.
Dimulai dari Andreka yang menerima operan mati dari Alter, seperti yang Demiro pikirkan Antologia melarikan pola serangan seperti yang mereka lakukan terakhir kali.
Penjagaan penuh di low-post, pikir Alter mengetahui kelima pemain lawan merapat berjaga dekat rim.
Andreka tahu operan kontinyu tidak akan efektif untuk menembus man to man defense yang Dequase terapkan. Daripada berupaya lebih keras melewati Aguer yang menjaganya, Andreka lebih percaya dengan Arias bagaimana untuk melewati penjagaan Frau, itu yang sesaat Aguer pikir sebelum menyadari kontak mata awal dan penundaan yang Andreka lakukan hanyalah fake untuk membuat momen operan kepada Alter yang dijaga Hery.
"Sorry, lain kali aja!" kata Hery yang tidak lakukan lebih lama untuk menjaga Alter, malah beralih posisi tepat ke arah Bimo yang berupaya menghentikan Demiro.
Pada momen itu, Alter manfaatkan celah waktu yang singkat untuk menuju rim sebelum Demiro sempat menghalanginya.
"Erh!" Jadi, tidak semudah yang Alter pikir karena Demiro menyongsong dirinya lebih cepat dari perkiraan.
Sorot mata Demiro itu, Alter paham, sebagaimana dirinya sendiri menggunakan sepenuh potensi kemampuan untuk tidak segan menundukkan kepercayaam diri lawan. One on one ini mempertaruhkan hal naluri prediksi, kecermatan, akurasi, kecepatan, akselerasi, keseimbangan. Bahkan Alter ragu jika mengambil sepersekian detik waktu untuk berpikir, mempertimbangkan antara menghadapi Demiro dengan risiko atau mengoper ke rekan saja. Situasi ini mempercayakan kerja naluri yang menggerakkan segala upaya keduanya.
Tapi di tengah aksi perlawanan antara dua kekuatan itu, spontan ingatan dalam benak Alter tergambar dan terbisik jelas bagimana tadinya dia sempat melayang jatuh dari atap, bagaimana Arias datang dan menyelamatkannya pada momen yang tepat, bagaimana Arias mengatakan sesuatu yang menenangkan kepadanya setelah itu, bagaimana Agung hampir mengalami nasib yang sama, dan apa yang sempat Demiro lakukan kepada Eloisa.
Rasanya bukan layer-layer ingatan itu mengganggu fokus Alter mengikuti arahan naluri, justru ingatan itu datang dan bermanifestasi sebagai motivasi, untuk mengalahkan Demiro... untuk benar-benar mengalahkannya!
"Erh!?" Halus dan sangat terkendali tanpa terjadi charging -atau pertahanan ilegal karena melakukan kontak tangan secara langsung dengan lawan, geram Alter saat kehilangan posesi bola akibat steal Demiro. Bahkan upaya keras membuatnya sempat berlutut untuk menahan diri agar tidak jatuh saat lepas keseimbangan postur, membuat Demiro semakin jauh untuk segera dikejar dan dihentikan. Empat rekan Alter ditahan empat lawan, sehingga Demiro leluasa tanpa penjagaan saat mengambil posisi untuk melakukan tembakan. Tidak sulit bagi Demiro melakukannya -membuat tiga angka.
"Fuque!" gumam Alter pelan, kesal dalam hati. Kekesalan pada seseorang yang dikaruniakan kemampuan besar untuk mudah melakukan hal luar biasa, tapi terbalut arogasi. Bahkan dia semena-mena. Dia punya semua bentuk kemuliaan, bakat, kecerdasan, harta, kekuasaan, kaki tangan, dan kota ini.
"Mafia terkeren yang pernah kita kenal, fuque!" kata Andreka saat beralih ke sebelah Alter.
Raut Alter menggambarkan setuju tanpa mengatakan.
"Masih ada waktu. Kita bikin dia berpikir sebaliknya tentang dirinya," kata Alter.
"Ya. Gue enggak rela Eloisa jadi miliknya," balas Andreka, "Gue enggak terima Eloisa diperlakuin kayak gitu."
Mendengar itu, Alter menatap Andreka dam memikirkan makna versi tersiratnya.
"Gue emang suka Eloisa," kata Andreka, "Gue akan nembak dia setelah kita menang."
"Kamu enggak akan sliding tackle temen sendiri, kan Drage?" kata Bactio, "Aku nanti yang pertama nembak dia," tidak mau kalah.
"Aku lamar dia langsung," kata Bimo.
"Boleh dicoba. Udah lama enggak serius sama cewek," kata Arias.
Alter menatap keempat temannya yang mulai jujur mengungkapkan perasaan mereka tentang kakaknya. Mereka berlima saling tersenyum.
"Okay, selamat mencoba nanti," kata Alter.
Alter, Andreka, Bimo, Bactio dan Arias saling menatap Demiro yang berlalu di antara mereka -untuk mengambil posisi. Masih ada waktu bagi Antologia mengejar selisih ketertinggalan -skor di belakang Dequase. Masih ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencetak skor selanjutnya. Masih ada sisa stamina yang belum dikeluarkan. Masih ada cadangan yang bisa dimainkan untuk mengubah cara menjalankan pertandingan.
Sebagaimana Antologia, tentu Dequase melakukan hal yang sama dengan versinya sendiri. Selama waktu pertandingan masih berlangsung, masih ada kemungkinan Antologia membalik keadaan untuk keluar dari keterpurukan. Beberapa kali penambahan skor terbukti berhasil Antologia realisasikan, tapi Dequase lakukan lebih banyak. Upaya Antologia tidak ingin kalah banyak untuk membalik keadaan saat sisa waktu berjalan mendekati menit terakhir, hingga beberapa detik lagi, dan... ditetapkan skor 9-51 setelah waktu permainam berakhir.
Lelah dan lemah kondisi stamina setiap pemain Antologia baru mulai terasa. Andreka tidak yakin harus bereaksi bagaimana selain menerima kekalahan sebagaimana Bactio, Bimo juga Wasik, Ivan, Agung dan Heru yang di luar court. Arias hanya berdiri memunggungi setiap orang yang ada di sana, sedangkan Alter berdiri sambil menunduk dan terengah napas.
Dari belakang Alter, Andreka menepuk bahu kirinya, "Maafin aku, Alter!" sambil terengah napas.
Dengan tersenyum dingin Demiro melihat keadaan para Antologia. "Sesuai kesepakatan, Alter," katanya yang tidak mengubah sikap Alter untuk menanggapi, lalu beranjak meninggalkan atap dan diikuti oleh semua krunya.
Andreka pikir Alter sekali lagi tenggelam dalam keguncangan, tapi dengan rasa berbeda dari sebelumnya. Sepertinya menyesakkan dada, di samping mentalnya jatuh paling dalam dibanding teman-temannya.
"Kuatin diri kamu, Alter! Tuhan tahu orang-orang yang disakiti," kata Andreka.
"Alter!" kata Arias mengambil perhatian, "Percaya sama gue. Udah cukup. Kita lakuin hal selanjutnya."
"Ya. Makasih, Arias," kata Alter dengan tersenyum tipis.
*
Tiga di antara beberapa kendaraan yang agak ramai melintas di kawasan kompleks hiburan dan perhotelan pada malam itu, mengambil area parkir yang tersedia di halaman sebuah gedung bertingkat dua dengan wordart besar terbaca "Pison Longue". Mereka yang keluar dari masing-masing mobil, rupanya Demiro bersama krunya, beranjak masuk longue itu dengan sama-sama pasang raut bertanya kenapa di enterance tidak ada bouncer yang berjaga? Saat bagian dalamnya mereka lihat, kenapa tidak seorang pun selain mereka sendiri ada di sana saat musik tetap terbiar dimainkan?
Sebagaimana kru yang dia bawa, Demiro curiga dengan situasinya. "Periksa setiap ruang!" perintah Demiro ke orang-orangnya, membuat mereka memastikan keadaan setiap ruang yang berpintu, sedangkan dia sendiri berjalan tergesa. Pada suatu koridor di lantai dua, Demiro lihat seorang laki-laki duduk bersandar pada suatu sisi dinding dengan kaki berselunjur. Demiro periksa keadaan laki-laki itu, yakin bahwa dia tidak sedang tidur karena mabuk, bau darah yang Demiro ketahui pada sekitar perut dia yang menodai jas hitam berarti...
Tapi daripada itu, Demiro lebih tertarik perhati pada kartu identitas yang terkalung pada leher korban. Apa pun keterangan pada ID itu, Demiro temukan satu penekanan pada keterangan "POLISI". Demiro bangkit, ada lorong yang harus dia periksa juga, di mana yang Demiro lalui dia jumpai beberapa laki-laki saling terbiar menggeletak -diketahui- mati, selain menemukan beberapa selongsong peluru bercecer di permukaan lantai dan yang melubang beberapai sisi dinding.
Satu ruang yang Demiro tuju dengan pintu terbuka yang telah rusak oleh beberapa lubang selain bernoda darah, juga beberapa laki-laki tergeletak mati di dalamnya di antara sebuah kasur yang terdapat beberapa helai kain berantakan di atasnya.
"Fuque!" Demiro geram, "Mumu!" katanya dengan mengertak geraham.
(Bersambung ke CHAPTER: 12 WE GONE PASS -Last Chapter)
@CandraSenja ehm, ternyata mengganggu dan tidak match ya. Makasih, tanggapannya. Aku perbaiki
Comment on chapter BLURB